Kamis, 28 Maret 2013

Arca


ADA sekeping arca yang kuyup ditimpa hujan. Di depan
teras bermarmer lebar dan tiang beton yang lupa
betapa dirinya adalah raksasa di rumah itu. Tentang
arca itu, yang diluar dia menahan gigil, tak ada yang
pernah peduli.

Apalah arti sekeping batu yang dipahat? Bukankah
semua juga begitu. Bukankah dia memang diukir untuk
dipajang. Di rumah. Di halaman. Di depan teras
bermarmer lebar dan tiang penyangga yang raksasa.
Dari beton. Dan menggigil menahan dingin.

Tapi barangkali si empunya tak ingat. Bahwa batu karang
kikis dibasuh ombak. Batu cadas retak ditikam
hujan. Ada yang tak kekal dikolong langit. Ada yang tak
abadi selain kematian itu sendiri. Dan apakah arca?
Selain batu berukir yang menyiapkan kematiannya sendiri.

siapa yang peduli pada betapa sang artis telah
banjir peluhnya, legam kulitnya dan betapa kapal-kapal
ditangannya telah lebih keras dari batu itu sendiri. Betapa
tak perlu kita bermelankolik tentang sebuah arca. Dia hanya
dilihat karena rupa. Siapa peduli cerita dibaliknya.

Tapi arca tetaplah arca. Batu. Bukan prasasti. Dia hidup
sementara karena rupa lalu akan lekas mati. Di
halaman. Di depan teras bermarmer lebar yang tiangnya
raksasa-raksasa. Beton yang lupa diri.

Tapi bagiku ini semua tentangmu. Tentang cinta.


2012

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar