Rabu, 27 Maret 2013

Seumpama Kita Pacaran (lagi)









SUDAH sengaja kukumpulkan kata-kata yang terburai dari perut kalimat. Awalnya hendak kurapikan untuk kujadikan kalimat baru. Tentu saja kalimat tentangmu. Tentang malam yang berkelabatan bersama bulan setengah purnama serta cericit kelelawar di balik rerimbunan beringin cinta.

Hendak ku pugar asrama baru yang di dalamnya hanya ada kamar kasih, kamar yang menghadap ke pohon-pohon mangga yang tak pernah kita cicipi walau seiris saja. Namun ternyata perjalanan menuju lokasi yang hendak kujadikan asrama itu panjang membentang dengan rintang-rintang yang memalang.

Kemarin kupaksakan kembali mengais-ngais kata, imbuhan, majas-majas dari kelas bahasa yang diajarkan antarfakultas. Kelas yang sudah terlalu lama kutinggalkan karena belum kutemukan sebuah padanan kata, kata cinta. Tapi disaat kumenemukannya, aku justru kekurangan banyak kata-kata serapan baru. Ini adalah salah satu hal yang tak ku mengerti dari pelajaran bahasa. Tak pernah aku lulus untuk mendefiniskan apa itu sebenarnya cinta.

Dari dalam kamar kasih, sesekali wajah musim semi itu menyapa hangat. Sehangat matahari yang datang pagi tadi untuk menjemput embun pulang dari pucuk-pucuk dedaunan dari pohon mangga kita. Walaupun kamu dan cerita ini hanya ada dalam imajiku, kumohon jangan berontak, tetaplah tenang, karena masih banyak yang hendak kututurkan. Ini bukan cerita murahan, cerita perempuan yang meregang karena senang di balik ranjang-ranjang yang memanjang seperti jajaran genjang.

Berikanlah maklum atas bahasaku yang seronok, bukankah kejujuran adalah lilin di malam kudus. Penerang bagi orang-orang majus mencari Yesus. Sesat hanyalah kata yang terlupakan, yang sengaja ditinggalkan bagi mereka yang tak sependapat dengan Tuhan. Ini bukan Permainan kata, karena ku tak pandai bermain dengan isi kepala. Temani aku duduk di kelas ini, mendengarkan seminar tentang resah bahasa, tentang kata selain cinta.

Pemilik wajah musim semi itu bersembunyi, aku tak berani mendekati, tak berani menemani. Biarkan saja dia sendiri, matahari juga sendiri, bulan juga sendiri. Aku tak tahu apa kata yang paling tepat untuk mendekatinya. Ada begitu banyak gurauan, ada begitu banyak kata sapa; hei, hai, halo, semisal. Tapi semuanya terlipat dibalik lidah yang menjadi berat.

Apakah karena Tuhan ada di dunia? Tapi dia bukan tuhan. Aku bingung, bahasaku salah. Maka biarkan aku sebentar terpejam, hendak meminjam kata-kata terpendam yang sudah lama dirajam.
Plup! Aku hilang bersama tusukan pada bola-bola sabun yang kau mainkan sore ini. Sebentar aku akan kembali bersama dengan kata yang tepat untuk bertanya padamu.

Masih senyap saat aku mengerjap-erjap. Plup! Aku kembali datang, bersama satu tusukan pada bola-bola sabun itu lagi. Aku Cinta Padamu, bersediakah kau jadi pacarku (lagi)?

Semisal kau jawab “Iya”, pegang tangan kananku, buka telapaknya, gambarlah huruf "A". Jika kau hendak menjawab tidak, peganglah tangan kiriku, bukalah telapaknya, gambarlah huruf "O". Mungkin kau akan bertanya apa itu A, apa itu O. Jawabnya adalah A sama dengan Alfa, dan O sama dengan Omega. Artinya, Awal dan Akhir.

Aku ingin menjadi orang yang pertama untuk melakukan segalanya bagimu, kau yang bersembunyi di balik kamar kasih. Begitupun aku ingin hanya kau saja orang yang terakhir mengatakan "Tidak" padaku, wahai seroja bukan bunga. Jawablah, aku harus mengembalikan lagi kata-kata itu.

Akankah kita pacaran (lagi).

Depok, 111009

(Sajak ini dimuat Kompas.com 30 Desember 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar