Kamis, 28 Maret 2013

Tentang Perempuan yang Merindu


WAJAHMU tenang kini. Tak ada lagi isak. Tak pula jerit. Seperti kebiasaan lamamu, kau mulai berdandan. Memilih baju, celana, sepatu serta oleh-oleh apa yang akan kau bawa. Sejak hari itu aku tahu bahwa ada rindu yang tak pernah pudar. Ada rindu yang tak berubah. Dia hanya berbeda. Kau tersenyum. Anggun. Memesona. Di tempat ini--entah tahun yang keberapa--aku menyaksikan kesetiaanmu jadi bentuk rindu yang paling rumit. Lalu kau bersihkan nisanku dari bunga-bunga yang gugur.

***

INI TERLARANG. "Tapi aku tak bisa berhenti," katamu sendu. Begitu pun aku, yang hanya kuucap dalam hatiku. Air mukamu berubah setiap kali kita berbincang akan hal ini. Ketakutanmu adalah ketakutanku. Rindumu itu juga adalah rinduku. Menolak kehadiranmu berarti membunuh separo akal dan hatiku. Tapi sungguh, pertemuan ini--kalau bisa--tidak kita lanjutkan. "Kau adalah ibu dari keponakan-keponakan manisku, sayang."


(040811)

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Oktober 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar