Minggu, 31 Maret 2013

Kongres Luar Biasa PD: Lelucon Politik Para Badut

Sebetulnya saya tidak ingin mengisi blog ini dengan hal-hal yang terlalu berat, dengan hal-hal yang bising dibicarakan banyak orang. Di televisi dari pagi ke sore, sore ke pagi, terlebih stasiun televisi berita seperti Tv Merah dan Tv Biru. Stasiun televisi--khususnya tv berita-- telah menjadi begitu tersandera berita-berita politik. Telah menjadi kantor berita politisi Jakarta. Tapi bukan itu fokus tulisan saya kali ini.

Kemarin, Sabtu, (30/03), Partai Demokrat (PD) baru saja menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) pascapenetapan Anas Urbaningrum, ketua umumnya, yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.

Sesuai dugaan, seperti berita yang beredar beberapa hari sebelum pelaksanaan KLB itu, Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih dan ditetapkan oleh peserta kongres sebagai ketua umum yang baru menggantikan Anas. SBY menerimanya dengan menawarkan dua opsi; pertama, kepemimpinannya hanya berlangsung maksimal dua tahun. Kedua, dia bersedia menerima tawaran sebagai ketua umum namun dengan syarat adanya ketua harian untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.

Padahal beberapa hari sebelumnya Sutan Batoegana, anggota DPR yang juga kader PD telah dengan pede-nya berulang-ulang menyangkal kemungkinan akan turun gunungnya sang Presiden. "Apa kata dunia kalau SBY jadi ketua umum?" Begitu ucapannya dengan berapi-api mengikuti kutipan kata-kata dari tokoh film Naga Bonar.

Bagi saya, apa yang dipertontonkan PD di Bali tak lain dan tak lebih hanyalah lelucon belaka. Kalau toh hanya ingin menetapkan SBY tak perlu rasa-rasanya jauh-jauh ke Bali. Apa yang dilakukan para badut-badut politik itu terasa amat mengerikan. Tak ubahnya prilaku politisi Senayan yang hanya tahu 'nyanyian lagu setuju'.

Saya sependapat dengan ucapan para pengamat politik bahwa kader-kader PD tak lebih hanyalah SBY Fans klub. Dan rasanya tak tepat juga menyebut mereka dengan istilah kader itu sendiri. Walaupun mengenai SBY Fans klub itu telah dibantah berulang-ulang oleh pengikut setia SBY.

Kongres Luar Biasa itu telah berjalan dengan cara yang luar biasa pula. Saya mencatat ada beberapa hal yang cukup 'unik' dalam KLB itu. Keputusan seluruh anggota partai untuk meminta SBY turun gunung adalah bukti bahwa kran kaderisasi di partai itu telah terhambat.

Proses-proses kaderisasi yang dilakukan partai itu hanya retorika. PD tak lebih adalah SBY itu sendiri. Dan kehadiran Anas Urbaningrum, yang matang dengan proses kaderisasi di HMI organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia,  kedalam partai itu sudah jelas menjadi duri dalam daging bagi SBY.
Sebagai penggiat di GMKI semasa kuliah, saya tahu bagaimana kualitas aktivis-aktivis HMI, dan untuk menduduki posisi ketua umum di organisasi sebesar HMI sudah barang tentu perlu modal besar. Modal yang saya maksudkan adalah kapabilitas dirinya. Kemampuan berakselerasi, diplomasi tinggi, serta dukungan basis yang kuat.

Saya menilai apa yang dilakukan Anas, terlepas dari kasus yang menjeratnya, dengan turun ke basis-basis masa Partai Demokrat selama kepemimpinannya mencerminkan kualitas pendidikan politiknya selama ini. Dia, yang dianggap sebagai anak buangan oleh SBY, membutuhkan dukungan basis. Tidak terlalu sering dan gaduh tampil di televisi seperti politisi-politisi Demokrat lainnya, Anas lebih memilih membangun kekuatan basis, karena mungkin saja kalau tadinya tidak terjerat kasus korupsi itu dia akan melanggeng ke pencalonan Presiden di 2014. Dan sayangnya, sebelum masa kepemimpinannya selesai dia terjerat kasus korupsi, pendidikan politik yang coba dibangunnya hancur sebelum berdiri.

Selain soal proses kaderisasi, organisasi sebesar Partai Demokrat--yang memenangkan dua kali pemilihan umum di Indonesia--dalam konteks pelaksanaan dan penataan organisasinya, bukan bersumber dari AD/ART yang dirumuskan bersama oleh kongres. Ia adalah berpusat pada Susilo Bambang Yudhoyono sebagai 'AD/ART yang hidup'. Betapa tidak, dalam KLB itu SBY telah meminta persetujuan dari peserta kongres untuk diadakannya ketua harian, yang hal itu tidak ada diatur dalam AD/ART. Dan seperti kumpulan boneka, peserta kongres hanya bisa mengeluarkan kata setuju.

Bisa diterima akal semisal setelah pembahasan mengenai ketua umum para peserta mengakomodir keinginan SBY itu untuk melakukan perubahan AD/ART. Tapi nyatanya, pada hari yang sama, kongres itu telah dinyatakan selesai dan ditutup dengan orasi politik pertama sang ketua umum. Kongres partai sekelas Partai Demokrat selesai hanya dalam waktu 7 jam! Benar-benar kongres yang luar biasa.

Tapi mungkin itu adalah kelemahan saya memahami politik yang luas dengan pemahaman yang sempit. Politik itu bukan barang yang kaku, ia adalah sesuatu yang fleksibel. Dan keluwesan pemahaman itu yang mungkin belum saya punya dalam memahami kompleksitas politik di Indonesia ini.


Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar