Minggu, 31 Maret 2013

Kongres Luar Biasa PD: Lelucon Politik Para Badut

Sebetulnya saya tidak ingin mengisi blog ini dengan hal-hal yang terlalu berat, dengan hal-hal yang bising dibicarakan banyak orang. Di televisi dari pagi ke sore, sore ke pagi, terlebih stasiun televisi berita seperti Tv Merah dan Tv Biru. Stasiun televisi--khususnya tv berita-- telah menjadi begitu tersandera berita-berita politik. Telah menjadi kantor berita politisi Jakarta. Tapi bukan itu fokus tulisan saya kali ini.

Kemarin, Sabtu, (30/03), Partai Demokrat (PD) baru saja menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) pascapenetapan Anas Urbaningrum, ketua umumnya, yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.

Sesuai dugaan, seperti berita yang beredar beberapa hari sebelum pelaksanaan KLB itu, Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih dan ditetapkan oleh peserta kongres sebagai ketua umum yang baru menggantikan Anas. SBY menerimanya dengan menawarkan dua opsi; pertama, kepemimpinannya hanya berlangsung maksimal dua tahun. Kedua, dia bersedia menerima tawaran sebagai ketua umum namun dengan syarat adanya ketua harian untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.

Padahal beberapa hari sebelumnya Sutan Batoegana, anggota DPR yang juga kader PD telah dengan pede-nya berulang-ulang menyangkal kemungkinan akan turun gunungnya sang Presiden. "Apa kata dunia kalau SBY jadi ketua umum?" Begitu ucapannya dengan berapi-api mengikuti kutipan kata-kata dari tokoh film Naga Bonar.

Bagi saya, apa yang dipertontonkan PD di Bali tak lain dan tak lebih hanyalah lelucon belaka. Kalau toh hanya ingin menetapkan SBY tak perlu rasa-rasanya jauh-jauh ke Bali. Apa yang dilakukan para badut-badut politik itu terasa amat mengerikan. Tak ubahnya prilaku politisi Senayan yang hanya tahu 'nyanyian lagu setuju'.

Saya sependapat dengan ucapan para pengamat politik bahwa kader-kader PD tak lebih hanyalah SBY Fans klub. Dan rasanya tak tepat juga menyebut mereka dengan istilah kader itu sendiri. Walaupun mengenai SBY Fans klub itu telah dibantah berulang-ulang oleh pengikut setia SBY.

Kongres Luar Biasa itu telah berjalan dengan cara yang luar biasa pula. Saya mencatat ada beberapa hal yang cukup 'unik' dalam KLB itu. Keputusan seluruh anggota partai untuk meminta SBY turun gunung adalah bukti bahwa kran kaderisasi di partai itu telah terhambat.

Proses-proses kaderisasi yang dilakukan partai itu hanya retorika. PD tak lebih adalah SBY itu sendiri. Dan kehadiran Anas Urbaningrum, yang matang dengan proses kaderisasi di HMI organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia,  kedalam partai itu sudah jelas menjadi duri dalam daging bagi SBY.
Sebagai penggiat di GMKI semasa kuliah, saya tahu bagaimana kualitas aktivis-aktivis HMI, dan untuk menduduki posisi ketua umum di organisasi sebesar HMI sudah barang tentu perlu modal besar. Modal yang saya maksudkan adalah kapabilitas dirinya. Kemampuan berakselerasi, diplomasi tinggi, serta dukungan basis yang kuat.

Saya menilai apa yang dilakukan Anas, terlepas dari kasus yang menjeratnya, dengan turun ke basis-basis masa Partai Demokrat selama kepemimpinannya mencerminkan kualitas pendidikan politiknya selama ini. Dia, yang dianggap sebagai anak buangan oleh SBY, membutuhkan dukungan basis. Tidak terlalu sering dan gaduh tampil di televisi seperti politisi-politisi Demokrat lainnya, Anas lebih memilih membangun kekuatan basis, karena mungkin saja kalau tadinya tidak terjerat kasus korupsi itu dia akan melanggeng ke pencalonan Presiden di 2014. Dan sayangnya, sebelum masa kepemimpinannya selesai dia terjerat kasus korupsi, pendidikan politik yang coba dibangunnya hancur sebelum berdiri.

Selain soal proses kaderisasi, organisasi sebesar Partai Demokrat--yang memenangkan dua kali pemilihan umum di Indonesia--dalam konteks pelaksanaan dan penataan organisasinya, bukan bersumber dari AD/ART yang dirumuskan bersama oleh kongres. Ia adalah berpusat pada Susilo Bambang Yudhoyono sebagai 'AD/ART yang hidup'. Betapa tidak, dalam KLB itu SBY telah meminta persetujuan dari peserta kongres untuk diadakannya ketua harian, yang hal itu tidak ada diatur dalam AD/ART. Dan seperti kumpulan boneka, peserta kongres hanya bisa mengeluarkan kata setuju.

Bisa diterima akal semisal setelah pembahasan mengenai ketua umum para peserta mengakomodir keinginan SBY itu untuk melakukan perubahan AD/ART. Tapi nyatanya, pada hari yang sama, kongres itu telah dinyatakan selesai dan ditutup dengan orasi politik pertama sang ketua umum. Kongres partai sekelas Partai Demokrat selesai hanya dalam waktu 7 jam! Benar-benar kongres yang luar biasa.

Tapi mungkin itu adalah kelemahan saya memahami politik yang luas dengan pemahaman yang sempit. Politik itu bukan barang yang kaku, ia adalah sesuatu yang fleksibel. Dan keluwesan pemahaman itu yang mungkin belum saya punya dalam memahami kompleksitas politik di Indonesia ini.


Salam.

Lapo Tuak dan Orang Batak



Sebelumnya saya utarakan bahwa tulisan ini bukan sebagai alasan pembenar, pembelaan, atau hal lainnya terkait keberadaan lapo (kedai) tuak–yang beberapa waktu lalu dipermasalahkan oleh kelompok-kelompok  tertentu. Sebagai orang batak, saya hanya ingin memberikan perspektif lain kepada kita dalam memahami lapo tuak.


Lapo, atau kode (kedai), sebetulnya hanya warung biasa sama halnya seperti rumah makan minang, warung tegal, dan warung-warung lainnya. Di lapo, penjual menyediakan makanan (khas batak) dan minuman layaknya sebuah rumah makan.

Namun, ada sedikit perbedaan dibanding warung-warung makan lainnya, biasanya dan hampir semua lapo pasti menyediakan tuak (minuman tradisional yang dibuat dari kelapa atau aren). Itulah kenapa kata lapo (kedai) selalu disandingkan dengan kata tuak.

Beberapa waktu lalu, sempat mencuat upaya untuk melarang keberadaan lapo-lapo tuak di beberapa daerah di Indonesia dengan alasan meresahkan masyarakat. Masyarakat menilai keberadaan lapo-lapo itu mengganggu. Aparat pun bersikap.

Tapi, jika boleh ditanya, masyarakat yang mana yang mengeluhkan? Media (baik cetak maupun elektronik) kebanyakan terjebak dengan opini-opini yang dibentuk oleh kelompok-kelompok tertentu. Opini yang dibangun oleh kelompok-kelompok itu dengan begitu saja diterima oleh kalangan media.

Kalau memang opini yang dibangun itu benar, kenapa baru sekarang hal itu mencuat? Kenapa selama ini, di tempat-tempat lapo-lapo itu berada tidak ada yang mengeluhkan. Bahkan jarang ditemui konflik terjadi akibat lapo-lapo itu. Namun, sekali lagi saya tekankan bahwa hal ini bukan alasan pembenar juga terhadap lapo tuak.

Sebagai orang batak saya memahami bagaimana cara orang batak berpikir sebelum membuat sebuah lapo. Lapo seperti saya sebutkan diatas menjual makanan yang tak biasa bagi orang kebanyakan. Makanan yang tidak mendapatkan label halal dari MUI. Oleh karena itu, tentu alasan tersebut menjadi pertimbangan khusus bagi orang batak untuk membuat lapo. Mereka pasti berusaha mencari tempat yang ‘aman’ agar usahanya tidak mengganggu warga sekitar.

Saya juga mengakui bahwa memang ada sisi negatif dari tuak, seperti kebanyakan minuman tradisional (yang hampir dimiliki oleh kebanyakan suku dan daerah di Indonesia) tuak mengandung alkohol. Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya. Dan seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.

Namun, tulisan saya kali ini bukan hendak larut dalam deskripsi tersebut. Saya coba menggambarkan bagaimana lapo membesarkan orang batak juga sebaliknya orang batak membesarkan lapo. Sekali waktu, seorang teman saya yang aktivis berkesempatan mengunjungi Sumatera Utara karena ada kegiatan yang harus diikuti. Sepulang dari provinsi itu dia berbincang-bincang dengan saya tentang kekagumannya akan lapo.

Saya sempat bingung dengan kata-katanya saat itu. Namun setelah dia jabarkan saya hanya tersenyum. Saat itu dia menceritakan bagaimana budaya diskusi orang batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tanah Karo, dan masih banyak lagi memang didominasi dengan sektor pertanian. Dan meminum tuak pun lantaran kondisi daerah-daerah tersebut yang dingin.

Di lapo, orang-orang akan mengambil kesibukannya masing-masing. Ada yang sebatas duduk-duduk sambil mengobrol (markombur), ada yang bermain catur, bernyanyi, dan ada juga yang hanya makan lalu pulang. Semua itu pemandangan yang biasa di lapo.

Kembali ke soal diskusi tadi, di lapo orang-orang yang mengobrol biasanya akan memperbincangkan berbagai macam hal. Dari yang remeh temeh sampai ke diskusi soal negara. Diskusi biasanya akan berlangsung mulai dari suasana yang datar sampai ke perdebatan yang alot. Dan hampir sebagian besar dari mereka berdiskusi dengan menawarkan teorinya masing-masing (karena mereka berdebat dengan latar pendidikan yang berbeda-beda).

Budaya diskusi, berdebat, hal itu sangat mudah ditemui di lapo-lapo. Dan juga sangat mudah ditemui ketika dua-tiga orang batak bertemu. Selalu ada hal untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Budaya tersebut tanpa disadari telah membentuk karakter. Jika menyebut orang batak kebanyakan akan dengan segera mengasosiasikannya dengan profesi-profesi tertentu semisal pengacara. Hal itu bukan tanpa alasan.

Selain budaya diskusi, catur dan bernyanyi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lapo dan orang batak. Melalui kebiasaan bermain catur di lapo-lapo, orang batak terasah untuk berpikir. Selain menyalurkan hobi, catur juga menambah daya ingat. Dan tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi karakter yang melekat pada orang batak.

Apapun profesinya, meninggalkan lapo sepertinya hal yang sulit dilakukan orang batak. Hal itu dibaca dengan jeli oleh pengusaha-pengusaha lapo. Lapo berkembang dari waktu ke waktu. Kini menemui lapo dengan berbagai tipe dan kelas sangat mudah. Di Jakarta misalnya, lapo-lapo tuak cukup beragam ditemui. Mulai dari yang sederhana, menengah  sampai kelas elit.

Pada akhirnya, lapo dan orang batak menjadi hal yang tak terpisahkan. Keduanya besar karena saling membesarkan. Horas!


(Tulisan ini saya ambil dari laman kompasiana saya yang telah dipublikasikan 6 Desember 2011)

Sabtu, 30 Maret 2013

Andreas Harsono: Hoakiao dari Jember

Andreas Harsono: Hoakiao dari Jember: Andreas Harsono Namanya Ong Tjie Liang (王 志 良). Dia satu Hoakiao dari Jember, sebuah kota tembakau di sebelah timur Pulau Jawa. November ...

Jumat, 29 Maret 2013

Bangku Taman


DAUN-DAUN GUGUR. Ada yang dibawa angin ke barat lalu jatuh di pinggir danau. Ada yang jatuh begitu saja tak kemana-mana. Tapi bergeser sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjauhi batang dan ranting yang melepasnya. Sementara yang terbawa angin ke selatan tak jauh dari batang pohon itu, ada yang jatuh ke sebuah ruang yang tersisa antara sepasang muda-mudi yang duduk di bangku taman. Mereka duduk tak begitu rapat.

Barangkali karena ini musim semi, mereka tak perlu duduk terlalu dekat. Tapi di ruang tempat daun itu jatuh sepasang tangan dan jari jemari saling menggamit. Mereka saling terikat. Tak banyak yang mereka bicarakan. Sesekali yang perempuan menengadah, wajahnya menatap ke langit senja. Ia tersenyum.

Sementara si perempuan tengah menikmati senjanya, si lelaki menatap ke sisi kirinya. Ia tersenyum. Perempuan itu adalah langit senjanya. Tak banyak yang mereka bicarakan. Angin berhembus. Satu lagi daun gugur menyusul, kali ini jatuh di pangkuan si perempuan.

Langit yang semula kuning keemasan telah jadi merah. Laki-laki dan perempuan itu meninggalkan taman. Ada setetes airmata yang tinggal di bangku taman itu.

Sore terakhir mereka dalam kenangan bangku taman.


2013

Kamis, 28 Maret 2013

Dari keping-keping ricik hujan


Dari keping-keping ricik hujan. Ada denting pental dingin
yang mengental. Terlempar ke sebuah teras, persis
ketika kamu sedang mendamaikan hatimu. Lamat ia
rambat. Jadi sesosok bayang. Jadi sebingkai diorama.
Tentang kesalahan masa lalu. Memintal kata yang dicegat
kerongkongan. Tak boleh diucapkan.

Dari keping-keping ricik hujan.

2012

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013) 

Commuter


DARI Bogor sampai ke ulu jakarta.
Merekalah seribu raga yang jadi satu rangkai.
Delapan gerbong. Di ujung-ujung, nona-nona
manis meronce.

Hak asasi disini tercerabut. Toleransi tak punya nyali.
Ibu-ibu berdiri. Laki-laki hahahihi. Duduk dikursi.
Tapi disini tak pernah sepi meski mereka acap kali jeri.

Tuan-puan sebentar lagi sepur kita tiba di Manggarai.
Sampai bertemu besok lagi. Pagi-pagi.


2012

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013)

Arca


ADA sekeping arca yang kuyup ditimpa hujan. Di depan
teras bermarmer lebar dan tiang beton yang lupa
betapa dirinya adalah raksasa di rumah itu. Tentang
arca itu, yang diluar dia menahan gigil, tak ada yang
pernah peduli.

Apalah arti sekeping batu yang dipahat? Bukankah
semua juga begitu. Bukankah dia memang diukir untuk
dipajang. Di rumah. Di halaman. Di depan teras
bermarmer lebar dan tiang penyangga yang raksasa.
Dari beton. Dan menggigil menahan dingin.

Tapi barangkali si empunya tak ingat. Bahwa batu karang
kikis dibasuh ombak. Batu cadas retak ditikam
hujan. Ada yang tak kekal dikolong langit. Ada yang tak
abadi selain kematian itu sendiri. Dan apakah arca?
Selain batu berukir yang menyiapkan kematiannya sendiri.

siapa yang peduli pada betapa sang artis telah
banjir peluhnya, legam kulitnya dan betapa kapal-kapal
ditangannya telah lebih keras dari batu itu sendiri. Betapa
tak perlu kita bermelankolik tentang sebuah arca. Dia hanya
dilihat karena rupa. Siapa peduli cerita dibaliknya.

Tapi arca tetaplah arca. Batu. Bukan prasasti. Dia hidup
sementara karena rupa lalu akan lekas mati. Di
halaman. Di depan teras bermarmer lebar yang tiangnya
raksasa-raksasa. Beton yang lupa diri.

Tapi bagiku ini semua tentangmu. Tentang cinta.


2012

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013)

Kota







:yang memusuhi penarik layang-layang



Di sebuah kota yang tanjung dan teluknya telah lama
memusuhi para pelaut itu, kini juga telah memusuhi
para penarik layang-layang.

Jangankan petak-petak tanah lapang, sawah kering pun hilang.
Tak ada lagi desis benang membelah udara mengantar lelayangan
mengangkasa.

"Kau bilang harus ku gantungkan
mimpiku diantara kejora gemintang, sementara
layang-layangku pun tak lagi bisa bersigantung menuju
lelangitan."

Di kota yang kini memusuhi para penarik layang-layang
itu, walikota sering bilang kalau ini kota ramah anak.
Dan di kota ini anak-anak sudah pensiun bermain
layang-layang. Di kota itu layang-layang terbang
dalam bayang-bayang.


(141012)

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013)

Tentang Perempuan yang Merindu


WAJAHMU tenang kini. Tak ada lagi isak. Tak pula jerit. Seperti kebiasaan lamamu, kau mulai berdandan. Memilih baju, celana, sepatu serta oleh-oleh apa yang akan kau bawa. Sejak hari itu aku tahu bahwa ada rindu yang tak pernah pudar. Ada rindu yang tak berubah. Dia hanya berbeda. Kau tersenyum. Anggun. Memesona. Di tempat ini--entah tahun yang keberapa--aku menyaksikan kesetiaanmu jadi bentuk rindu yang paling rumit. Lalu kau bersihkan nisanku dari bunga-bunga yang gugur.

***

INI TERLARANG. "Tapi aku tak bisa berhenti," katamu sendu. Begitu pun aku, yang hanya kuucap dalam hatiku. Air mukamu berubah setiap kali kita berbincang akan hal ini. Ketakutanmu adalah ketakutanku. Rindumu itu juga adalah rinduku. Menolak kehadiranmu berarti membunuh separo akal dan hatiku. Tapi sungguh, pertemuan ini--kalau bisa--tidak kita lanjutkan. "Kau adalah ibu dari keponakan-keponakan manisku, sayang."


(040811)

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Oktober 2012)

Sajak Buat Puan (2)



Rinduku ini telah lama amuk pada setiap umbar waktu.
Dipasak sesak, dihujam rajam. Rinduku riuh.
Menggemuruh jadi sesuatu yang rikuh. Kita bersipeluk
Pada sajak-sajak yang takluk.

Di kelangkelang mega, di lengkung gradasi warna
Bianglala, doa kita acap jadi gurau ketimbang di hirau.
Kerap kali jatuh tapi tak sampai aduh. Kerap kali jatuh
Tapi tak pernah rapuh. Karena cinta tak sampai hati
Sepuh.

Puanku, kaulah rinai, kaukah andai.


(180912)

(Sajak dimuat kompas.com 12 Oktober 2012)

Rabu, 27 Maret 2013

Sajak Buat Puan





JAUHMU kurengkuh lewat sebuah kayuh, pikirku;
Mestilah berlabuh sesuatu yang kelewat sepuh. Ada
Sajen yang dilarung tanpa tandan. Banyak Raden yang
Bertarung karena cinta yang berkelindan.

Kalau kau seumpama sajak, maka akulah abjad yang
Tak berjejak. Dihidu oleh rindu yang paling tabu. Jadi
Konsonan ke konsonan. Teman segala vokal. Pelengkap
Syair mesti kerap kali tak kekal.

Di batas aspal, di deru kapal, rindu tebalku mengekal.
Menujumu, bagiku, adalah lagi-lagi perjalanan yang
Mahabakal. Tak sandar kapal jika tak melaju.

Puanku, puanku, lamasabachtani..


(180912)

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Oktober 2012)

Di Bawah Lampu Jalan



Kuning. Lemah. Sendu.

Di bawah lampu jalan; kau adalah bayangbayang dedaun mangga yang tercerabut.
Hempas. Melayang. Turun ditarik gravitasi. Rebah di aspal yang pasi.
Pucat. Dilindas.
Ditindas.

Dibawah lampu jalan; puisiku dijajah bangsa sendiri. Proklamasi.
Reformasi. Jadi poster-poster sesudah demonstrasi. "Kita belum
merdeka. Kita belum..."

Di bawah lampu jalan; sebuah doa gegas nuju pelataran surga. Ayatnya
beradu cepat dengan ruhnya. Tapi sungguh pun ruhnya tak tahu hendak
kemana. Semasa hidup perbuatan mulianya hanya demonstrasi.

Di bawah lampu jalan; selembar koran tak mampu lagi bicara kejujuran,
wartawan kerap bertarung sendirian. Melawan Pemred dan slip gaji
bulanan. Banyak yang lebih dulu mati di pertengahan bulan.

Di bawah lampu jalan. Semoga yang benderang senantiasa terang.


Di bawah lampu jalan Rajabasa, 100912

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 September 2012)

Cikini Hampir Jam 12


; D. Anggraeni

SUARA serak kereta tua yang berulang-ulang kali dipaksa puber
lamatlamat menderu.
Parau suaranya memanggil orang-orang dari arah Gondangdia,
                                                                                             "lekas-lekas, berbarislah."
dikenyotnya besi-besi karat yang menjulur dari stasiun Kota hingga Bogor raya.
Rel-rel besi yang tak bergizi.
Mata tuanya, yang lama sudah rabun jauh, masih dipaksa menjelalat
hingga tengah malam kian dekat.

Di stasiun Cikini aku menanti.
Berdiri seorang diri setelah mengencani kekasih dua bulan sekali.
Ritual ini mestinya abadi.
Jadi sesuatu yang lebih purba dari prasasti.
Sesuatu yang pasti bukan sekedar imajinasi;
ku khayalkan masa tua, kau terawang hari senja, kita bersama melewatinya.

Cikini, hampir jam 12. Cepat atau lambat kita mesti bergegas.

Rawajitu, 250712

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 September 2012)

Purnama




DI RUMAH ITU, raganya tak pernah istirahat.
Kepada ibu dia selalu bilang bahwa dirinya
adalah kumbang. Berhenti adalah pada
bibir-bibir kembang.

Padahal selagi dia masih tenggelam
di ketuban, ibu sudah memilih nama
yang baik untuknya; Purnama.
Tapi apatah arti sebuah nama.
Ibu lupa bahwa anaknya adalah campuran
sel telur dan sperma. Karena kuat ia bertahan.

Purnama hanya kembali sebulan sekali.
"Habis ganti baju langsung pergi," kata Ibu sambil
memecah-mecahkan matahari di piringnya. Membelah-belah
matahati kesayangannya.

Pulang, bagi Ibu, adalah ketika Purnama menambah
hiasan di lemari jati. Sekali waktu dia bawa Toa, lain hari
dia bawa luka. Tapi, yang membunuh ibu adalah ketika
hiasan terakhir tiba lewat sebuah berita duka.
Purnama mati membela petani desa.

Lampung, 4 September 12

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 September 2012)

Kumpulan Sajak Kasmaran



1. PEDEKATE 
 ;- echie

Lewat debar yang poliponik
Aku bergetar coba mendekat
"Lagi apa," kataku menjelma kalimat.

(Bumi Dipasena, 160911)

2. TENTANG PACAR

Ibu tak tahu kalau aku sudah berutang pelangi kepada seseorang
Padahal sudah tiga bulan hujan tak mau singgah.

(Bumi Dipasena, 290911)

3. SEMBUNYI-SEMBUNYI 

Mimpi-mimpi itu aku mulai tak bisa membedakannya.
Entah dengan apa harus kupisah-pisahkan.
Gambarmu, sketsa jari jemari kita yang bersidekap,
siluet punggungmu, arsir halus rambutmu.
Masihkah itu nyata, Adinda?
Lalu dengan pena yang mana kutebalkan
bagian-bagian halus yang mestinya tegas itu.

(Bumi Dipasena, 091111)

4. PACARAN JARAK JAUH

Di Jakartamu,
Di stasiun Cikini,
Di Pertigaan Kramat Sentiong,
Di rumah induk semang yang tak pernah ku ingat berapa nomornya,
Enam puluh hari sekali.
Aku bergegas dari Bumi Dipasena.

(Bumi Dipasena, 091111)


(Sajak-sajak ini dimuat kompas.com 15 November 2011)

Tentang Tiga Hal




IBU
Ditanaknya mimpi-mimpi yang dijumpainya subuh tadi.
Sambil berdoa diberikannya padaku sepotong mimpi yang paling besar
kata ibu, aku anak tertua, jadi harus terima porsi itu.
Maka sebelum aku dewasa kuterima amarah dua kali lebih banyak
kuterima cambuk lebih panas dari memar kena pijar
kata ibu aku harus larung jadi debu setinggi bintang.

AYAH
Bukanlah prajurit yang raganya mesti mati di medan laga
karena untuk jadi pusara itu mudah saja.
Tapi bapak telah jadi yang luhur karena kesetiaannya
pada hening yang kadang tak dimengerti ibu.
Bapak telah lama menikmati perselingkuhannya
dengan yang senyap jauh sebelum raganya menikah dengan ibu.
Lalu suatu masa dari doa bapa lahir bunga-bungaan,
yang mekar karena bapak telah lama jadi Oak,
menantang puyuh demi kami.

AGAMAKU; DUKA
Dengan nyalang kau bilang mereka binatang!
Pada rahim-rahim yang tak punya hak pilih
kau lahir jadi benih yang mendidih,
"harusnya kupadamkan kau pakai kemih," sentak Ibu pada perutnya.


(Bumi Dipasena, 29/9/2011)

(Sajak ini dimuat kompas.com 15 November 2011)

Diorama Surga



LIHATLAH yang berdosa pun sudah berlomba mencari surga dibalik ceruk malam, didalam celana dalam dan diantara selaksa kupu-kupu malam  tak ada tak ada yang benar-benar percaya pada kita pada surga yang berasal dari gereja, dari mushalla serta dari hening pura dan sinagoge.
PERBEDAAN: kita sudah memutuskan ada banyak perbedaan. kau kaya mereka biasa saja, kau juragan mereka bawahan maka wajar saja jika hidup hanyalah gurauan parodi manusia untuk kesementaraan. Kebaikan hanya mungkin tumbuh dijiwa yang teduh (maka berusahalah melawan keluh)  
BAGIMU, bagiku membayangkan semua yang pasti adalah kemungkinan mengharapkan yang nisbi lebih pasti daripada mimpi.   seperti ratap dijumat siang gegaslah kita nuju sembahyang.
(doakan saja surga masih disana ketika kita tiada)

Bandarlampung, rimba. sebelum senja tiba 04 Agustus 10

(Sajak ini dimuat kompas.com 25 Mei 2011)

2010; Sejenak Membaca yang Terlupa









Januari;
Perlahan kita melukis senja di setiap angka yang merambat. Dengan Pelangi, langit jingga, hujan, dan beribu tabur daun gugur. Awal dari yang akhir. Pintu gerbang di tahun yang menandai harapan akan segala pencarian. Aku dan kamu, kita sama-sama mengharapkan segala sesuatu akan bermula semanis Januari. Tak boleh ada air mata disini, angka-agka yang berderet memanjang melintasi segala beban, harus ditaklukkan dengan semangat; bahwa kehidupan adalah hasil dari kalkulasi matematis perjuangan dan ketekunan!

Februari;
Ketika waktu menjelma menjadi masa-masa terbaik menjelajah relung-relung jiwa yang sunyi demi pencapaian cinta yang sejati--ini pun kita lakukan demi keutuhan sebagai makhluk ciptaan. Kekasih, siapakah yang tak menderita jika tak memilikinya? Namun, kekasih bukanlah tujuan; Seperti semua doa yang pernah melintas disini, kebahagiaan jualah perhentian segala pencarian. Dosalah kita jika kita tak berusaha disini (karena berdoa tanpa berusaha adalah sia-sia).

Maret; 
Hujan yang tak reda bukanlah akhir segala masa. Pelangi sehabis hujan penanda bahwa semua tanda itu bermakna. Pekalah kita membaca segala aksara yang maha kuasa, karena sekali kita alpa sia-sia pulalah doa dan puasa. Riciknya sekalipun, dia memiliki makna dan bukan sekadar saja. Inilah tempo bagi kita menajamkan pisau-pisau asa agar tak henti segala upaya.

April;
Kumaknai kamu sebagai Ibu; Bukan tugu semata yang harus diziarahi. Aku, kelak akan menjadi legenda, disini karena pada April kulihat Ibu yang seteguh karang di lautan mengajarkanku kesetiaan. Di atas tubuhkulah kelak, katanya, akan dibangun mercusuar bagi kalian yang kehilangan penanda. Zaman akan berganti, tapi Ibu adalah kesetiaan yang tubuhnya tak retak melawan pukulan hujan dan cercaan matahari; demi anak-anaknya.

Mei;
Episentrum segala debar bermuasal disini. Kalian, yang pernah hadir, masih, atau akan datang, menumbuk sukmaku disini. Tengoklah kedalam ceruk jiwaku, yang terbentuk karena kau memusatkan segala getar disana. Ada luka yang tak hilang dan mengulang setiap kali melintas di hadapmu, O Mei.

Juni;
Adalah milik siapa saja yang ingin berhenti sejenak untuk melihat warna pagi. Adalah milik siapa saja yang ingin berhenti sejenak untuk membicarakan batas-batas keraguan yang terlewati. Disini ada banyak ruang-ruang kosong; entah untuk siapa saja. Karena disini adalah perhentian sementara; shelter bagi kita petualang-petualang kehidupan.

Juli;
Setiap kali terucap berarti harus dikejar. Lupakanlah portal-portal liar, karena pasti selalu ada jalan memutar. Di pelataran Juli kita akan merajut semua semangat yang terkoyak. Karena tubuh harus tetap semangat, dan pikiran tak boleh berhenti memimpikan kehangatan sesungguhnya. Percayalah, kemauan mengalahkan segala rintangan.

Agustus;
Jerih lelahmu membopongku sampai ke Agustus selalu kumaknai. Oleh karena itu jugalah kuraih pucuk-pucuk tertinggi demi memancangkan namamu. Demikian juga bahwa aku selalu tak menginginkan ingar-bingar disini. Sungguh pun.

September;
Bau tanah basah ini mengingatkanku pada segala perpisahan. Persahabatan adalah tanda kematian, karena pada ikatan kita takut kehilangan. Semua adalah kesementaraan dan kesendirianlah yang abadi. Sejak itu, kita mengekalkan segala kenangan persahabatan ke dalam sebuah catatan yang kau simpan dalam semayam September.

Oktober;
Kita saling mentap tapi tak bicara. Kau tertahan atau aku yang tertawan, aku pun tak tahu. Kita tak pernah duduk bersama mengurai hari tua; misalnya ketika kau beruban dan menertawai kepolosan masa muda kita. Juga ketika cinta adalah musibah, padahal segala usia mendambanya. Tapi kau tahu bahwa kelak kita memang tak bersama, karena itu juga lah aku tak mengajakmu duduk hari itu.

November;
Pulang. Kuikat temali itu setiap 5 meter langkahku pergi meninggalkanmu. Ku tabur juga di jalan yang kulalui secuplik lagu. Semuanya kulakukan karena di November kita harus pulang; perjalanan panjang yang kita lakukan adalah untuk menemukan jalan pulang, kembali ke dalam diri sendiri. Karena itulah kusiapkan lagu untuk menemani langkah kita jika hari itu datang.

Desember;
Senandung malam kudus menggetarkan Desember. Mengabarkan kedatangan Dia yang penuh kesederhanaan. Sementara kita, yang tidak sempat menikmati palungan, bermewahan dengan segala alasan. Tapi disini tak boleh ada duka. Sesiapapun juga. sebuah refleksi untuk 2010.


Bandarlampung.25.12.10

(Sajak ini dimuat kompas.com 25 Mei 2011)

Ing Kata Mangun Rasa






KETIKA MALAM TIBA,
berdecit katakata dari sarangnya
meminta dirangkai, diikat, disatukan


seperti kalong tak melolong,
katakata berjejal antri dan berbaris rapi
menunggu penjaga loket memberi karcis agar menjadi kalimat

katakata selalu menunggu setelah matahari selesai bertugas
dari balik pintu, menyambut malam, merapikan bintangbintang
bergegas meletakkan rembulan yang siap merangkak (lagi)

katakata yang manis hanya yang ditujukan bagi kekasih
sementara setiap malam tiba kekasihku sudah kusut di pembaringan
tak berbalas katakata, padahal setiap malam tiba katakata berdecit minta dirangkai.

katakata yang manis akan kuantarkan besok pagi kepada kekasihku
bersama sarapannya, sepiring nasi goreng, telur ceplok dan jus tomat,
hidangan penutupnya adalah sepenggal sajak cinta yang tak tuntas dibacanya semalam.

katakata, selalu saja berdecit setiap malam tiba.

 
Depok, 201009

(Sajak ini dimuat kompas.com 30 Desember 2009)

Seumpama Kita Pacaran (lagi)









SUDAH sengaja kukumpulkan kata-kata yang terburai dari perut kalimat. Awalnya hendak kurapikan untuk kujadikan kalimat baru. Tentu saja kalimat tentangmu. Tentang malam yang berkelabatan bersama bulan setengah purnama serta cericit kelelawar di balik rerimbunan beringin cinta.

Hendak ku pugar asrama baru yang di dalamnya hanya ada kamar kasih, kamar yang menghadap ke pohon-pohon mangga yang tak pernah kita cicipi walau seiris saja. Namun ternyata perjalanan menuju lokasi yang hendak kujadikan asrama itu panjang membentang dengan rintang-rintang yang memalang.

Kemarin kupaksakan kembali mengais-ngais kata, imbuhan, majas-majas dari kelas bahasa yang diajarkan antarfakultas. Kelas yang sudah terlalu lama kutinggalkan karena belum kutemukan sebuah padanan kata, kata cinta. Tapi disaat kumenemukannya, aku justru kekurangan banyak kata-kata serapan baru. Ini adalah salah satu hal yang tak ku mengerti dari pelajaran bahasa. Tak pernah aku lulus untuk mendefiniskan apa itu sebenarnya cinta.

Dari dalam kamar kasih, sesekali wajah musim semi itu menyapa hangat. Sehangat matahari yang datang pagi tadi untuk menjemput embun pulang dari pucuk-pucuk dedaunan dari pohon mangga kita. Walaupun kamu dan cerita ini hanya ada dalam imajiku, kumohon jangan berontak, tetaplah tenang, karena masih banyak yang hendak kututurkan. Ini bukan cerita murahan, cerita perempuan yang meregang karena senang di balik ranjang-ranjang yang memanjang seperti jajaran genjang.

Berikanlah maklum atas bahasaku yang seronok, bukankah kejujuran adalah lilin di malam kudus. Penerang bagi orang-orang majus mencari Yesus. Sesat hanyalah kata yang terlupakan, yang sengaja ditinggalkan bagi mereka yang tak sependapat dengan Tuhan. Ini bukan Permainan kata, karena ku tak pandai bermain dengan isi kepala. Temani aku duduk di kelas ini, mendengarkan seminar tentang resah bahasa, tentang kata selain cinta.

Pemilik wajah musim semi itu bersembunyi, aku tak berani mendekati, tak berani menemani. Biarkan saja dia sendiri, matahari juga sendiri, bulan juga sendiri. Aku tak tahu apa kata yang paling tepat untuk mendekatinya. Ada begitu banyak gurauan, ada begitu banyak kata sapa; hei, hai, halo, semisal. Tapi semuanya terlipat dibalik lidah yang menjadi berat.

Apakah karena Tuhan ada di dunia? Tapi dia bukan tuhan. Aku bingung, bahasaku salah. Maka biarkan aku sebentar terpejam, hendak meminjam kata-kata terpendam yang sudah lama dirajam.
Plup! Aku hilang bersama tusukan pada bola-bola sabun yang kau mainkan sore ini. Sebentar aku akan kembali bersama dengan kata yang tepat untuk bertanya padamu.

Masih senyap saat aku mengerjap-erjap. Plup! Aku kembali datang, bersama satu tusukan pada bola-bola sabun itu lagi. Aku Cinta Padamu, bersediakah kau jadi pacarku (lagi)?

Semisal kau jawab “Iya”, pegang tangan kananku, buka telapaknya, gambarlah huruf "A". Jika kau hendak menjawab tidak, peganglah tangan kiriku, bukalah telapaknya, gambarlah huruf "O". Mungkin kau akan bertanya apa itu A, apa itu O. Jawabnya adalah A sama dengan Alfa, dan O sama dengan Omega. Artinya, Awal dan Akhir.

Aku ingin menjadi orang yang pertama untuk melakukan segalanya bagimu, kau yang bersembunyi di balik kamar kasih. Begitupun aku ingin hanya kau saja orang yang terakhir mengatakan "Tidak" padaku, wahai seroja bukan bunga. Jawablah, aku harus mengembalikan lagi kata-kata itu.

Akankah kita pacaran (lagi).

Depok, 111009

(Sajak ini dimuat Kompas.com 30 Desember 2009)

Perih



#Kamu-ku

Kau aku rindu sampai ke segala perih.

Perih, katamu, adalah sajak yang lahir
dari letupan cinta yang padanya segala lirih
memanggilnya: ibu.

Dosa manusia yang alfa dan omega hanyalah satu: cinta
Ia kemudian memperanak segala duka.

Sajakku ini tidak dilahirkan dan ditetaskan
ia adalah yang sublim dan jadi hujan.
hanya karena kau begitu mencintai hujan itu sendiri.



2013

Fragmen Ingatan

:Desi Anggraeni

ingatkah nona tamanismailmarzuki?
meski tak penuh dengan tumbuhan
tapi hari itu aku berbungabunga
di akhir desember duaribusepuluh

Ingatkah nona curug tujuh?
adalah cerita sepasang jemari yang malu-malu
dan rona dari hati yang luruh

ingatkah nona cimory?
tentang perut yang tak lapar
dan wajah nona yang putih berseri
disapu embun cisarua

ingatkah nona stasiun gambir
tentang yang datang dan pergi
tentang dekap dan sebuah kecup di kening

ingatlah nona. karena meski apa jua terjadi
nona akan tetap ada dalam hidu dan
jadi udara sepenuh rongga dada ini.


2013

Kejutan

DIPERTENGAHAN bulan ini tuan ingatkan saya bahwa tak berapa lama lagi tuan akan merayakan sebuah pesta. Tuan nampak penuh gembira. Air muka tuan macam nona-nona muda jatuh cinta; mata berbinar, senyum berpancar, dan sesekali tuan nampak salah tingkah. Ah, party, betapa sungguh ia telah jadi penyemangat.

"Tapi, party macam apakah yang hendak tuan helat nanti?"

Tuan diam saja. Tuan bilang nanti ada saatnya. Ah, saya lupa, apalah artinya pesta tanpa sebuah kejutan. Dan tuan tahu itu. Tuan benar-benar paham bagaimana membuat saya tetap menantikan harinya tiba.

Lusa adalah harinya, tuan nampak berapi-api. Tuan membakar apa saja yang tuan lalui. Tuan, kataku, tuan nampak bersemangat sekali. Sebegitu berartikah pesta lusa nanti? Tentu, jawab tuan, tak ada yang menggembirakan dari hari itu dalam hidupku.

Sejak pagi tadi tuan nampak sibuk menyiapkan segala sesuatu. Wajah tuan kian memerah, sepertinya energi yang berapi-api itu telah ikut juga mendidihkan darah tuan. Sesekali tuan berdiri di muka rumah tuan. Berlagak seperti seorang insinyur memandangi karya seninya.

Lalu tak lama tuan masuk ke dalam sambil membawa sebuah tangga dan gunting tanaman. Ranting ini, kata tuan, menghalangi cahaya ke ruangan inti. Lalu tuan memangkas ranting yang menjulur ke arah matahari itu. Sempurna, kata tuan.

Tapi ada yang tak biasa, kenapa tuan hanya memberi undangan kepada saya saja. Tuan kali ini benar-benar membuat saya bertanya-tanya. Pesta apa yang akan tuan rayakan pun saya masih menduga-duga, kini tuan menambah kebingungan saya dengan undangan yang hanya ditujukan kepada saya semata.

"Paling tidak beri tahu saya jenis pesta apa ini tuan, agar saya bisa mencarikan kado yang tepat untuk pesta ini..."

Tapi tuan bilang tuan tidak butuh kado. "Lalu, baju jenis apa yang harus saya kenakan, tuan?"

Tapi tuan bilang tuan tidak butuh baju.

Ah, tuan benar-benar berhasil menelanjangi saya.

Hari yang dinanti pun tiba. Tuan berdandan penuh gaya. Memesona saya yang biasa melihat tuan tampil apa adanya. Dan saya datang seperti kemauan tuan. Tak berbaju tak berkado.

Tuan berdiri di pintu menyambut tamu yang hanya saya seorang. Tuan gandeng tangan saya memasuki rumah yang telah tuan permak, penuh dekorasi sana-sini. Pelan langkah tuan saya ikuti.

Suasana teduh dan lampu temaram yang tuan pasang membuat pupil mata saya mesti bekerja sekuat tenaga menangkap cahaya. Mata saya paksa untuk melihat dekorasi apakah semua ini, yang tuan pasang sendiri selama beberapa hari.

"Tuan..."

Kenapa tuan hanya tersenyum. Ini gila, tuan. Pesta jenis apa ini.

Kenapa tuan ajak saya melihat semua ini?

Setahun lamanya tuan rawat luka tuan, dan kini tuan pertontonkan kepada saya.

Kalau memang tuan tak izinkan saya masuk ke kehidupan tuan, tak perlu tuan tunjukkan hati tuan yang penuh sayatan itu. Tak perlu fragmen-fragmen luka ini tuan pajang. Dan sungguh pesta ini adalah kematian yang kita rayakan. Ini sungguh tak perlu, tuan.

Saya hanya ingin jadi obat untuk tuan, tapi itu pun saya gagal...


Maret 2013

Kamis, 07 Maret 2013

Di Bawah Riak Bambu


Dua hari yang lalu kulihat dia ditepi jalan itu. Dengan wajah tertunduk dia berdiri menatapi warna sepatunya yang terus memudar dan sebagian kulit sepatunya yang juga mulai mengelupas.

Sudah beberapa hari ini dia berjalan tanpa merasakan lapar (karena dia tidak boleh lapar). Wajah yang mulai tirus, serta kulit-kulit dibibirnya yang mulai mengelupas (sama seperti kulit sepatu kebanggaannya) menjadi tanda dari semua itu. Tapi dia tidak boleh kalah, dia harus menang untuk hidup.

Lagi, kulihat dia kemarin berdiri dibawah bambu-bambu filipin yang tumbuh subur dan rapat berdiri. Dia menempelkan sebagian anggota tubuh bagian atasnya, yang sudah tidak mampu disangga oleh kaki-kaki kecilnya. Mungkin, dengan hari ini dia sudah tiga hari tidak bercengkerama dengan sendok dan piring serta ikan-ikan mati yang menjadi kering setelah mandi dalam minyak goreng subsidi itu.

Sedari tadi aku tidak menceritakan, sebetulnya ditangannya dia menggenggam sebuah map berwarna merah yang dimasukkan kedalam plastik transparan. Dari jarak dua meter aku masih bisa membaca tulisan yang tertera dibagian depan lembaran map merah itu yang bertuliskan “LAMARAN”.

Aku masih mencoba untuk menerka, kenapa dia memasukkan map itu kedalam plastik transparan padahal dua bulan ini hujan tak lagi turun? Setelah panjang aku berpikir dan memaksimalkan kerja otakku, aku hanya mendapatkan beberapa kesimpulan.

Pertama, dia mencoba mempublikasikan kepada semua orang yang melihatnya bahwa dia butuh pekerjaan. Dia butuh upah untuk mencukupi kebutuhan jasmaninya, yang terlanjur kurus. Dia butuh tempat untuk menjalankan kutukan tuhan kepada manusia sebagai ganti dosa mula-mula.

Kedua, Dia hanya ingin memastikan bahwa lamaran itu tidak kotor karena keringatnya. Mungkin, dia ingin orang lain dapat menggunakan lamaran itu, apabila ia harus menyerah.

Hari ini, saat aku duduk didalam sebuah gereja yang disesaki oleh ratusan manusia, aku tidak melihat dia. Laki-laki itu biasanya selalu datang ke gereja ini. Dia mengenakan pakaian yang sama, kemeja lengan panjang berwarna abu-abu dan celana dasar warna gelap. Semua itu seperti simbol-simbol yang hidup bagiku.

Sesaat setelah ibadah, yang sedikit menghibur, aku melangkah pulang. Sambil berjalan dibawah pohon-pohon penghias jalan aku masih memikirkan laki-laki yang tak kukenal itu.

Sama seperti kemarin saat aku melintasi barisan bambu filipin itu, kudapati sebuah tubuh lunglai dengan kemeja abu-abu dan celana warna gelap. Sayangnya, kali ini bukan lagi bibir dan kulit sepatunya yang mengelupas, bukan. Kali ini, rohnya yang mengelupas dan meninggalkan tubuh kurusnya itu. Tidak ada yang menolong.

Aku berkenalan dengannya setelah ia mati. Namanya, Hidup.


Bandar Lampung, 10 Februari 2009

Hugo Chavez

Hasta La Victoria Siempre, Commandante!

Gambar dari: rri.co.id
Begitulah ucapan banyak pihak kemarin, 5 Maret 2013, setelah Wakil Presiden Venezuela Nicolas Maduro mengumumkan secara resmi kematian sang Komandan, Presiden Venezuela Hugo Chavez. Kata-kata milik mendiang Che Guevara, tokoh perjuangan yang namanya kian kesohor setelah kematiannya itu, kemarin diucapkan kembali saat Hugo Chavez, tokoh beraliran sosialis itu menghembuskan nafas terakhirnya akibat penyakit kanker yang dideritanya.

Melalui sosok Hugo Chavez banyak pihak melihat karakter Che Guevara yang terlahir kembali. Dia begitu dibenci sekaligus dicintai. Dibenci oleh negara-negara barat, terutama Amerika Serikat. Namun dicinta rakyat yang dipimpinnya dan juga bangsa-bangsa amerika latin. Empat belas tahun memimpin Venezuela sudahlah cukup sebagai bukti betapa ia telah menjadi pemimpin yang dipuja.

Seorang wanita Venezuela menyaksikan pidato Hugo Chavez. Gambar dari www.odt.co.nz

Kepemimpinannya yang kontroversial dan berani menentang Amerika Serikat telah membangkitkan semangat baru sosialisme di amerika latin. Paraguay, Nikaragua, Brazil, Bolivia, Argentina adalah negara-negara yang ikut menyemai angin perubahan pasca kepemimpinan Hugo di Venezuela. Angin sosialisme berembus sejuk di amerika latin.

Hugo Chavez dan Fidel Castro. Gambar dari openrevolt.info

Kedekatannya dengan Kuba, Iran, dan Cina, sudah barang tentu membuat Amerika dan sekutunya gerah. Belum lagi langkah yang diambilnya dalam kebijakan dalam negeri ketika menasionalisasi perusahaan minyak asing. "Saya yakin bahwa jalan untuk membangun dunia yang baru dan lebih baik bukanlah kapitalisme. Kapitalisme membawa kita langsung ke neraka," ucap Hugo Chavez.

Berikut adalah kutipan kata-kata Hugo Chavez yang cukup terkenal sebagaimana dikutip vivanews.com dari laman yang dilansir news.com.au :

Seperti Che Guevara, Grafiti Hugo Chavez banyak ditemui di Venezuela. Gambar dari blog.futureforeignpolicy.co

"Kawan-kawan, dengan sangat menyesal, tujuan yang telah kita siapkan belum tercapai."   Kalimat ini diucapkan Chavez kepada rekan seperjuangannya pada 14 Februari 1992, ketika dia gagal melakukan kudeta terhadap Presiden Venezuela yang tengah berkuasa saat itu, Carlos Andres Perez.

"Kuba adalah lautan kebahagiaan dan kesanalah tujuan Venezuela." Chavez mengucapkan kalimat ini pada 8 Maret 2000, ketika dia menerima relawan pekerja asala kuba. Mantan pemimpin Kuba, Fidel Castro, diketahui merupakan sekutu loyal Chavez. Hubungan mereka sangat dekat, bahkan Chavez sudah menganggap Castro sebagai ayahnya sendiri.

wallpapers.free-review.ne

"ALCA, ALCA, Pergi saja ke neraka!" Ia sampaikan pada 4 November 2005, saat menentang pembentukan kawasan perdagangan bebas amerika latin yang didukung oleh Amerika Serikat.

"Kau adalah seekor keledai, Tuan Berbahaya." Kalimat ini ditujukan bagi mantan Presiden AS George W Bush. Dia melontarkan kalimat tersebut dalam sebuah acara televisi bernama "Hello President" pada 19 Maret 2006.

www.cnn.com

Nyali Hugo yang kesohor itu juga terbukti ketika dia menyampaikan pendapat di depan sidang majelis umum PBB pada 20 September 2006. "Kemarin setan itu ada disini. Tepat disini dan baunya tercium seperti belerang." Kalimat itu dia ucapkan setelah sehari sebelumnya George W Bush berdiri di podium yang sama.

"Pergi ke neraka Yankee brengsek!" Pada 11 September 2008, Chavez mengusir duta besar AS untuk Venezuela, Patrick Duddy sambil mengucapkan kalimat makian tersebut. Aksi ini dilakukan Chavez sebagai bentuk solidaritas terhadap Bolivia yang telah melakukan yang sama beberapa hari sebelumnya.

Selain kontroversial dan keras terhadap negara-negara imperialis, Hugo Chavez juga adalah sosok religius. "Berikan aku mahkota duriMu, Tuhan Yesus, sehingga aku terluka. Berikan aku 100 salibMu dan aku akan membanya untukMu, tetapi jangan ambil nyawaku, karena aku masih ingin melakukan berbagai hal untuk rakyat dan negaraku. Jangan dulu ambil nyawaku," katanya dalam sebuah misa yang diadakan untuk pengobatan penyakit kanker yang di deritanya, pada 5 April 2012.

Sang Komandan: Hugo dan Che. Gambar dari  temorisblog.wordpress.com

Tapi rupanya tuhan berkehendak lain, 5 Maret 2013 Hugo Chavez meninggal dunia. Hasta La Victoria Siempre, Commandante. []

2013

Sukma(h)ilang

www.penang-traveltips.com
www.penang-traveltips.com
ADA ANGIN YANG PLESIR dari beribu batang bambu. Dari puncak bukit yang sepi, suara batang yang saling meliuk menggesek itu seperti jerit demit. Jejerit yang mengantar angin malam itu memasuki perkampungan. Anak-anak begidik. Jendela diengsel.Pintu-pintu digembok. Api di tungku mestilah padam.

Sesiapa saja di kampung itu tahu, lolong bambu yang datang dari bukit itu bernafas. Dia dihembuskan melewati sisi-sisi bukit di kiri dan kanannya. Melintas menuju lereng sebelum tiba di lurah. Di perkampungan yang ada di dataran paling rendah. Dan sesiapa juga tahu, setiap nafas yang dihembuskan mestilah dihidu kembali. Soal itu mungkin biasa, tapi di kampung itu berbeda. Karena apa yang dihidu bukit-bukit gelap itu ialah nyawa.

Bisa kambing, ayam, sapi, anjing, tapi lebih sering manusia.Bukan sekali dua kali. Biasanya bukit itu bernafas tiga kali dalam dua kali panen padi. perkampungan itu dibuka pada awal tahun 80-an lantaran program transmigrasi pemerintah.

Dan sejak awal itu pula, selalu ada nyawa yang moksa tiap kali bukit itu menghidu. Kali pertama warga menemukan jasad seekor kambing di gapura kampung. Kali berikutnya seekor kerbau di sawah di belakang kampung. Dan setelah kematian kerbau itu, menjelang akhir tahun barulah warga mendapati sesosok tubuh manusia di jalan setapak menuju ladang coklat, tak jauh dari perbatasan kampung dan hutan bukit setan itu.

Jasad itu tubuh seorang laki-laki. Tak ada yang mengenalinya. Tak pula ada identitasnya. Kantor polisi berpuluh-puluh kilometer jaraknya dari kampung itu. Transportasi tak ada. Warga yang tak ingin menerima bala dengan sukarela memakamkannya di sisi kiri lereng bukit terkutuk itu. Tak ada anak-anak yang berani ke sana.

Di tahun kedua, kembali terjadi hal serupa. Hanya saja kali ini urutannya berbeda. Kali pertama justru sesosok tubuh manusia mati di gerbang desa. Lagi-lagi tak ada yang mengenalinya. Identitasnya pun tak ada. Seperti ada yang membuangnya disana. Tapi warga tak pernah mendengar adanya deru kendaraan yang lintas malam sebelumnya. Jasadnya dimakamkan berdampingan dengan si lelaki pertama. Baru kejadian berikutnya mati lagi seekor kerbau dan menyusul kemudian kambing.

Penemuan dua jasad anonim itu menjadi pergunjingan warga kampung yang sebagian besar didatangkan dari pulau Jawa. Kepala desa, yang berkunjung ke kecamatan tiap akhir bulan pernah mengadukan perihal itu kepada camat serta Babinsa. Tapi ia hanya kembali membawa janji bahwa akan ada aparat yang dikirim seminggu sekali ke kampungnya. Sudah dua tahun mereka disana, nyatanya tak sekalipun ada aparatur pemerintahan yang mengunjungi.

Dengan inisiatif kepala desa dan hasil urun rembug warga, mereka menyepakati untuk mengadakan ronda tiap malam. Dua bulan berlalu sejak kematian kambing terakhir kali. Warga masih berjaga-jaga. Namun, di malam pertama memasuki bulan yang ketiga. Saat bulan hilang sempurna di balik perbukitan, suara lolong yang ringkih  menuruni bukit.

Suaranya seperti langkah kaki laki-laki tua yang diseret. Menyapu hutan dari puncak melewati lereng yang senyap. Suasana kematian yang menyergap perkampungan itu. Tak ada yang percaya mereka menemukan jasad lagi. Kali ini seekor anjing berburu milik kepala desa.

----

Kampung itu berada persis di hadapan bukit lolong itu. Jika digambarkan perkampungan itu seolah-olah ada di dekapan sang bukit dengan lereng di kiri dan kanannya yang serupa lengan raksasa. Meski sudah memasuki tahun ketiga belum ada satupun warga yang naik kesana. Meski hanya sebatas mengambil kayu-kayu dan ranting kering dari dahan-dahan tua yang patah.

Dari perbatasan antara kebun warga dan pintu rimbanya tampak jelas terlihat bahwa bukit itu memiliki suatu keanehan. Ia tak dilahirkan dengan cara yang biasa. Seperti anak-anak yang tak diharapkan. Dibuang dan menjadi makhluk setengah manusia dan setengah setan. Di puncak bukit itu berbaris rapi seribu batang bambu. Ia lambai ke kanan dan ke kiri. Seperti sesuatu yang dipersiapkan untuk menyambut. Atau juga melepas.

Bukan itu saja yang membuat bukit itu tak biasa. Dia juga bernafas. Sekali waktu ia seperti lolong serigala, dilain waktu ia juga seperti setengah berteriak. Seperti suara wanita yang dicekik tenggorokannya. Ia begitu lirih. Menyiksa telinga siapa saja yang mendengar.

Dan sejak kematian-kematian yang tak bisa dijelaskan dan tak boleh diceritakan itu, warga menamai bukit itu dengan nama bukit Sukmailang. Ya, sukma yang hilang.

----

Keganjilan-keganjilan itu terus terjadi tanpa ada yang berani membahas ataupun menceritakan. Warga percaya bahwa ada sesuatu diluar alam pikir mereka yang melakukan hal itu. Nafas bukit itu, misalnya, ia dipercaya sebagai tanda bahwa ada kekuatan yang tak terjelaskan mampu melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan itu. Yang mereka yakini adalah bahwa sepanjang sejarah berdirinya kampung itu, hanya ayam, anjing, kambing, sapi, dan kerbau saja yang sepenuhnya milik warga kampung. Sementara jasad-jasad manusia yang mati tak pernah ada yang mengenali dan bukan bagian dari kampung yang di dekap bukit itu.

Oleh karenanya tak pernah ada keinginan dari warga untuk mengusut jasad-jasad milik siapa saja yang telah mereka makamkan di perbatasan hutan setan itu. Bagi mereka itu sama saja merusak keseimbangan alam. Tabu yang diwariskan dari keturunan ke keturunan.

Namun benteng pertahanan yang semula dibangun warga kampung dengan tidak menceritakan dan membahas segala hal buruk di desa itu akhirnya runtuh pada suatu malam. Ketika suara perempuan yang dicekik lehernya meliuk melintasi lereng-lereng bukit, memasuki ladang dan sawah warga sebelum tiba di perkampungan.

Perempuan-perempuan itu seperti berkerumun di tengah-tengah kampung. Suaranya saling bersaut-sautan. Saling mencekik dan saing berteriak. Serak yang maut. Kematian yang mengetuk dan memekik di pintu rumah warga kampung.

Anak-anak telah menjadi begitu histeris. Tak kalah suara para wanita di dalam rumah ikut menyayat hati yang mendengarkan. Mereka telah menjadi serigala. Lolongannya meremangkan bulu kuduk siapa saja yang mendengar.

Suara setan-setan betina yang datang dari bukit itu telah rasuk ke dalam tubuh anak-anak dan wanita di kampung itu. Seisi kampung hanya diisi suara tangis dan teriak yang memekik. Hanya laki-laki yang tak dirasuki. Namun betapapun kuat telinga mereka mendengarkan, hati mereka tak sungguh-sungguh mampu menahan jerit dan tangis anak dan isteri mereka.

Sungguh tak ada kemampuan mereka untuk mengusir lolong dan leher-leher yang tercekik dari isteri dan anak-anak mereka. Hanya kematianlah yang mungkin menenangkan mereka juga agar bukit itu menghidu kembali.

Dan sebelum pagi benar-benar tiba di kampung itu, suara perempuan-perempuan yang tenggorokannya saling mencekik itu telah kembali ke bukit Sukmailang. Bersama sukma seisi kampung.


Depok, 2013

Surat

Gambar: kopihijau.info


Yang terkasih, 
kamu
dikedalaman hatiku yang paling

Maret sudah tiba. Masihkah kau ingat tentang nama-nama bulan yang pernah lintas? Sejak 2009 hingga 2013. Sekali waktu aku pernah menuliskan sebuah sajak tentang sejenak membaca yang terlupa. Di terbitkan di laman Kompas. Aku mencatatnya begini,
"Maret; Hujan yang tak reda bukanlah akhir segala masa. Pelangi sehabis hujan penanda bahwa semua tanda itu bermakna. Pekalah kita membaca segala aksara yang maha kuasa, karena sekali kita alpa sia-sia pulalah doa dan puasa. Riciknya sekalipun, dia memiliki makna dan bukan sekadar saja. Inilah tempo bagi kita menajamkan pisau-pisau asa agar tak henti segala upaya."
Tapi kali ini aku tak ingin bicara soal Maret, Mei, atau Desember. Soal waktu, cepat atau lambat ia akan lekas lalu. Jadi jejak dan tanda-tanda. Jadi fragmen-fragmen. Jadi relik-relik. Jadi tangis. Jadi tamsil. Jadi sajak yang tak tuntas.

Waktu tak akan pernah beku. Dia hanya moksa lalu lahir kembali jadi bentuk yang baru. Serupa setapak; ia tak akan sublim karena malam. Esok dia tetap ada, hanya berubah karena diinjak oleh jejak-jejak sesiapa.
Dihadapan waktu yang gagah perkasa itu kita begitu ringkih. Kita adalah gerbong yang diseret lokomotif yang tergesa-gesa.Telah lintas stasiun-stasiun yang dulu berjejalan dengan khayal romansa hari tua. Dan setibanya di dipo kita akan segera dicarikan kepala-kepala loko yang baru. Rel yang baru. Destinasi yang saling ingkar.

Tapi, pun begitu aku percaya bahwa waktu ialah sejarah itu sendiri. Ia akan menemukan dirinya mencapai momentum untuk kembali melintasi jalan pergi untuk mencapai rumahnya. Jalan pulang. Demikianlah aku belajar dari zaman ini. Sejarah akan berulang.

Aku tahu bahwa kita harus saling menerima. Persoalan kapan dan bagaimana itu nomor dua. Tapi semoga pada saat itu tiba kita tak saling melupa; bahwa pernah ada sesuatu yang kita jaga hampir seribu malam lamanya. Sesuatu yang kita pelihara dari perih ke perih. Dari sedih ke sedih.
Dan itu bukan sesuatu yang biasa...


2013

Kontemplasi

newsoul-sayangidirimu.blogspot.com

newsoul-sayangidirimu.blogspot.com
"Sepagi ini semua sudah gaduh. Ayam gaduh. Dapur gaduh. Jalanan gaduh. Televisi gaduh."

Pagi kian ranggas. Cuaca merampas semua keheningan yang semestinya dipanen pagi. Kokok ayam yang terburu-buru, Ibu dan konspirasi bumbu serta meruap kaldu, serta lagu-lagu yang saling memburu sejak pukul 5. Di RCTI, SCTV, juga dari chanel baru.

Aku yang kehilangan atau aku yang ketinggalan. Seolah-olah semua saling berlesatan. Tak ada waktu untuk sekadar duduk-duduk, bercumbu apalagi memacurindu. Konsep keheningan dirampas semua konsep akan kebendaan. Yang imateril akhirnya hilang bentuk. Terpinggirkan dari keheningannya sendiri.

Ia telah jadi semacam nostalgia. Sebuah momen ketimbang sebuah peristiwa. Beruntung kalau kita punya yang seketika sebatas memutar kembali cakram di kepala lantas tersenyum bahagia. Sepi, hening, telah larut sendiri dalam urutan yang paling bungsu dalam kehidupan.

Kesulungannya telah direnggut sejak kita tak lagi mengingat bahwa semula dunia ini tak ada isinya. Gelap gulita. Betapa diri kita telah jadi titik dari kehidupan itu sendiri. Kita yang mengutamakan kita. Kita merampas yang bukan hak kita.

Kita letakkan diri kita sebagai poros dari segala sesuatu yang berputar disekelilingnya. Kita tak lagi menikmati yang mengamati. Seolah-olah dunia ini telah selesai dirumuskan. Maka tak penting lagi mengambil peran sebagai penonton.

Keterburu-buruan, kebergegasan, tenggat waktu, orientasi pada kedirian, telah melenyapkan sesuatu yang tak ternilai. sebuah maha yang dicapai Sidharta Gautama justru bukan dari keempatnya.

Betapa sesungguhnya keinginan untuk memikirkan kepentingan yang bukan demi diri sendiri itulah yang kepentingan terbesar.


2013

Sesuatu tentang Hari

;Buatmu, Des.

Kemanakah hari yang kemarin itu pergi?
Hari yang lusa lalu, setahun lalu, sewindu lalu?
tidakkah kau ada rindu?

Ke alam yang mana mereka pendar dan lalu jadi masa silam.
Apakah yang pula istimewa dari pagi, kenapa tak pernah ia kadaluwarsa.
Pernahkah, misalnya, kita sama-sama tidak tertarik pada pagi?

Buatku pagi hanyalah teriak ibu
kertak pintu dan bau bumbu yang itu-itu melulu!
Meski sebetulnya pernah juga jadi kamu.

Kalau aku jadi hari ini, siapakah yang jadi masa laluku?
katakan Kemana semua kenangan itu hijrah.
Paling tidak kita bisa ziarah.
Sekedar menanam nisan atau mendendangkan requiem.

Sekali waktu pernah juga kubuka lembar-lembar binder
tentang sebuah catatan perkuliahan.
tak lupa kutebar Kembang tujuh rupa pada sebuah tulisan
tentang puisi setengah jadi, setengah mati. kutulis setengah hati.

Atau pernahkah kau berdoa untuk sesuatu dimasa lalu?
tentang sebuah pertemuan misalnya.
Yang kerap kali kau ingin tapi tak mungkin.

Hari ini aku sesungguhnya ingin kembali
ke februari yang lalu. Dua tahun lalu
atau juga sebelum pertemuan denganmu.

Kalaupun tak bisa, aku ingin jadi pagi
di februari yang ini, esok, atau enam tahun lagi
meskipun dingin tapi aku ingin.

agar aku bisa menemanimu.


Rico Mangiring Purba
18 Februari 2013.

Sepi

rufadi.blogspot.com
rufadi.blogspot.com
rohmu bernyanyi tentang asmara
sementara badanku gelisah menanti kepulanganmu
bersama kain-kain penutup kepala
yang telah lama kau jadikan malam, aku diam

sedang doa-doaku telah lebih dulu menjadi lumut
karena tak satu pun alunannya kau dengarkan
dia menghijau tanpa disiram
melekat erat pada namamu yang nyaris ku kenang
pada gambar-gambar di pigura pemberianmu (dulu)

radio, kotak mungil tempatmu dulu berlagu
sepi sudah, suaramu lamat-lamat menjauh dari speaker
meninggalkan aku dan kotak mungil itu
kami sama-sama kesepian

(Bandar Lampung, 9/4/10)

Kalau Diizinkan

gelas-anggur2

kenapa malam gelisah saat aku hendak hening
saat hendak berdiam diri sambil mengangkat tinggi gelas bening
gelas kopi yang kusulap dari tumpukan masalah ini?

sebetulnya rinduku lebih pekat dari halimun
lebih samar dari bayangmu yang hilang pada cahaya padar
Hingga, terkadang aku mulai ragu dengan bayangku sendiri,
karena kupikir itu justru bayangmu yang selalu
hadir kemanapun aku pergi, kemanapun aku melangkah

kenapa kita tak pernah berhenti untuk saling menatap
kenapa kita harus selalu melangkah dengan bergandengan tangan padahal tak bersitatap
padahal kita tahu, tangan kita terkadang basah dengan peluh, dengan jenuh
bukankah perlu sesekali untuk kita melepas genggam, bukan untuk melepas ikatan!

jangan takut, mungkin tubuhku ini malam nanti bukan milikmu
tetapi tidak hatiku.

Bukankah lonte itu juga begitu
mereka yang dengan senyum menawarkan jasadnya
menawarkan lobang kencingnya tapi tidak beserta seni-nya
bukankah cinta mereka tetap kepada seseorang
entah anaknya, entah orangtuanya, atau suami di mimpinya.
Kalau diizinkan

Kalau diizinkan (Bandar Lampung, 06/04/10)

Sajak Sepi Kepada Malam

Dan semestinya aku tak melulu hadir tiap kali kau rambat
menyusur detak detik tiap jam lima sudah lewat.
Kenapakah kita berpasang-pasang padahal kita tak berkasih-kasihan.
mestikah aku jadi pelayanmu, melengkapi yang gulita dengan keheningan.
Kenapa aku tak jadi suar saja atau sebatang lilin;
yang meski leleh tapi jadi asa. Jadi cahaya bagi sesiapa saja.
-Atau jadi seberkas api di reranting unggun.

Mungkinkah?

(Dipasena, 2012)

Mantera

Kutuang senyummu
yang kuambil tadi pagi
sembunyi-sembunyi
Kucecap lembut
bibirmu-bibirku bertemu
diujung gelas
"Menyatulah jadi cinta!" Kataku merapal mantera.

(Sebuah senja di Dipasena)

Hujan Februari

Hujan masih saja ria membasahi jendela
setapak yang merah atau mungkin coklat
semak dan gabus yang menanti kodok-kodok muda.
dan aku, mengenang setiap rintik yang gugur
seperti prajurit-prajurit martir; mati di medan laga
demi ruh-ruh yang kelana.
jadi sebatang padi
jadi setangkai anggrek
jadi halimun di pagi yang basah.
Dan, selalu saja jadi ritual
di kala hujan menggigilkan jiwa-jiwa yang moksa.

(Bumidipasena)

Amarahmu Jadi Hujan

; dinda

kau cari
ketempat yang kelam
sesuatu yang
mungkin singgah
pada masa yang silam
kau bingkai
amarah pada
batu dan tanah
jadi tugu
bekal ziarah
lalu
pada
rindu
yang
bertalutalu
(yang
lama
kau
paku)
kau
pun
masih
malu
padahal dulu,
Singgah amarahmu
disini, ditempat
semua sayatan
berubah jadi kenangan
ada juga yang jadi hujan

10/04/2011

Soal Cinta: Sebuah Dialog

Dialog; Robert Sitompul dan Maruli Tua Rajagukguk
Sambil menyeruput kopi dan mengunyah gorengan di warung emak, rekanku yang seorang aktivis bertanya,
“Bung, kenapa belum punya pacar?"

Dengan santai kubalas “Nanti saja, kalau Bapaku kasih Surat Izin Usaha Pacaran (SIUP),” jawabku. Sudah beberapa pekan ini memang banyak kawan-kawan yang mengganguku dengan pertanyaan itu.

“Emangnya Komandan Batalyon belum ngasih ya?” kejarnya sekali lagi.

Lagi, kujawab “Sebetulnya sudah, tetapi berkas yang lain masih ada yang belum kulengkapi. Aku tidak ingin membuka usaha kalau berkasnya belum lengkap, nanti kalau ada razia, paling tidak aku sudah siap!"

Tapi memang sifat seorang aktivis pantang menyerah, begitu juga rekanku ini, dia sekali lagi bertanya “Memang berkas apa yang belum kau penuhi, lagian ini kan Indonesia kalau ada razia kita bisa nego kok!” ujarnya.

"Hahaha, betul ini Indonesia, bung, tapi apa bung ingat sebelum kita merdeka betapa jujurnya orang bekerja, betapa tulusnya rakyat mengabdi, betapa tanpa pamrihnya raja-raja berbakti. Nah, karena itulah aku ingin paling tidak untuk berpacaran juga, kulengkapi dulu syarat administrasinya, baru setelah itu aku buka usaha,” kataku membalas.

Rekanku itu sempat berhenti sejenak, kemudian dia kembali melanjutkan, “Ah kau ini, masa untuk berpacaran saja serumit itu cara berpikirmu?"

Aku pun terdiam sejenak, lalu kataku “Kau ingat kisah kematian Sophan Sophian, kelak seperti itulah ku ingin isteriku menangisiku saat ku pergi–bukan hanya untuk pergi selamanya, keluar kota pun ku ingin dia menangisiku– dan untuk meraih itu, aku tidak ingin usahaku mencari daging dari dagingku, tulang dari tulangku itu, diganggu hanya oleh permasalahan-permasalahan yang teknis,” ucapku.

“Ya, kau benar. Aku pun ingin begitu, tapi apa masih ada sekarang ini pasangan yang benar-benar jujur mencintai pasangannya?” kata rekanku lagi

“Aku tidak ingin menjawab, karena apa yang kau tuai itulah yang kau tabur bung,” ujarku.

……r3…….
May 22nd, 2008 

Nanar Nurani

Sepi sekali hari itu, ku berjalan di sebuah desa kehampaan, di kiri dan kanan jalan itu berdiri pohon-pohon kenistaan. Aku ingin berhenti sejenak mendinginkan badanku yang dibakar matahari kebodohan, tapi kuurungkan niatku.

Aku kembali melangkah. Jauh berkilo-kilo di depan pandangan mataku, aku melihat fatamorgana yang cukup menghiburku dengan semua kebohongannya. Dengan kerongkongan yang kering tanpa air ludah, kupacu kembali kedua kakiku yang tak kurasakan sudah habis dijilat aspal, kulihat kulit-kulit kakiku tertinggal, bercampur dengan aspal yang mencair itu..

Ah, kenapa belum ada pendopo kudapati sedari tadi?
Aku ingin meletakkan tulang-tulangku diatas ranjang, atau paling tidak rumput yang jujur.
Disini angin kedamaian tidak berhembus, entah neraka apa ini?
Kambing, burung, lolong anjing tidak kudengar suaranya, jalan ini panjang sekali!
Nafasku pucat pasi, nanar nuraniku hari ini,
Dik, tolong buai aku dengan kisah palsu itu…

Ka, maukah kau?

…r3…
May 22nd, 2008

Jangan Diam

 "Perlawanan sekalipun, hal itu bisa dilakukan dengan damai.." Rico MP.


Hidup menawarkan sejuta pengalaman dan memberikan hampir berjuta warna untuk dijalani. Pembunuhan, penindasan, penghinaan, perampasan, pemerkosaan, penistaan, ada begitu banyak nama lainnya yang diberikan oleh hidup.

Pernah suatu sore, disebuah desa yang mayoritas penduduknya mengharapkan sekepal nasi dari hamparan sawah-sawah hijau miliknya, resah karena sawahnya kini tidak lagi berbuah, bingung karena lahannya dirampas, takut karena hari-hari yang dilaluinya penuh intimidasi, jengah dengan hidup yang kian hari kian tak berarti.

Anak-anak yang dititipkan tuhan itu pun dia ragu dapat menjaganya, bekal untuk hari tua kaki-kaki kecil itu pun mereka tak tahu apakah bisa diberikan.  Anak-anak langit  itu suatu saat harus berhadapan satu lawan satu dengan hidup. Ya, layaknya orang tuanya yang lebih dulu di TKO-kan  hidup.

Tetapi, kekuatan kita yang tertindas, bukan pada tenaga kita, bukan pada uang  receh yang dikantong kita, bukan juga pada suara kita. Seberapa hebat pun suara kita, tak akan terdengar bagi hidup. Suara kita tidak akan pernah mengalahkan gelegar halilintar, tangisan kita tidak akan pernah mengalahkan titik hujan, sinar mata kita tidak akan mengalahkan sorot matahari..

Perlawanan sekalipun, hal itu bisa dilakukan dengan damai..

Aku mengajak engkau, wajah-wajah kurus yang letih, tangan-tangan hitam yang dibakar matahari, kaki-kaki kokoh yang memijak bumi..

Perlawanan sekalipun, hal itu bisa dilakukan dengan damai..

Tuhan memberikan kita kepala lengkap beserta otaknya, sekalipun kau jengah, bosan, sejenak sebutkan nama Tuhan-Mu. Ambillah kedamaian yang dimilikinya, itu diberikannya padamu dengan cuma-cuma. Berikan warna lain kepada hidup, karena hidup memberikan kesempatan itu..

Bandar lampung, 18 April 2008

Sinabung

Kukejar engkau sampai batu tertinggi
Lalu menyeruak keluar dari balik awan
Kau memegang sebuah keabadian
Dalam bentuk bunga-bunga kasih


...r3...

Tentang Kantong Mayat

Merengek-rengek minta dimakamkan
Ada Mayat bukan manusia
Selarik? kataku
Bukan. Ini penggalan, katanya
Tak utuh?

Merengek-rengek minta di masukkan ke dalam peti
Naikkan nadamu saat bicara
Ini bukan manusia
Sebait? kataku
Bukan. Hanya sisa belulang di antara belatung
Aneh!

Merengek-rengek minta di mandikan jenazahnya
Jelas aku bingung
Bukan manusia, lalu?
Kenapa hanya sepenggal?
Kata di mutliasi, kaki di rumahku, kepala di tanganmu
Kenapa masih merengek kalau sudah mati?

Merengek-rengek minta di masukkan ke dalam kantong mayat.
Nah, aku baru tahu.
Potongan-potongan ini milik puisi tak jadi.
Uh, Nasibmu.
Dasar puisi kantong mayat!
Sudah mati masih merepotkan.


2009

Indonesia

--Bikin sesak itu neraka--
Depok, 101009

Ilalang

Seribu ilalang di padang
Dalam genang diam tak bergoyang
Titipkan angin dari daun ke daun saat remang
Tanah coklat pembaringan sesaat sebelum terbakar

Seribu kumbang yang datang Menjemur sayap kala terang
Ilalang hanya bisa tutup mata melihat kumbang karena telanjang
Seribu ilalang di padang
Mati dibakar manusia jalang

Kumbang tak bersinggah pada ilalang (lagi)
Kepala manusia seperti ilalang
Berjemur kumbang dalam lambang.
Matilah juga kini para kumbang.
Mati karena tak ada ilalang

Seribu ilalang di padang
sampaikan salam kepada manusia malang

Namamu

Kalau hanya pagi yang bisa kau berikan, 
maka kan ku petik pagi dari surga untuk paginya yang lebih dari pagimu.
Kalau kata-katamu mampu meluluhkannya, 
maka lebih dari syair, larik dan bait-bait dari sudut bumi kan ku kumpulkan
Kalau semua kata telah kau berikan untuk cinta yang ada padanya, 
maka aku akan mengadu pada tuhan 
kan kupinjam semua istilah dan kuhapuskan itu dari bumi.

Malam yang menghapus sore tak akan ada lagi dalam langitku. 
Kan ku ambilkan matahari baru baginya.
Keping-kepingan yang sempat kubiarkan 
terurai dan menjuntai, akan ku pungut satu per satu.
Kususun seperti puzzle-puzzle baru.

Aku bukan lelaki biasa. 
Kakiku tak gentar berlari dan mengejar. 
Aku tak mengalah pada puncak-puncak gunung tinggi, 
demikian juga padamu.

Namanya telah kubingkai dan tak akan kubiarkan seorangpun menghapusnya.

Mati Dicinta

Rebahlah di pinggir pantai.
mintakan pada laut sedikit airnya membasahi gundah dan amarah
cinta memang bikin mati, kalau patah hati.
otak mati suri hati tak berfungsi.

Setan bercengkrama dengan romantis
seolah-olah manusia padahal setan
sedu datang bawa nestapa, sesal.
jangan bicara cinta, nanti mati.

Aku cinta Angelina Jolie
Ssstt, nanti mati.
ada setan bersembunyi, lengah ambil nyawa dan mati.

Sudah patah hati lalu apa?
ajak Tuhan bicara
penawar duka serta nestapa
jangan lupa korban bakaran