Minggu, 31 Maret 2013

Lapo Tuak dan Orang Batak



Sebelumnya saya utarakan bahwa tulisan ini bukan sebagai alasan pembenar, pembelaan, atau hal lainnya terkait keberadaan lapo (kedai) tuak–yang beberapa waktu lalu dipermasalahkan oleh kelompok-kelompok  tertentu. Sebagai orang batak, saya hanya ingin memberikan perspektif lain kepada kita dalam memahami lapo tuak.


Lapo, atau kode (kedai), sebetulnya hanya warung biasa sama halnya seperti rumah makan minang, warung tegal, dan warung-warung lainnya. Di lapo, penjual menyediakan makanan (khas batak) dan minuman layaknya sebuah rumah makan.

Namun, ada sedikit perbedaan dibanding warung-warung makan lainnya, biasanya dan hampir semua lapo pasti menyediakan tuak (minuman tradisional yang dibuat dari kelapa atau aren). Itulah kenapa kata lapo (kedai) selalu disandingkan dengan kata tuak.

Beberapa waktu lalu, sempat mencuat upaya untuk melarang keberadaan lapo-lapo tuak di beberapa daerah di Indonesia dengan alasan meresahkan masyarakat. Masyarakat menilai keberadaan lapo-lapo itu mengganggu. Aparat pun bersikap.

Tapi, jika boleh ditanya, masyarakat yang mana yang mengeluhkan? Media (baik cetak maupun elektronik) kebanyakan terjebak dengan opini-opini yang dibentuk oleh kelompok-kelompok tertentu. Opini yang dibangun oleh kelompok-kelompok itu dengan begitu saja diterima oleh kalangan media.

Kalau memang opini yang dibangun itu benar, kenapa baru sekarang hal itu mencuat? Kenapa selama ini, di tempat-tempat lapo-lapo itu berada tidak ada yang mengeluhkan. Bahkan jarang ditemui konflik terjadi akibat lapo-lapo itu. Namun, sekali lagi saya tekankan bahwa hal ini bukan alasan pembenar juga terhadap lapo tuak.

Sebagai orang batak saya memahami bagaimana cara orang batak berpikir sebelum membuat sebuah lapo. Lapo seperti saya sebutkan diatas menjual makanan yang tak biasa bagi orang kebanyakan. Makanan yang tidak mendapatkan label halal dari MUI. Oleh karena itu, tentu alasan tersebut menjadi pertimbangan khusus bagi orang batak untuk membuat lapo. Mereka pasti berusaha mencari tempat yang ‘aman’ agar usahanya tidak mengganggu warga sekitar.

Saya juga mengakui bahwa memang ada sisi negatif dari tuak, seperti kebanyakan minuman tradisional (yang hampir dimiliki oleh kebanyakan suku dan daerah di Indonesia) tuak mengandung alkohol. Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya. Dan seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.

Namun, tulisan saya kali ini bukan hendak larut dalam deskripsi tersebut. Saya coba menggambarkan bagaimana lapo membesarkan orang batak juga sebaliknya orang batak membesarkan lapo. Sekali waktu, seorang teman saya yang aktivis berkesempatan mengunjungi Sumatera Utara karena ada kegiatan yang harus diikuti. Sepulang dari provinsi itu dia berbincang-bincang dengan saya tentang kekagumannya akan lapo.

Saya sempat bingung dengan kata-katanya saat itu. Namun setelah dia jabarkan saya hanya tersenyum. Saat itu dia menceritakan bagaimana budaya diskusi orang batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tanah Karo, dan masih banyak lagi memang didominasi dengan sektor pertanian. Dan meminum tuak pun lantaran kondisi daerah-daerah tersebut yang dingin.

Di lapo, orang-orang akan mengambil kesibukannya masing-masing. Ada yang sebatas duduk-duduk sambil mengobrol (markombur), ada yang bermain catur, bernyanyi, dan ada juga yang hanya makan lalu pulang. Semua itu pemandangan yang biasa di lapo.

Kembali ke soal diskusi tadi, di lapo orang-orang yang mengobrol biasanya akan memperbincangkan berbagai macam hal. Dari yang remeh temeh sampai ke diskusi soal negara. Diskusi biasanya akan berlangsung mulai dari suasana yang datar sampai ke perdebatan yang alot. Dan hampir sebagian besar dari mereka berdiskusi dengan menawarkan teorinya masing-masing (karena mereka berdebat dengan latar pendidikan yang berbeda-beda).

Budaya diskusi, berdebat, hal itu sangat mudah ditemui di lapo-lapo. Dan juga sangat mudah ditemui ketika dua-tiga orang batak bertemu. Selalu ada hal untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Budaya tersebut tanpa disadari telah membentuk karakter. Jika menyebut orang batak kebanyakan akan dengan segera mengasosiasikannya dengan profesi-profesi tertentu semisal pengacara. Hal itu bukan tanpa alasan.

Selain budaya diskusi, catur dan bernyanyi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lapo dan orang batak. Melalui kebiasaan bermain catur di lapo-lapo, orang batak terasah untuk berpikir. Selain menyalurkan hobi, catur juga menambah daya ingat. Dan tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi karakter yang melekat pada orang batak.

Apapun profesinya, meninggalkan lapo sepertinya hal yang sulit dilakukan orang batak. Hal itu dibaca dengan jeli oleh pengusaha-pengusaha lapo. Lapo berkembang dari waktu ke waktu. Kini menemui lapo dengan berbagai tipe dan kelas sangat mudah. Di Jakarta misalnya, lapo-lapo tuak cukup beragam ditemui. Mulai dari yang sederhana, menengah  sampai kelas elit.

Pada akhirnya, lapo dan orang batak menjadi hal yang tak terpisahkan. Keduanya besar karena saling membesarkan. Horas!


(Tulisan ini saya ambil dari laman kompasiana saya yang telah dipublikasikan 6 Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar