Kamis, 07 Maret 2013

Sukma(h)ilang

www.penang-traveltips.com
www.penang-traveltips.com
ADA ANGIN YANG PLESIR dari beribu batang bambu. Dari puncak bukit yang sepi, suara batang yang saling meliuk menggesek itu seperti jerit demit. Jejerit yang mengantar angin malam itu memasuki perkampungan. Anak-anak begidik. Jendela diengsel.Pintu-pintu digembok. Api di tungku mestilah padam.

Sesiapa saja di kampung itu tahu, lolong bambu yang datang dari bukit itu bernafas. Dia dihembuskan melewati sisi-sisi bukit di kiri dan kanannya. Melintas menuju lereng sebelum tiba di lurah. Di perkampungan yang ada di dataran paling rendah. Dan sesiapa juga tahu, setiap nafas yang dihembuskan mestilah dihidu kembali. Soal itu mungkin biasa, tapi di kampung itu berbeda. Karena apa yang dihidu bukit-bukit gelap itu ialah nyawa.

Bisa kambing, ayam, sapi, anjing, tapi lebih sering manusia.Bukan sekali dua kali. Biasanya bukit itu bernafas tiga kali dalam dua kali panen padi. perkampungan itu dibuka pada awal tahun 80-an lantaran program transmigrasi pemerintah.

Dan sejak awal itu pula, selalu ada nyawa yang moksa tiap kali bukit itu menghidu. Kali pertama warga menemukan jasad seekor kambing di gapura kampung. Kali berikutnya seekor kerbau di sawah di belakang kampung. Dan setelah kematian kerbau itu, menjelang akhir tahun barulah warga mendapati sesosok tubuh manusia di jalan setapak menuju ladang coklat, tak jauh dari perbatasan kampung dan hutan bukit setan itu.

Jasad itu tubuh seorang laki-laki. Tak ada yang mengenalinya. Tak pula ada identitasnya. Kantor polisi berpuluh-puluh kilometer jaraknya dari kampung itu. Transportasi tak ada. Warga yang tak ingin menerima bala dengan sukarela memakamkannya di sisi kiri lereng bukit terkutuk itu. Tak ada anak-anak yang berani ke sana.

Di tahun kedua, kembali terjadi hal serupa. Hanya saja kali ini urutannya berbeda. Kali pertama justru sesosok tubuh manusia mati di gerbang desa. Lagi-lagi tak ada yang mengenalinya. Identitasnya pun tak ada. Seperti ada yang membuangnya disana. Tapi warga tak pernah mendengar adanya deru kendaraan yang lintas malam sebelumnya. Jasadnya dimakamkan berdampingan dengan si lelaki pertama. Baru kejadian berikutnya mati lagi seekor kerbau dan menyusul kemudian kambing.

Penemuan dua jasad anonim itu menjadi pergunjingan warga kampung yang sebagian besar didatangkan dari pulau Jawa. Kepala desa, yang berkunjung ke kecamatan tiap akhir bulan pernah mengadukan perihal itu kepada camat serta Babinsa. Tapi ia hanya kembali membawa janji bahwa akan ada aparat yang dikirim seminggu sekali ke kampungnya. Sudah dua tahun mereka disana, nyatanya tak sekalipun ada aparatur pemerintahan yang mengunjungi.

Dengan inisiatif kepala desa dan hasil urun rembug warga, mereka menyepakati untuk mengadakan ronda tiap malam. Dua bulan berlalu sejak kematian kambing terakhir kali. Warga masih berjaga-jaga. Namun, di malam pertama memasuki bulan yang ketiga. Saat bulan hilang sempurna di balik perbukitan, suara lolong yang ringkih  menuruni bukit.

Suaranya seperti langkah kaki laki-laki tua yang diseret. Menyapu hutan dari puncak melewati lereng yang senyap. Suasana kematian yang menyergap perkampungan itu. Tak ada yang percaya mereka menemukan jasad lagi. Kali ini seekor anjing berburu milik kepala desa.

----

Kampung itu berada persis di hadapan bukit lolong itu. Jika digambarkan perkampungan itu seolah-olah ada di dekapan sang bukit dengan lereng di kiri dan kanannya yang serupa lengan raksasa. Meski sudah memasuki tahun ketiga belum ada satupun warga yang naik kesana. Meski hanya sebatas mengambil kayu-kayu dan ranting kering dari dahan-dahan tua yang patah.

Dari perbatasan antara kebun warga dan pintu rimbanya tampak jelas terlihat bahwa bukit itu memiliki suatu keanehan. Ia tak dilahirkan dengan cara yang biasa. Seperti anak-anak yang tak diharapkan. Dibuang dan menjadi makhluk setengah manusia dan setengah setan. Di puncak bukit itu berbaris rapi seribu batang bambu. Ia lambai ke kanan dan ke kiri. Seperti sesuatu yang dipersiapkan untuk menyambut. Atau juga melepas.

Bukan itu saja yang membuat bukit itu tak biasa. Dia juga bernafas. Sekali waktu ia seperti lolong serigala, dilain waktu ia juga seperti setengah berteriak. Seperti suara wanita yang dicekik tenggorokannya. Ia begitu lirih. Menyiksa telinga siapa saja yang mendengar.

Dan sejak kematian-kematian yang tak bisa dijelaskan dan tak boleh diceritakan itu, warga menamai bukit itu dengan nama bukit Sukmailang. Ya, sukma yang hilang.

----

Keganjilan-keganjilan itu terus terjadi tanpa ada yang berani membahas ataupun menceritakan. Warga percaya bahwa ada sesuatu diluar alam pikir mereka yang melakukan hal itu. Nafas bukit itu, misalnya, ia dipercaya sebagai tanda bahwa ada kekuatan yang tak terjelaskan mampu melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan itu. Yang mereka yakini adalah bahwa sepanjang sejarah berdirinya kampung itu, hanya ayam, anjing, kambing, sapi, dan kerbau saja yang sepenuhnya milik warga kampung. Sementara jasad-jasad manusia yang mati tak pernah ada yang mengenali dan bukan bagian dari kampung yang di dekap bukit itu.

Oleh karenanya tak pernah ada keinginan dari warga untuk mengusut jasad-jasad milik siapa saja yang telah mereka makamkan di perbatasan hutan setan itu. Bagi mereka itu sama saja merusak keseimbangan alam. Tabu yang diwariskan dari keturunan ke keturunan.

Namun benteng pertahanan yang semula dibangun warga kampung dengan tidak menceritakan dan membahas segala hal buruk di desa itu akhirnya runtuh pada suatu malam. Ketika suara perempuan yang dicekik lehernya meliuk melintasi lereng-lereng bukit, memasuki ladang dan sawah warga sebelum tiba di perkampungan.

Perempuan-perempuan itu seperti berkerumun di tengah-tengah kampung. Suaranya saling bersaut-sautan. Saling mencekik dan saing berteriak. Serak yang maut. Kematian yang mengetuk dan memekik di pintu rumah warga kampung.

Anak-anak telah menjadi begitu histeris. Tak kalah suara para wanita di dalam rumah ikut menyayat hati yang mendengarkan. Mereka telah menjadi serigala. Lolongannya meremangkan bulu kuduk siapa saja yang mendengar.

Suara setan-setan betina yang datang dari bukit itu telah rasuk ke dalam tubuh anak-anak dan wanita di kampung itu. Seisi kampung hanya diisi suara tangis dan teriak yang memekik. Hanya laki-laki yang tak dirasuki. Namun betapapun kuat telinga mereka mendengarkan, hati mereka tak sungguh-sungguh mampu menahan jerit dan tangis anak dan isteri mereka.

Sungguh tak ada kemampuan mereka untuk mengusir lolong dan leher-leher yang tercekik dari isteri dan anak-anak mereka. Hanya kematianlah yang mungkin menenangkan mereka juga agar bukit itu menghidu kembali.

Dan sebelum pagi benar-benar tiba di kampung itu, suara perempuan-perempuan yang tenggorokannya saling mencekik itu telah kembali ke bukit Sukmailang. Bersama sukma seisi kampung.


Depok, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar