Kamis, 07 Maret 2013

Di Bawah Riak Bambu


Dua hari yang lalu kulihat dia ditepi jalan itu. Dengan wajah tertunduk dia berdiri menatapi warna sepatunya yang terus memudar dan sebagian kulit sepatunya yang juga mulai mengelupas.

Sudah beberapa hari ini dia berjalan tanpa merasakan lapar (karena dia tidak boleh lapar). Wajah yang mulai tirus, serta kulit-kulit dibibirnya yang mulai mengelupas (sama seperti kulit sepatu kebanggaannya) menjadi tanda dari semua itu. Tapi dia tidak boleh kalah, dia harus menang untuk hidup.

Lagi, kulihat dia kemarin berdiri dibawah bambu-bambu filipin yang tumbuh subur dan rapat berdiri. Dia menempelkan sebagian anggota tubuh bagian atasnya, yang sudah tidak mampu disangga oleh kaki-kaki kecilnya. Mungkin, dengan hari ini dia sudah tiga hari tidak bercengkerama dengan sendok dan piring serta ikan-ikan mati yang menjadi kering setelah mandi dalam minyak goreng subsidi itu.

Sedari tadi aku tidak menceritakan, sebetulnya ditangannya dia menggenggam sebuah map berwarna merah yang dimasukkan kedalam plastik transparan. Dari jarak dua meter aku masih bisa membaca tulisan yang tertera dibagian depan lembaran map merah itu yang bertuliskan “LAMARAN”.

Aku masih mencoba untuk menerka, kenapa dia memasukkan map itu kedalam plastik transparan padahal dua bulan ini hujan tak lagi turun? Setelah panjang aku berpikir dan memaksimalkan kerja otakku, aku hanya mendapatkan beberapa kesimpulan.

Pertama, dia mencoba mempublikasikan kepada semua orang yang melihatnya bahwa dia butuh pekerjaan. Dia butuh upah untuk mencukupi kebutuhan jasmaninya, yang terlanjur kurus. Dia butuh tempat untuk menjalankan kutukan tuhan kepada manusia sebagai ganti dosa mula-mula.

Kedua, Dia hanya ingin memastikan bahwa lamaran itu tidak kotor karena keringatnya. Mungkin, dia ingin orang lain dapat menggunakan lamaran itu, apabila ia harus menyerah.

Hari ini, saat aku duduk didalam sebuah gereja yang disesaki oleh ratusan manusia, aku tidak melihat dia. Laki-laki itu biasanya selalu datang ke gereja ini. Dia mengenakan pakaian yang sama, kemeja lengan panjang berwarna abu-abu dan celana dasar warna gelap. Semua itu seperti simbol-simbol yang hidup bagiku.

Sesaat setelah ibadah, yang sedikit menghibur, aku melangkah pulang. Sambil berjalan dibawah pohon-pohon penghias jalan aku masih memikirkan laki-laki yang tak kukenal itu.

Sama seperti kemarin saat aku melintasi barisan bambu filipin itu, kudapati sebuah tubuh lunglai dengan kemeja abu-abu dan celana warna gelap. Sayangnya, kali ini bukan lagi bibir dan kulit sepatunya yang mengelupas, bukan. Kali ini, rohnya yang mengelupas dan meninggalkan tubuh kurusnya itu. Tidak ada yang menolong.

Aku berkenalan dengannya setelah ia mati. Namanya, Hidup.


Bandar Lampung, 10 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar