Rabu, 27 Maret 2013

2010; Sejenak Membaca yang Terlupa









Januari;
Perlahan kita melukis senja di setiap angka yang merambat. Dengan Pelangi, langit jingga, hujan, dan beribu tabur daun gugur. Awal dari yang akhir. Pintu gerbang di tahun yang menandai harapan akan segala pencarian. Aku dan kamu, kita sama-sama mengharapkan segala sesuatu akan bermula semanis Januari. Tak boleh ada air mata disini, angka-agka yang berderet memanjang melintasi segala beban, harus ditaklukkan dengan semangat; bahwa kehidupan adalah hasil dari kalkulasi matematis perjuangan dan ketekunan!

Februari;
Ketika waktu menjelma menjadi masa-masa terbaik menjelajah relung-relung jiwa yang sunyi demi pencapaian cinta yang sejati--ini pun kita lakukan demi keutuhan sebagai makhluk ciptaan. Kekasih, siapakah yang tak menderita jika tak memilikinya? Namun, kekasih bukanlah tujuan; Seperti semua doa yang pernah melintas disini, kebahagiaan jualah perhentian segala pencarian. Dosalah kita jika kita tak berusaha disini (karena berdoa tanpa berusaha adalah sia-sia).

Maret; 
Hujan yang tak reda bukanlah akhir segala masa. Pelangi sehabis hujan penanda bahwa semua tanda itu bermakna. Pekalah kita membaca segala aksara yang maha kuasa, karena sekali kita alpa sia-sia pulalah doa dan puasa. Riciknya sekalipun, dia memiliki makna dan bukan sekadar saja. Inilah tempo bagi kita menajamkan pisau-pisau asa agar tak henti segala upaya.

April;
Kumaknai kamu sebagai Ibu; Bukan tugu semata yang harus diziarahi. Aku, kelak akan menjadi legenda, disini karena pada April kulihat Ibu yang seteguh karang di lautan mengajarkanku kesetiaan. Di atas tubuhkulah kelak, katanya, akan dibangun mercusuar bagi kalian yang kehilangan penanda. Zaman akan berganti, tapi Ibu adalah kesetiaan yang tubuhnya tak retak melawan pukulan hujan dan cercaan matahari; demi anak-anaknya.

Mei;
Episentrum segala debar bermuasal disini. Kalian, yang pernah hadir, masih, atau akan datang, menumbuk sukmaku disini. Tengoklah kedalam ceruk jiwaku, yang terbentuk karena kau memusatkan segala getar disana. Ada luka yang tak hilang dan mengulang setiap kali melintas di hadapmu, O Mei.

Juni;
Adalah milik siapa saja yang ingin berhenti sejenak untuk melihat warna pagi. Adalah milik siapa saja yang ingin berhenti sejenak untuk membicarakan batas-batas keraguan yang terlewati. Disini ada banyak ruang-ruang kosong; entah untuk siapa saja. Karena disini adalah perhentian sementara; shelter bagi kita petualang-petualang kehidupan.

Juli;
Setiap kali terucap berarti harus dikejar. Lupakanlah portal-portal liar, karena pasti selalu ada jalan memutar. Di pelataran Juli kita akan merajut semua semangat yang terkoyak. Karena tubuh harus tetap semangat, dan pikiran tak boleh berhenti memimpikan kehangatan sesungguhnya. Percayalah, kemauan mengalahkan segala rintangan.

Agustus;
Jerih lelahmu membopongku sampai ke Agustus selalu kumaknai. Oleh karena itu jugalah kuraih pucuk-pucuk tertinggi demi memancangkan namamu. Demikian juga bahwa aku selalu tak menginginkan ingar-bingar disini. Sungguh pun.

September;
Bau tanah basah ini mengingatkanku pada segala perpisahan. Persahabatan adalah tanda kematian, karena pada ikatan kita takut kehilangan. Semua adalah kesementaraan dan kesendirianlah yang abadi. Sejak itu, kita mengekalkan segala kenangan persahabatan ke dalam sebuah catatan yang kau simpan dalam semayam September.

Oktober;
Kita saling mentap tapi tak bicara. Kau tertahan atau aku yang tertawan, aku pun tak tahu. Kita tak pernah duduk bersama mengurai hari tua; misalnya ketika kau beruban dan menertawai kepolosan masa muda kita. Juga ketika cinta adalah musibah, padahal segala usia mendambanya. Tapi kau tahu bahwa kelak kita memang tak bersama, karena itu juga lah aku tak mengajakmu duduk hari itu.

November;
Pulang. Kuikat temali itu setiap 5 meter langkahku pergi meninggalkanmu. Ku tabur juga di jalan yang kulalui secuplik lagu. Semuanya kulakukan karena di November kita harus pulang; perjalanan panjang yang kita lakukan adalah untuk menemukan jalan pulang, kembali ke dalam diri sendiri. Karena itulah kusiapkan lagu untuk menemani langkah kita jika hari itu datang.

Desember;
Senandung malam kudus menggetarkan Desember. Mengabarkan kedatangan Dia yang penuh kesederhanaan. Sementara kita, yang tidak sempat menikmati palungan, bermewahan dengan segala alasan. Tapi disini tak boleh ada duka. Sesiapapun juga. sebuah refleksi untuk 2010.


Bandarlampung.25.12.10

(Sajak ini dimuat kompas.com 25 Mei 2011)

1 komentar: