Selasa, 31 Desember 2013

2013: Adios en Gracias

DUARIBU TIGABELAS terimakasih atas semuanya. Meski teramat sulit untuk mendeskripsikannya, namun apapun itu, adalah baik untuk tetap mensyukurinya. Terimakasih telah mengantarkan kami ke gerbang tahun yang baru lagi. Terimakasih dan selamat tinggal. Selamat tahun baru 2014.

Rabu, 18 Desember 2013

#Belitung: Sebuah Cerita

Pantai Tanjung Tinggi dan bebatuan Laskar Pelangi

Beruntunglah pulau ini melahirkan sosok Andrea Hirata. Ia seperti tangan yang menyelematkan orang yang menggapai-gapai karena akan tenggelam. Ya, Andrea Hirata telah menjadi tangan bagi pulau yang nyaris tenggelam ini. Melalui buku-bukunya, ia menuliskan kehidupan masa kecilnya di sebuah desa yang mungkin kalau buku itu tak pernah diterbitkan, kita juga tak akan pernah mendengarnya.

Indonesia, negeri seribu pulau ini, terlalu luas untuk dijelajahi, bahkan untuk seseorang yang memiliki akses luas seperti seorang Presiden sekalipun. Banyak yang luput dari pengamatannya. Termasuk juga pulau Belitung.

Dulu sekali, Belitung pernah jadi primadona, ketika timah meledak di pasaran dunia. Belitung adalah satu diantara pulau penghasil timah di Indonesia. Namun, setelah timah kehilangan pesonanya, Belitung bak pepatah yang habis manis sepah dibuah. Ia ditinggalkan. Belitung kesepian.

Posisinya yang terpisah dari pulau besar Sumatera, menjadikannya tak semenarik kota-kota di gugus Sumatera itu. Tapi Belitung bangkit, ia, melalui Andrea Hirata meminta sorot panggung yang selama ini 'Jawasentris'. Apa-apa Jawa. Seolah-olah keindonesiaan kita hanya seluas Jawa.


Sorot panggung itu tak diminta Andrea Hirata dengan mengemis. Ia memberi pembuktian, ada anak-anak dari sebuah pulau bernama Belitung, yang juga punya kegigihan seperti manusia-manusia di Jawa dan pulau lainnya yang berkilauan dengan perhatian dari pemerintah.

Dari sebuah desa bernama Manggar, ia tunjuk bahwa cita-citanya tak akan berbatas tepian laut cina selatan dan laut jawa. Ia bisa melampaui itu. Melalui buku-bukunya, yang kemudian mendapat perhatian sineas-sineas perfilman Indonesia, ia perkenalkan dengan hangat Belitung kepada masyarakat Indonesia.

Ia perkenalkan desa yang menjaga nyala api cita-citanya, ia perkenalkan pantai-pantai di Belitung yang mampu berkompetisi dengan pantai-pantai lainnya di Indonesia, selama diberi kesempatan yang sama. Semua itu ia lakukan dengan pena, dengan tulisan-tulisannya.

Tulisan ini tak bertujuan memuji secara berlebih seorang Andrea Hirata, tapi benarlah bukti bahwa sebuah pena lebih tajam dari sebuah pedang. Dan pena yang menuliskan buku-buku yang dituliskan Andrea Hirata bukan saja sebagai pembuktian kehebatan dirinya.

Tanpa ia sadari, mungkin, pena-nya telah menyelamatkan sebuah pulau yang kesepian, yang jauh dari hiruk pikuk keramaian dan hingar bingar masyarakat kota. Masyarakat Jakarta. Masyarakat Indonesia. Dari sebuah perbincangan dengan seorang warga Belitung, Mak Amin namanya, ia mengakui bahwa film Laskar Pelangi (judul film dari buku yang ditulis Andrea Hirata) telah memantik api semangat masyarakat Belitung.

Tugu Batu Satam di Pusat Kota Belitung

Di pengujung tahun 2013 ini saya yang berkesempatan mengunjungi kota ini, itu pun lantaran urusan pekerjaan, menyaksikan bahwa Belitung adalah satu daerah yang unik. Tak ada angkutan umum disini, karena memang perlu waktu lebih dari sejam jika kita hendak mengharapkan angkutan umum. Warga disini hampir sebagian besar beraktifitas menggunakan kendaraan roda dua. Jalanan disini berbanding terbalik dengan suasana jalanan Jakarta. Bahkan anjing pun bisa tidur di tengah jalan di sini. Kaget, tentu saja ini mengagetkan.

Tapi suasana yang sekarang ini, disebut warga Belitung telah jauh lebih hidup setelah buku dan film Laskar Pelangi meledak di Indonesia. Maka, tak bisa terbayangkan saya bagaimana sepinya kota ini sebelum Andrea Hirata berinisiatif menuliskan masa kecilnya ke dalam sebuah buku. Betapa tersia-siakannya potensi Belitung.


Setelah sempat berkeliling-keliling beberapa hari, saya terkejut karena ada nama jalan ZA Pagar Alam di Belitung. ZA Pagar Alam adalah tokoh Lampung, ia adalah Gubernur pertama provinsi Lampung. Anak ZA Pagar Alam, Sjachroedin ZP, saat ini juga menjadi Gubernur Lampung. Didorong rasa penasaran, karena saya lahir dan pernah mengenyam pendidikan di Lampung, saya ketikkan kata kunci "Zainal Abidin Pagar Alam, Belitung".

Dari kata kunci tersebut saya mendapati sebuah artikel seorang mantan menteri yaitu, Yusril Ihza Mahendra, setelah menyempatkan membaca artikelnya yang cukup panjang itu, baru saya ketahui bahwa ternyata sang menteri pun adalah putera Belitung. Dan saat itu baru saya tahu bahwa ayah sang menteri bersahabat dengan ZA Pagar Alam, yang ternyata adalah Bupati Belitung. Dari situ saya pahami bahwa karena hal itulah ada nama jalan ZA Pagar Alam di Belitung.

Romantisme sejarah terjadi bukan hanya antara Zainal Abidin Pagar Alam dan ayah sang menteri, Yusril Ihza Mahendra yang kemudian bersama dengan anak ZA Pagar Alam, Sjachroedin, menjadi tokoh yang memiliki nama di Indonesia. Tidak hanya itu, ayah sang menteri pun ternyata bersahabat dengan orang tua pembesar perusahaan Media Group, Surya Palloh. Ayah Surya Palloh sat itu sempat menjabat sebagai kepala polisi di Belitung.

Cerita soal tokoh-tokoh Belitung, Laskar-laskar Pelangi belum habis disitu. Ahok, anda mengenalnya??

Ah, Belitung.




Dari rumah Mak Amin
18 Desember 2013


Selasa, 17 Desember 2013

Tenggelam


Suasana kesibukan mencari orang tenggelam di Pantai Tj. Pandan, Belitung.
Kematian itu kalkulasi ketidakpastian yang jumlah dan rumusnya belum kita ketahui. Kemarin, aku menyaksikan kematian. Salah! Tepatnya kubiarkan seseorang mati. Dia tenggelam, aku hanya bisa melihat kepalanya yang seperti setitik bola dari bibir pantai timbul dan tenggelam. Timbul lalu tenggelam.

Seseorang kerabatnya berlari sambil berteriak, tapi tak ada yang mendengar, pengunjung pun seolah tak terlalu risau. Barangkali dalam pikiran mereka, kematian itu hanya soal waktu. Kalaupun selamat kali ini, esok siapa yang akan menyelematkannya lagi.

Tujuanku ke pantai itu untuk berburu matahari terbenam. Terbenam, bukankah ia pun hanya pemaknaan lain dari tenggelam? Kemana matahari itu tenggelam? Ke lautan? Barangkali si orang tenggelam tadi dan matahari sudah saling berjanji untuk bertemu di dasar lautan. Siapa yang tahu mengenai si orang tenggelam tadi selain dirinya sendiri? Aku?


Tak lama, seorang lainnya bergegas lari ke arah pantai, dengan tergesa-gesa ia mencari seseorang yang bisa diharapkan untuk sesegera mungkin menarik si orang tenggelam tadi sebelum orang itu benar-benar endap. Konon di balik lembut laut yang tak berombak itu ada pasir isap. "Ia mengisap apa saja," begitu kata pengunjung yang bercerita baru sebulan lalu seseorang juga mati di lokasi tenggelamnya orang yang baru tenggelam itu.

"Ia mengisap apa saja," ulangnya lagi.

"Apa saja?" kataku menegaskan.

"Iya, apa saja!" Katanya dengan agak ketus.

"Apa ia juga bisa mengisap tuhan?"

Matanya terbelalak, wajahnya makin galak. "Kau manusia atau anjing?" orang itu membentak. Aku diam, aku berpikir dimana letak kesalahan pertanyaanku. Kalau pasir itu mengisap apa saja, kenapa ia marah saat kutanya apa pasir itu bisa mengisap tuhan juga.

Perempuan disampingku lalu berseloroh, "Oo, disitu memang ada penunggunya. Setiap tahun selalu minta tumbal," katanya dengan yakin. Rasa penasaranku bertambah. "Siapa penunggunya?" kataku kembali mengajukan pertanyaan.

"Penguasa laut," katanya yakin.

"Penguasa laut?" kataku kembali bertanya.

"Iya, penguasa laut."

"Apa tuhan bisa jadi tumbal penguasa laut?" aku bertanya lagi.

"Hah? lah gilo kau ye?"

"Tuhan ya ndak katek lawan, seluruh alam semesta ini ya tunduk sama die. Laut ini ya punya die, tanah ini, udara, langit ya punya die!" kicau si perempuan.

Aku pergi meninggalkan keduanya.

Kudengar mereka bergunjing tentangku. Mereka bilang aku gila. Matahari sore itu kemerahan, orang-orang sibuk mencari si orang tenggelam. Padahal ia pun tak ingin ditemukan. Ia sudah bersama matahari. Mereka tenggelam.


Tanjung Pandan, Belitung 18 Desember 2013

Rabu, 04 Desember 2013

Tentang Perkawinan







: Nur Asiah Jamiel -Rizal

Di tepi kota Batavia, yang telah lama
ia berganti jadi betawi dan kini kita sebut
ia DKI, masih ada ritus budaya yang meski
tergerus ia tetap mempertahankan eksistensi.

Demi sebuah tanggungjawab kepada
ruh-ruh leluhur yang telah lampau
yang meski terkubur tak lantas
dia hancur jadi remah-remah; jadi arwah

ini berbeda, yang singgah tiap kali roti buaya dihantar
tanjidor beradu getar, bukan hanya sekadar
pesta agar tak sepi mimbar di altar

ini juga bukan semata pencar api mercon membagi berita
tentang hingar-bingar kabar sukacita; hari ini
telah tunai tugas ayah mengantar puteri ke pelukan belahan jiwa

disini, didalam pesta ini kita bersilaturahmi. berusaha memahami
bahwa hidup ini mesti saling memenuhi;
                                                         entah itu janji atau juga bakti.


09-11-2013

Perihal Perjalanan

baltyra.com 

jalan ini bukan menuju Roma
karena aku tahu kau tak disana
Angin ini, yang kesiurnya mengantar
percik aroma tubuhmu, kurasa berasal
dari sebuah luka yang kelewat amis.

kau adalah aku 
adalah debu-debu
yang kuhidu sepanjang raguku
menemuimu

tentang sebuah perjalanan
telah kukitabkan jadi petunjuk
serupa bintang bagi orang majus

tapi apalah arti lukaku
dihadapan airmatamu.

yang selalu kupelajari dari ibu:
                                             bahwa tangis adalah lembah tak berdasar
                                             liang yang tak lengkap meski sering kau tutup dan gali lubang.



Mei 2013

Selasa, 03 Desember 2013

Setelah Kejadian Itu

: Sitok Srengenge

Seberapa kelamkah
                              sisi gelapmu?

Senin, 29 April 2013

Travelogue

"Menurut kalian siapakah manusia yang paling beruntung? Atau diganti saja pertanyaannya, manusia yang beruntung itu seperti apa atau yang bagaimana?"

Jika pertanyaan itu dialamatkan kepada saya, sudah barang tentu akan saya jawab seperti ini; Manusia yang beruntung itu adalah yang semasa hidupnya pernah menjejakkan kakinya di lima benua, mendaki tujuh puncak gunung tertinggi di dunia, merasakan gigil di antartika, mati di tanah kelahirannya dan dimakamkan disamping orang yang dikasihinya. Sempurna bukan?

Tapi sudah barang tentu hidup tak semudah dan tak sesederhana kata-kata yang saya tuliskan tadi. Ada bahkan orang-orang yang lahir, besar, dan mati di satu tempat tanpa pernah merasakan atau melihat dunia luar. Satu-satunya yang dia ketahui soal dunia luar hanyalah melalui layar televisi.

Orangtua saya pernah bercerita bahwa pada usia 10 bulan saya sudah bisa berjalan, lebih cepat dibanding anak-anak sebaya yang lain. Barangkali ini jugalah yang membuat saya betapa mengagumi perjalanan, tepatnya petualangan.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa luasnya dunia ini hanyalah sejauh langkah kaki kita. Dan saya sependapat. Konyol rasanya kalau mati di Indonesia tanpa tahu dimana dan bagaimana itu Kalimantan, Sulawesi, Flores, Papua dan pulau-pulau besar kecil lainnya.

Dan buat saya, kalaupun tak bisa menjejakkan kaki di lima benua, paling tidak di lima pulau besar nusantara. Kalaupun tak bisa mendaki tujuh puncak gunung tertinggi di dunia, paling tidak tujuh puncak gunung tertinggi di Indonesia. Kalaupun tak bisa merasakan gigil di antartika, paling tidak menikmati hangat matahari di kota Khatulistiwa.

Karena disini semua ada. Karena ini Indonesia, Bung!

Gunung Betung di Lampung


Bersama Danny di Gn. Betung
Gunung Rajabasa di Lampung Selatan
Pemandangan di jalur pendakian Gunung Pesagi

Pemandangan dari shelter di Gunung Pesagi
Berlatarbelakang puncak Gunung Semeru
Siluet di Ranu Kumbolo, Semeru
Seperjuangan 
Salam hangat buat penikmat petualangan dimanapun berada.

Minggu, 28 April 2013

Mati

DUA hari ini kabar duka cita datang dari rekan-rekan semasa kuliah. Keduanya dari adik tingkat di Fakultas Hukum. Maruli Tua Rajagukguk, aktivis LBH Jakarta ini ditinggalkan sang Ayah untuk selamanya. Hari ini, Jepri Manalu tiba-tiba saja mengirimkan pesan via BBM meminta dukungan doa karena Ibundanya dalam keadaan kritis. Dan hanya selang beberapa jam, seorang teman di BBM telah mengganti Personal Message dengan kabar duka cita dari Ibunda Jepri yang mesti memenuhi panggilan penciptanya.

Ah, kematian, siapakah yang bisa menebak kapan ia datang. Benarlah bahwa ia, kematian itu, datang bagai pencuri di malam hari.

Apakah yang direnggut kematian sebenarnya selain jiwa yang lepas dari raga? Apa yang membuat kita begitu sedih pada apa yang tak pernah sepenuhnya kita miliki. Pada apa yang sepenuhnya tak pernah jadi milik kita. Mungkin saja, sekali lagi ini hanya kemungkinan semata, pada pertemuan raga hadirlah rasa yang saling menautkan jiwa yang satu dan yang lain.

Rasa inilah kemudian yang menjadi jangkar, menambatkan jiwa di dalam dua raga atau lebih yang seolah-olah keduanya saling berkait. Berjalin pilin. Dan pada saat salah satu jiwa lepas dari raga, rasa yang seolah-olah bertaut inilah yang kemudian merasa kehilangan. Karena pada dasarnya kita tak pernah diberi hak atas jiwa itu. Ia adalah sesuatu yang dipinjamkan.

Dan segala tangis yang datang dari duka bermuasal dari segala kenang yang tercipta. Kepedihannya bermula dari situ. Ketika hilangnya kesempatan untuk mencipta bentuk-bentuk kenangan yang baru. Ah, betapa hidup hanyalah kesempatan menuju kematian.

2013


Kamu yang Didalam Diriku





Binatang yang didalam diriku adalah Singa.
bukan kerbau, babi, apalagi anjing.

Singa yang didalam diriku adalah penyendiri.
tapi tak jeri ditikam sepi. Apalagi mati.

Penyendiri yang didalam diriku adalah puisi.
syair dan larik yang lahir di malam tengik.

Puisi yang didalam diriku adalah kamu.
genang airmata dari cinta yang ditentang.

Kamu yang didalam diriku adalah aku.
iga yang dibawa lari seekor singa.

2013

Senin, 08 April 2013

Di Taman Ismail Marzuki

Taman Ismail Marzuki

Di tempat itu aku akan selalu mengenangnya seperti ini; adalah dirimu dengan sebuah senyum anak anjing yang menggemaskan. Berdiri di siang yang teduh di Taman Ismail Marzuki. Di pengujung tahun yang padanya kita tak sama-sama menyaksikan kembang api di Jakarta, di dekat Tugu Tani. Karena saat itu kita adalah teman lama yang saling menyapa.

Entah angin musim mana yang membawa kita melaju di arah mata angin yang sama. Tapi kita tahu itu bukan angin yang biasa-biasa saja. Ia semakin kencang dari waktu ke waktu, memaksa kita yang bersisi-sisian bersidekap. Agar senantiasa hangat terpelihara.

Setiap perjalanan mestilah memiliki tujuannya. Dan perjalananku adalah menujumu, yang berdiri dan menanti di pulau ini. Karena perjumpaan itu telah berkawin dengan sesuatu yang belum kita namai. Namun ia melahirkan sesuatu yang kuberi nama; rindu. Kepadamulah ia selalu tertuju.

Inilah perasaan yang lahir dan dibesarkan dalam sebuah masa. Jarak menambahkan bobotnya sementara waktu mengujinya. Dan pada rentang masa yang sama-sama tak mungkin lagi kita pura-pura abai akannya, kita menyepakati menamainya; Cinta.

---

Adalah api pada malam yang dingin, begitulah engkau buatku. Dekap pelukmu adalah sumbu api yang abadi. Adalah kabut selepas hujan. Adalah embun yang mencumbu daun, begitulah kau menuntaskan dahaga.  Kecup manismu adalah rinai hujan dan kita bersua di bianglala.

Nanti di suatu masa, katamu, kita harus lahir kembali sebagai rama-rama. Di sebuah hutan yang sepinya menyemarak, di dekat anak sungai, di sebuah ranting yang terhindar dari angin, kau akan menungguku sebagai kepompong. Cinta, katamu, tuhan yang ciptakan, tapi disini agama memisahkan.

Gulung gemulung tawa dan airmata disapukan pada bibir pantai kita. Ada yang selepas gerimis, ada juga yang sebelum senja. Membawa pasir dan buih-buih kebahagiaan dari pantai ini. Tapi tak perlu engkau risau, apa yang dibawanya pergi akan dikembalikannya lagi. Begitulah aku memercayainya. Dan sesederhana itulah aku memercayai apapun yang kelak membawamu pergi akan mengembalikannya lagi padaku.

Gadisku, yang pipinya berkilau dipulas cahaya matahari, adalah kepingan waktu yang padanya pernah kutitipkan rindu seribu subuh. Dan masih akan kutunggu sekuat tubuh memanggul windu dari subuh ke subuh. Hingga sublim segala peluh.

Randu yang berdiri di pematang itu penanda bagi siapa saja yang datang. Rindu yang kerap kali datang ini adalah tanda betapa kau begitu kusayang.

Adalah sajak ini yang sengaja kusiarkan. Tentang seseorang yang kelak padanya kami akan saling meninggalkan. Tentang perjumpaan yang sebetulnya juga adalah sebuah perpisahan. Tentang cinta yang saling menggenggam tapi mesti melepas. Karena kami hanyalah satu dari sebagian.

Engkau pasti tahu cinta itu hanyalah batu yang dilemparkan anak-anak ke arah sungai, ia bisa saja tenggelam dan berhenti pada dasar sungai yang menjadi jodohnya atau ia akan terbawa arus ke hilir dan bersemayam di muara. Bisa juga ia dikembalikan ke tepian. Seperti itulah kugambarkan tuhan melemparkan cinta. Serampangan.Yang beruntung sudah barang tentu yang dilemparkan dan tenggelam, karena ia tak mesti terseret arus dan terantuk bebatuan lain.

Nikmatilah kekasih waktu yang tak lebih panjang dari malam ke pagi ini.

Inilah sajak untukmu. Kurangkai dari keindahan namamu.


Maret, 2013

Rabu, 03 April 2013

GMKI Bandar Lampung

Jl. Kijang No. 92, Kedaton, Bandar Lampung





Pada satu bagian perjalanan hidup, saya pernah menjalani masa-masa kuliah. Di sebuah universitas negeri, di ujung bawah pulau Sumatera, Universitas Lampung dikenal dengan nama Unila. Unila ya bukan Unilam! Unilam for Universitas Lambung Mangkurat.

Untuk beberapa hal memang saya punya energi lebih, seperti halnya masa-masa di SMA yang selalu saya habiskan untuk olahraga, entah itu olahraga apa saja, hingga tak jarang saya pulang ke rumah larut malam.

Energi itu semasa kuliah saya carikan penyalurannya, karena biasanya jam-jam kuliah tak tentu maka olahraga yang biasa saya lakukan; basket dan sepakbola, lambat laun mulai tak memiliki kesempatan. Selain nongkrong di kampus dan kantin bersama geng tentunya.

Baik, bersahaja, batak.
Di kampus pada masa itu, tongkrongan saya memang termasuk eksklusif, saya lebih sering berkumpul dengan geng se-suku. Entah kenapa, tapi se-perasaan saya, begitulah cara di kampus itu membangun koloninya. Walaupun saya tidak membatasi pergaulan dengan kelompok dan agama apapun, tapi pola yang terbangun saat itu adalah, bahwa ada ranah-ranah yang dimiliki oleh kelompok dan komunitas tertentu.

Dan sebagai manusia yang zoon politicon, sudah barang tentu secara naluriah kita akan mencari upaya agar tidak berjalan sendirian. Saya memahami bahwa tanpa sadar kita membangun kotak-kotak dari cairnya kondisi saat itu.

Sehingga pola pertemanan yang terbangun pun demikian. Saya mencatat bahwa pola pertemanan yang dilakukan semasa SMA dulu dengan semasa kuliah jauh berbeda. Di SMA kita bisa menembus batas pertemanan tanpa pretensi dan tendensi apapun. Berteman ya berteman, titik. Sementara di kampus, ada kalahnya kita berteman karena ini, ada saatnya kita berteman karena itu. Atau mungkin hanya saya saja yang berpendapat seperti ini.

Selanjutnya, selain nongkrong di komunitas tadi, saya merasa bahwa saya masih memiliki energi yang lebih yang belum disalurkan. Dalam pada itu, setelah mengamat-amati beberapa saat, saya pikir ada tempat menyalurkan yang menarik minat saya.

Saat itu di pengujung semester empat, kalau saya tidak salah, saya mendaftar ke sebuah organisasi. GMKI namanya, singkatan dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Organisasi kepemudaan dengan basis keagamaan.  Organisasi yang cukup tua dan besar, lekat dengan sejarah kemerdekaan Indonesia. Pengurus pusatnya berkantor di Salemba Raya, Jakarta. Di Lampung, sekretariat cabangnya saat itu ada di Jalan Kijang No. 92, Kedaton. Dekat dengan gereja katolik St. Yohanes.

Saat itu saya tertarik bergabung karena memang sudah ada beberapa rekan-rekan di fakultas yang sudah lebih dulu masuk. Setelah mereka bergabung di awal-awal masa kuliah, saya justru baru masuk setahun kemudian. Saya di Maper (Masa Perkenalan), begitu mereka menamai proses perekrutan anggota baru saat itu, pada tahun 2005.

BPC 2004-2006
Ketua cabang GMKI Bandar Lampung saat itu adalah Richardo Sitompul, seorang mahasiswa FT Unila, sekretarisnya Riris Simamora dari FP Unila. Sejak itu, saya mulai banyak mengikuti berbagai macam kegiatan yang mereka lakukan.

Saat itu, bersama dengan Alfra, seorang teman se-Maper, saya sering mengunjungi sekretariat GMKI. Biasanya sehabis kuliah. Baik itu sedang ada kegiatan atau hanya untuk sebatas nongkrong (lagi) dan berdiskusi.

Seringnya berkumpul dan berdiskusi membuat saya semakin tertarik dengan GMKI. Termasuk juga bobot diskusi yang biasanya dilakukan, baik itu interen GMKI ataupun dengan organisasi lain, membuat saya kagum dengan aktivis-aktivis organisasi pada saat itu.

Hal itu, menjadi semacam titik balik buat saya. Dulu untuk membaca sebuah buku rasanya tangan dan mata berat sekali rasanya. Terlebih itu buku-buku pelajaran. Namun momen diskusi itu menyadarkan dan ada semacam kesadaran pribadi yang timbul karenanya. "Kalau mereka bisa beradu argumentasi sedemikian asyiknya, kenapa saya tidak," kira-kira begitu pikiran yang timbul dalam benak saya. Sejak itu, membeli dan membaca buku jadi semacam keasyikan tersendiri.

Catatan Harian Soe Hok Gie
Sekali waktu, saya berkesempatan membaca buku Catatan Seorang Demonstran, saya merasa ditampar-tampar oleh sosok si penulis catatan harian itu. Soe Hok Gie. Betapa tidak, sejak di bangku sekolah dasar Gie sudah memiliki minat yang teramat dalam untuk membaca buku. Bacaannya beragam, mulai dari karya sastra, tokoh dalam dan luar negeri, pemikir-pemikir, dan banyak lagi lainnya. Gie, jadi sosok yang hadir dan memandu saya untuk mulai belajar menulis.

Sebagai seorang aktivis organisasi saya pikir tidak akan hebat tanpa kemampuan menulis, baik itu ide dan gagasan ataupun sebatas agenda rutin harian. Ada satu kutipan yang saya lupa sumbernya menuliskan begini; Tulis apa yang akan kamu kerjakan. Kerjakan apa yang kamu tulis. Dan, tulis apa yang telah kamu kerjakan. Sebetulnya hanya itu poin penting berorganisasi. Fungsi manajemen sederhana; merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi.

Namun, ada hal yang saya juga catat bahwa saat itu, kepengurusan yang diketuai Richardo (saya biasa memanggilnya dengan bang kardo), ternyata berjalan penuh dinamika. Begitu banyak pertentangan dan konflik internal di kepengurusan (BPC) sehingga fungsi dan kerja-kerja organisasi tidak berjalan maksimal.

Saya berpandangan bahwa mungkin karena pada masa itu anggota GMKI yang 99,9 persen di dominasi dari mahasiswa Unila mengakibatkan permasalahan sendiri. Seperti halnya besi yang berdekatan pasti menghadirkan gesekan dalam geraknya. Selain kondisi pengurus yang terlalu penuh dinamika, kondisi sekretariat saat itu juga memprihatinkan.

Konfercab XI; Jan Hot dan saya
Dan, pada satu titik, saya kemudian berinisiatif bahwa potensi organisasi yang demikian hebat ini akan sangat sia-sia jika terus dibiarkan seperti ini. Saya memutuskan untuk ikut mengajukan diri sebagai ketua pada Konferensi Cabang ke XI. Di Konfercab saya kalah oleh Jan Hot Girsang dengan selisih 4 suara.

Saya kembali mencalonkan diri sebagai sekretaris, hal yang menurut peserta konfercab jarang terjadi. Karena pada dasarnya saya bukan bersaing untuk merebut kekuasaan ketua semata, maka buat saya itu biasa saja. Ada misi yang lebih dari sekadar ketua cabang.

Berdasarkan hasil Konfercab itu, tim formateur berhasil menyusun kepengurusan dengan nama-nama berikut; Jan Hot Girsang (Ketua) PAW dan diganti Raslen Sidauruk, Rico M P (Sekretaris), Raslen Sidauruk digantikan Doran F Sinaga (Ketua Bidang I), Alfra T Girsang (Ketua Bidang II), Subatrio Saragih (Ketua Bidang III), Hema M Manurung (Bendahara).

2006-2008 
Lucy Sihaloho (Wasek) PAW dan digantikan Laura Ginting, Doran Sinaga digantikan Mashot J Purba (Departemen Litbang), Danny W Purba (Departemen Usaha Dana), Rosa V Sirait (Dept. Komkesra), Andhy Rustam Sitinjak (Dept. Pendidikan Kader), Malinton Purba (Dept. Kerohanian), Maruli Rajagukguk PAW digantikan Erika Purba (Dept. Kemasyarakatan), Mitha Sinaga (Dept. Keesaan Gereja), dan Koni W Simatupang PAW digantikan Laikmen Sipayung (Dept. Perguruan Tinggi).

Dalam dua tahun kepengurusan banyak dinamika juga yang terjadi, namun kepengurusan saat itu stabil. Beberapa pergantian antar waktu yang cukup krusial terjadi. Seperti posisi ketua cabang yang saat itu diduduki oleh Jan Hot mesti ditinggalkan karena yang bersangkutan memilih untuk pergi ke Kalimantan setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan.

Sejarah organisasi GMKI Bandar Lampung mencatan bahwa hal ini baru kali pertama terjadi. Setelah berkonsultasi dengan Pengurus Pusat maka posisi itu akhirnya diisi oleh Ketua Bidang I (Organisasi ). Dan pergeseran pun dilakukan untuk menutupi lubang yang kosong.

Selain itu beberapa PAW di posisi Wasek dan Departemen terjadi karena alasan sakit dan perbedaan pandangan dalam konteks organisasi yang tidak mungkin lagi dipertemukan. Namun secara keseluruhan proses yang terjadi berjalan dengan baik tanpa menciderai satu pun perasaan masing-masing individu. Pertemanan tetap terbina  dengan baik.

Pada beberapa kesempatan kami juga menghadiri undangan-undangan kegiatan yang dilakukan GMKI cabang-cabang di wilayah II (Bengkulu, Jambi, Palembang). Dalam kepengurusan saat itu, proses delegasi dilakukan seadil dan setransparan mungkin. Karena saya mencatat bahwa minat yang besar dari anggota untuk ikut andil dalam kegiatan lintas cabang ini cukup tinggi dan tidak jarang menghadirkan kecemburuan.

Upaya-upaya perbaikan dan penataan organisasi walau kecil terus diupayakan. Satu prestasi yang dicatat oleh BPC periode 2006-2008 kami saat itu adalah hadirnya komisariat sebagai perpanjangan tangan organisasi. Meski pemahaman mengenai komisariat saat itu masih terbatas, namun dengan bantuan seorang senior GMKI Pekanbaru yang bekerja di Lampung, Nico, kami berhasil meretas lahirnya dua komisariat baru. Komisariat Heksospol dan komisariat Kompeten.

Ki-ka: Rio, Alfra, Andhy, Laikmen
Selain diskusi dan penataan organisasi, kami tentu juga menyoroti berbagai macam hal yang terjadi di pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Sesekali kami juga demonstrasi kalau kami rasa sudah waktunya harus turun ke jalan. Mengutip kata-kata Gie; sesekali kita hantam pemerintah! *Piss*

Pesagi: Mendaki sampai mati... hahaha..
Kejenuhan berorganisasi sudah barang tentu hadir dalam masa dua tahun kepengurusan. Namun kami punya strategi menyiasatinya; mendaki gunung! Mendaki gunung, saat itu bagi kami jadi semacam agenda tak terpisahkan. Dan lama kelamaan minat anggota yang ikut mendaki makin bertambah jumlahnya. Walaupun pertamanya banyak yang mengeluh kelelahan namun setelah turun biasanya sebagian besar malah jadi kecanduan.

Dan begitulah GMKI hadir di hidup saya sebagaimana saya hadir bagi GMKI. GMKI memberikan banyak hal buat saya dan saya belum mengembalikan yang bahkan sepuluh persen dari itu.

Ut Omnes Unum Sint.

SMU N 109 Jakarta: Gue Anak Gardoe


SATU DASAWARSA SUDAH. Sepuluh tahun yang lalu, pada tahun 2003 tepatnya, saya bersama ratusan teman-teman seangkatan lulus dari sebuah SMU sekarang berganti lagi menjadi SMA. Sekolah kami terletak di pinggiran kota Jakarta yang berbatasan dengan Depok.

Gardoe atau CIX, yang mulai di populerkan diawal tahun 2000-an, begitulah kami menyebut sekolah kebanggaan kami itu. Gardoe, karena sekolah kami beralamat di Jalan Gardu, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Atau CIX, angka romawi dari 109. Ya, sekolah kami SMU N 109 Jakarta!

Entah kenapa, kenangan sepuluh tahun silam itu tadi pagi tiba-tiba hadir, memang setelah menyelesaikan studi di Gardoe, bisa dibilang saya cukup jarang menginjakkan kaki di sekolah yang berhadapan dengan Sungai Ciliwung itu. Beberapa kali reuni atau kegiatan buka puasa bersama saya tak pernah bisa hadir.

Selamat Datang!
Tadi, sengaja saya browsing menggunakan kata kunci SMA 109, dan yang muncul pada urutan pertama adalah laman wikipedia, dan di urutan ke lima atau ke enam ada video Youtube yang saya tampilkan di atas. Sebuah rekaman Flashmob Gangnam Style adik-adik tingkat kami. Ah, masa-masa SMA...

Buat saya, masa SMA adalah masa-masa yang paling absurd. Banyak yang bilang kalau masa-masa SMA adalah masa-masa pencarian jati diri. Proses transisi dari masa remaja ke masa yang lebih matang lagi. Tapi buat saya, masa SMA adalah masa semau gua! Hahaa..

Ini dia Ibu Wali Kelas
Pertama kali memasuki sekolah itu ada banyak pengalaman yang mengesankan.  Saat itu saya diterima di kelas 1-2 dan sialnya saya lupa siapa nama wali kelas pertama saya itu, yang saya ingat adalah dia ibu pengajar Biologi. Kalau tidak salah Ibu Kung, Maafkan saya, bu..

Nona-nona manis peronce tangga
Tentu saja saya punya nama panggilan sebagaimana anak-anak SMA di seluruh Indonesia punya nama panggilan. Panggilan saya ketika itu adalah; BOIM! Tentu mudah menebak apa sebab nama panggilan saya itu, ya karena saya HITAM!

Orang yang berjasa telah membaptis saya dengan nama baru itu adalah rekan sekelas saat itu. Ageng Putranto a.k.a B-Genk. Awal mulanya hanya karena saya mem-bully dia dengan nama latin Anj*ing (Canis Lupus). Saya panggil dia dengan lupus dan teman lupus adalah Boim! Dan begitulah kenyataannya, kami menjadi paket yang tidak terpisahkan sejak duduk di kelas 1 sampai di kelas 3! Kelas 1-2, Kelas 2-6 (Social Texas Majority) dan Kelas 3 IPS 4 (Social Strong) Damn! Hahaha..

Hal-hal nakal, sudah barang tentu banyak yang kami jalani. Dan semuanya tidak patut ditiru! Hahaaa...Berikut ini adalah beberapa contohnya; Loncat dari jendela saat pak Agus (Guru Kimia, kalau saya tidak salah) sedang mengajar. Ini pelakunya seorang Veronandes Munthe. Berpindah-pindah kelas, ini pelakunya seorang Rex Andhika. Bermain judi piritan, ini kami masih memperdebatkan apakah termasuk judi atau tidak, karena sebetulnya kami hanya mengaplikasikan teori peluang dari matematika.. Hahaaa...

Selain itu masih ada Judi Threepoint Shoot  bola basket, tawuran antar kelas 2-6 dengan kelas 2-7. Dua kelas ini dipanggil ke ruang BP dan masuk daftar buku hitam semua! Hahahaa...Kejadiannya hanya sepele, di lantai atas, kelas kami yang menghadap ke arah Gedung Bahasa, saat itu sedang jam istirahat. Anak-anak kelas 2-6 sedang bersantai dan duduk-duduk di depan kelas kami, begitu pun anak kelas 2-7.

Entah siapa yang memulai, ada yang dengan iseng melemparkan tutup sampah dari kelas kami ke arah kelas 2-7. Bukan melempar sebetulnya hanya diseluncurkan di lantai. Dibalas anak-anak kelas 2-7. Mulai dari yang semula hanya tutup kaleng sampah, benda yang dilempar dengan tiba-tiba berubah menjadi buku, tas, pulpen, celana olahraga, kursi dan terakhir meja! Hahahaa... Dan kami saling melempar dengan penuh tawa!! Betapa kurang ajarnya kami saat itu!

Tak lama, karena benda-benda yang kami lemparkan berjatuhan ke lantai bawah, guru pun melihat. Ada seorang guru yang saat itu, saya tak ingat siapa, naik ke atas. Dan begitu melihat dia sudah di dekat kelas, kami pun dengan gegas masuk ke dalam kelas, kami mencari kursi dan meja yang bentuknya sudah melingkar, sebagian bahkan ada yang di luar kelas.

Begitu guru masuk, kami sudah duduk dengan rapi! Ada yang menghadap dinding belakang, ada yang menghadap papan tulis, ada yang duduk di dekat pintu, ada yang duduk berpangku-pangkuan, dan juga ada yang berdiri dengan polosnya menatap sang guru! Hahaaa... Begitulah, akhirnya dua kelas itu dipanggil menghadap ke ruang BP dan nama kami semua terdaftar di buku hitam. Kami dihukum membersihkan lapangan basket belakang yang saat itu baru diguyur hujan. Daaaannn...tak lama setelah guru meninggalkan kami, perang pun berlanjut.. Hahahaaa...

Kelas 2-6 kami saat itu memang cukup dikenal (karena tingkah lakunya). Dan kami saat itu memang mewarisi nama besar kelas dari senior-senior kami. Kelas kami saat itu diisi dengan mayoritas anak laki-laki dan dengan bangga kami menyandang nama besar kelas Social Texas Majority disingkat STM.

Oia, di kelas ini saya punya seorang ketua kelas-- entah kenapa saya bisa duduk sebangku dengannya-- yang sangat absurd! Affan a.k.a Apay, Ipay. Ketua kelas kami ini sangat unik, punya hobi yang tak biasa, yaitu ngeletekin kulit meja menggunakan pulpen, penggaris atau apa saja yang ada ditangannya. Dan seiring dengan berakhirnya setahun masa pendidikan di kelas 2, meja yang digunakannya pun tak lagi bertriplek! Hahaaa..

Karena semasa kelas 2 saya belajar semau gue maka nilai yang saya terima pun "semau gue," begitu mungkin batin wali kelas saya yang mengajar Sosiologi, kalau tak salah namanya Ibu Nurmalia (Kalau salah mohon dikoreksi, bu) saat itu. Saya hampir tidak naik ke kelas 3. Tapi karena mukjizat yang maha kuasa, satu nilai agama saya yang ditahan ibu Agustin karena saya tak pernah masuk kelas agama, dikeluarkan setelah orangtua saya menghadap. Kalau saja nilai yang diberikan 5 maka dipastikan saya akan mengulang, tapi Ibu Agustin sangat baik hati, dia memberi saya nilai yang sangat besar. Enam.

Saya dinyatakan naik dengan bantuan tuhan. Dan saat pemilihan kelas, saya sempat dimasukkan di kelas Bahasa. Tapi setelah ditimbang-timbang, saat itu anak laki-laki dikelas Bahasa hanya ada 3 orang, yang artinya untuk membuat sebuah tim futsal pun kami tak bisa, saya putuskan untuk pindah ke kelas IPS.

Sostrong! 
Saat itu saya masuk daftar tunggu, karena sesuai rencana sekolah, kelas IPS hanya akan dibuka 3 kelas. Ternyata permintaan tinggi dan sekolah pun membuka kelas IPS buangan. IPS 4. Di kelas itu, kami saudara-saudara dari Bronx dikumpulkan jadi satu. Dan kelas kami jadi kelas paling hitam.

Kelas paling kuat karena kami (Erwan a.k.a Ochay, Rex, B-Genk, Tobagus Teguh a.k.a Toba, Ronald Tomasoa a.k.a Brando, Gunawan Stevanus a.k.a Oechild adalah Negro bersaudara; Negro Brothers. Dan karena itu, kami memberi sebuah nama yang manis buat kelas kami. Social Strong a.k.a Sostrong!

Ibu Lulu
Nyatanya, digabungkan dalam satu kelas buangan tidak membuat kami terbuang. Bersama dengan wali kelas kami yang sangat hangat; Ibu Lulu, kami buktikan bahwa kami kelas IPS yang patut juga diperhitungkan. Dan terbukti bahwa kelas kami saat itu sebagai kelas IPS ke dua dengan nilai terbaik.

Di kelas itu kami sudah bisa mengatur waktu lebih baik, kapan waktunya belajar, kapan waktu bermain, kapan waktunya berjudi dan kapan waktunya bolos! Hahaaa... Dan saat itu untuk pertama kalinya saya mendapat peringkat di kelas setelah tiga tahun sekolah di Gardoe! Horeey..

Semasa sekolah saya juga bergabung dengan tim basket SMU N 109, CIX. Bersama dengan teman seangkatan Stef Wiliam a.k.a Etep a.k.a Bongky, M.F Harsanto a.k.a Santo, Alamsyah a.k.a Deray, Andhika a.k.a (siape ye), Derry a.k.a Deroy dan tim wanita : Esti, Ratna a.k.a Nana, Dilla, Dewi dan adik-adik tingkat: Doger, Lano, Febri, Winny, Icha, Putri dan lain-lain.

Begitulah, masih teramat banyak kenangan yang tak tertuliskan di Gardoe kami. Sebuah memoar yang manis dari SMU N 109 Jakarta!

Tertanda


Rico 'Boim' Mangiring Purba



Tribute to: Alumni kelas 1-2, 2-6, 3 IPS 4, Ijoel, Sujiwo Theo, Seno, Vallent, AA, Yopie, Kemoy, Kiki, Dhapon, Neon, Fauzan, Sophian, Ape, Hestu, Mia, Wiwin, Lisa, Sarel, Aceh, Basis Depok, Pasar Minggu, Tukang Numpang Kopaja 606 dll.

Selasa, 02 April 2013

Buku

KAMU
Diberi kata pengantar oleh ayah dan ibumu.
Daftar isimu terlalu dalam dan mengguratkan banyak luka.

Halaman pertama, bercerita tentang semua duka kelam yang terbawa malam dan mengendap dalam pualam. Sesak dalam riak. Ini tentangmu yang membawa banyak luka. Latar belakangnya apalagi kalau bukan nestapa yang hadir dalam tapa. Cerita ini tak bertujuan karena bukan ditujukan kepada tuan. Ini tentang perempuan, tentang kegalauan.

Bismillah, katamu. Disinilah ada kisah rebah. Bukan dongeng, apalagi cerita rakyat yang bikin sesat. Ini tulus karena niat. Niat menyadarkan perempuan yang ditawan karena perawan milik Tuhan. Kulanjutkan isi halaman pertama dengan perumpamaan yang menceritakan kisah anak yang di tanak. Sungguh ini Dosa kakek dan nenek.

Halaman dua, ini halaman ku kisahkan tentang tuhan. Ini halaman tak perlu di ceritakan, karena sudah ditawan.

Halaman tiga, aku selalu senang dengan tiga. Disini ada jelaga raga tak berharga. Menjemput bangga yang ada di rongga-rongga. Kuceritakan disini tentangmu yang hinggap dalam rona matahari jingga. Berkelebatan sayap-sayapmu menggapai bunga-bunga di taman surga. Di salah satu sudut taman itu ku melukis lekak-lekukmu yang seirama dengan nada yang dinyanyikan dedaunan bersama angin tak berharga.

Halaman empat, sudah kulipat semua halaman empat. Karena disini ada cerita tentang orang yang wafat. Ku tak suka dengan halaman empat, maka biarkan saja dia lewat, tak usah kau berkelebat untuk membabat, percuma.

Halaman lima, aku menjemputmu dari lembaran-lembaran buku usang. Aku tahu tak akan mendapati wajahmu di halaman pertama, sekali tarik jemariku membawa serta dua tiga lembar yang mungkin ada kisah lain, yang kuharap bukan tentangmu. Ada lembaran yang terlalu berdebu, ada juga yang sudah lapuk. pelan ku lepaskan bagian-bagian yang saling melekat, ku takut merusak bayangmu yang mungkin saja menempel di salah satu lembarannya.

Hanya decak sesekali ku desahkan pertanda kekagumanku. Ada kamu dalam buku usang tak beruang dan bimbang.

Aku menunggumu di halaman enam, karena kita disini terbenam bersama surya temaram. Seperti halaman-halaman sebelumnya yang lengkap dengan cerita jahanam, ku persilahkan kau berbagi tentang kisah di malam nan kelam. Ini Kisah cinta yang sadis, membabat habis semangatku dengan sporadis.

Cukup sudah, jangan ada lagi halaman tujuh karena kita tak bersetubuh dan kita sudah setuju. Begitupun halaman delapan, karena saat sarapan tak ada harapan.

Maaf karena tak sampai daftar pustaka, karena pusaka sudah terbuka. Siapa yang kuasa? Aku hanya bisa puasa.

Maaf juga karena tak ada lampiran. Disini aku sudah dimakan sindiran. Cacian jadi teman dan nyanyian para pahlawan. Sudahlah. Kututup buku ini.

Buku tentang KAMU.


Depok, 07 Oktober 2009

Jobseeker: Emak Belum Marah


AKU ingin pintar itu soal ekonomi. Saat bicara inflasi, bercerita aku panjang lebar kenapa inflasi membuat bangsa menderita, anak-anak banyak berhalusinasi. Saat emak memanggil untuk makan nasi, yang ditanak emak ternyata hanya besi, panci. Inflasi, kata emak, bikin duit ini sebentar lagi degradasi.

Aku mau itu pintar soal ekonomi. Saat bicara moneter, berkisah aku sedalam-dalamnya kenapa itu kebijakan moneter harus bikin Indonesia tercecer. Pernah emak cerita tentang bapak yang mati untuk negara, tapi kini emak sedih karena negara sekarang nurut itu sama kebijakan moneter. Ku simpulkan, moneter itu monster. Bisa dia merubah Kebijakan publik karena negara keder. Mau itu aku pintar, supaya Sri Mulyani, memberikanku satu pekerjaan. Satu saja.

Kalau Sri Mulyani tidak mau, aku mau itu pintar soal hukum. Berbicara panjang lebar kenapa itu hukum bisa buat kita berhenti tersenyum. Emak cerita soal Prita, katanya dulu Prita pandai bercerita, tapi akhirnya masuk berita karena salah bercerita dan akhirnya dihukum. Mau itu aku pintar soal pidana. Kenapa jatuh cinta bisa di pidana.

Aku mau itu pintar soal hukum. Menjelaskan pada emak, apa itu ius constituendum atau ius constitutum. Karena emak hanya mengerti soal hukum yang ‘maklum’. Ini negara penuh kemakluman. Ada orang yang mencuri ayam dihukum dan ada orang yang korupsi diberi maklum. Ah, mau aku mengerti soal itu, supaya Widodo AS mau menunjukkan satu kursi di Kemenkopolhukam, satu saja.

Kalau Sri Mulyani dan Widodo AS tak bersedia, mau itu aku pintar soal politik. Emak bilang, politik itu peol dan litik, mungkin ini bahasa Yunani. Artinya, mungkin bengkok dan menggelitik. Di televisi, emak selalu tertawa saat nonton acara politik, lucu katanya. Mau itu aku mengerti soal demokrasi, yang kata emak artinya, setiap ada demo di kerasi.

Mau itu aku bicara panjang lebar seperti Arya Bima, yang laku keras saat Pemilu. Bicara soal teori-teori kepartaian, atau tentang ideologi-ideologi yang membabi. Kata emak, ada ideologi yang tak boleh diikuti, katanya dulu dilarang Soeharto. Emak belum tahu Soeharto itu mati. Mau itu aku bicara di Tv, mungkin Aburizal Bakri, mau kasih satu posisi.

Kata emak, aku jobseeker karena kondisi. Inflasi dan moneter bikin negeri ini ngeri. Sementara hukum yang penuh maklum bikin kita vakum. Kalau saja emak tahu Soeharto sudah mati, mungkin aku dibolehkan itu belajar ideologi. Karena kalau boleh, mungkin aku sudah ada di PDI atau mungkin juga di bui. Hmmm, lebih baik begini, yang penting emak belum marah aku terus begini. Cari bini? Ah, aku masih jobseeker.


-Depok, 091009-

Minggu, 31 Maret 2013

Kongres Luar Biasa PD: Lelucon Politik Para Badut

Sebetulnya saya tidak ingin mengisi blog ini dengan hal-hal yang terlalu berat, dengan hal-hal yang bising dibicarakan banyak orang. Di televisi dari pagi ke sore, sore ke pagi, terlebih stasiun televisi berita seperti Tv Merah dan Tv Biru. Stasiun televisi--khususnya tv berita-- telah menjadi begitu tersandera berita-berita politik. Telah menjadi kantor berita politisi Jakarta. Tapi bukan itu fokus tulisan saya kali ini.

Kemarin, Sabtu, (30/03), Partai Demokrat (PD) baru saja menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) pascapenetapan Anas Urbaningrum, ketua umumnya, yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu.

Sesuai dugaan, seperti berita yang beredar beberapa hari sebelum pelaksanaan KLB itu, Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipilih dan ditetapkan oleh peserta kongres sebagai ketua umum yang baru menggantikan Anas. SBY menerimanya dengan menawarkan dua opsi; pertama, kepemimpinannya hanya berlangsung maksimal dua tahun. Kedua, dia bersedia menerima tawaran sebagai ketua umum namun dengan syarat adanya ketua harian untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.

Padahal beberapa hari sebelumnya Sutan Batoegana, anggota DPR yang juga kader PD telah dengan pede-nya berulang-ulang menyangkal kemungkinan akan turun gunungnya sang Presiden. "Apa kata dunia kalau SBY jadi ketua umum?" Begitu ucapannya dengan berapi-api mengikuti kutipan kata-kata dari tokoh film Naga Bonar.

Bagi saya, apa yang dipertontonkan PD di Bali tak lain dan tak lebih hanyalah lelucon belaka. Kalau toh hanya ingin menetapkan SBY tak perlu rasa-rasanya jauh-jauh ke Bali. Apa yang dilakukan para badut-badut politik itu terasa amat mengerikan. Tak ubahnya prilaku politisi Senayan yang hanya tahu 'nyanyian lagu setuju'.

Saya sependapat dengan ucapan para pengamat politik bahwa kader-kader PD tak lebih hanyalah SBY Fans klub. Dan rasanya tak tepat juga menyebut mereka dengan istilah kader itu sendiri. Walaupun mengenai SBY Fans klub itu telah dibantah berulang-ulang oleh pengikut setia SBY.

Kongres Luar Biasa itu telah berjalan dengan cara yang luar biasa pula. Saya mencatat ada beberapa hal yang cukup 'unik' dalam KLB itu. Keputusan seluruh anggota partai untuk meminta SBY turun gunung adalah bukti bahwa kran kaderisasi di partai itu telah terhambat.

Proses-proses kaderisasi yang dilakukan partai itu hanya retorika. PD tak lebih adalah SBY itu sendiri. Dan kehadiran Anas Urbaningrum, yang matang dengan proses kaderisasi di HMI organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia,  kedalam partai itu sudah jelas menjadi duri dalam daging bagi SBY.
Sebagai penggiat di GMKI semasa kuliah, saya tahu bagaimana kualitas aktivis-aktivis HMI, dan untuk menduduki posisi ketua umum di organisasi sebesar HMI sudah barang tentu perlu modal besar. Modal yang saya maksudkan adalah kapabilitas dirinya. Kemampuan berakselerasi, diplomasi tinggi, serta dukungan basis yang kuat.

Saya menilai apa yang dilakukan Anas, terlepas dari kasus yang menjeratnya, dengan turun ke basis-basis masa Partai Demokrat selama kepemimpinannya mencerminkan kualitas pendidikan politiknya selama ini. Dia, yang dianggap sebagai anak buangan oleh SBY, membutuhkan dukungan basis. Tidak terlalu sering dan gaduh tampil di televisi seperti politisi-politisi Demokrat lainnya, Anas lebih memilih membangun kekuatan basis, karena mungkin saja kalau tadinya tidak terjerat kasus korupsi itu dia akan melanggeng ke pencalonan Presiden di 2014. Dan sayangnya, sebelum masa kepemimpinannya selesai dia terjerat kasus korupsi, pendidikan politik yang coba dibangunnya hancur sebelum berdiri.

Selain soal proses kaderisasi, organisasi sebesar Partai Demokrat--yang memenangkan dua kali pemilihan umum di Indonesia--dalam konteks pelaksanaan dan penataan organisasinya, bukan bersumber dari AD/ART yang dirumuskan bersama oleh kongres. Ia adalah berpusat pada Susilo Bambang Yudhoyono sebagai 'AD/ART yang hidup'. Betapa tidak, dalam KLB itu SBY telah meminta persetujuan dari peserta kongres untuk diadakannya ketua harian, yang hal itu tidak ada diatur dalam AD/ART. Dan seperti kumpulan boneka, peserta kongres hanya bisa mengeluarkan kata setuju.

Bisa diterima akal semisal setelah pembahasan mengenai ketua umum para peserta mengakomodir keinginan SBY itu untuk melakukan perubahan AD/ART. Tapi nyatanya, pada hari yang sama, kongres itu telah dinyatakan selesai dan ditutup dengan orasi politik pertama sang ketua umum. Kongres partai sekelas Partai Demokrat selesai hanya dalam waktu 7 jam! Benar-benar kongres yang luar biasa.

Tapi mungkin itu adalah kelemahan saya memahami politik yang luas dengan pemahaman yang sempit. Politik itu bukan barang yang kaku, ia adalah sesuatu yang fleksibel. Dan keluwesan pemahaman itu yang mungkin belum saya punya dalam memahami kompleksitas politik di Indonesia ini.


Salam.

Lapo Tuak dan Orang Batak



Sebelumnya saya utarakan bahwa tulisan ini bukan sebagai alasan pembenar, pembelaan, atau hal lainnya terkait keberadaan lapo (kedai) tuak–yang beberapa waktu lalu dipermasalahkan oleh kelompok-kelompok  tertentu. Sebagai orang batak, saya hanya ingin memberikan perspektif lain kepada kita dalam memahami lapo tuak.


Lapo, atau kode (kedai), sebetulnya hanya warung biasa sama halnya seperti rumah makan minang, warung tegal, dan warung-warung lainnya. Di lapo, penjual menyediakan makanan (khas batak) dan minuman layaknya sebuah rumah makan.

Namun, ada sedikit perbedaan dibanding warung-warung makan lainnya, biasanya dan hampir semua lapo pasti menyediakan tuak (minuman tradisional yang dibuat dari kelapa atau aren). Itulah kenapa kata lapo (kedai) selalu disandingkan dengan kata tuak.

Beberapa waktu lalu, sempat mencuat upaya untuk melarang keberadaan lapo-lapo tuak di beberapa daerah di Indonesia dengan alasan meresahkan masyarakat. Masyarakat menilai keberadaan lapo-lapo itu mengganggu. Aparat pun bersikap.

Tapi, jika boleh ditanya, masyarakat yang mana yang mengeluhkan? Media (baik cetak maupun elektronik) kebanyakan terjebak dengan opini-opini yang dibentuk oleh kelompok-kelompok tertentu. Opini yang dibangun oleh kelompok-kelompok itu dengan begitu saja diterima oleh kalangan media.

Kalau memang opini yang dibangun itu benar, kenapa baru sekarang hal itu mencuat? Kenapa selama ini, di tempat-tempat lapo-lapo itu berada tidak ada yang mengeluhkan. Bahkan jarang ditemui konflik terjadi akibat lapo-lapo itu. Namun, sekali lagi saya tekankan bahwa hal ini bukan alasan pembenar juga terhadap lapo tuak.

Sebagai orang batak saya memahami bagaimana cara orang batak berpikir sebelum membuat sebuah lapo. Lapo seperti saya sebutkan diatas menjual makanan yang tak biasa bagi orang kebanyakan. Makanan yang tidak mendapatkan label halal dari MUI. Oleh karena itu, tentu alasan tersebut menjadi pertimbangan khusus bagi orang batak untuk membuat lapo. Mereka pasti berusaha mencari tempat yang ‘aman’ agar usahanya tidak mengganggu warga sekitar.

Saya juga mengakui bahwa memang ada sisi negatif dari tuak, seperti kebanyakan minuman tradisional (yang hampir dimiliki oleh kebanyakan suku dan daerah di Indonesia) tuak mengandung alkohol. Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya. Dan seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.

Namun, tulisan saya kali ini bukan hendak larut dalam deskripsi tersebut. Saya coba menggambarkan bagaimana lapo membesarkan orang batak juga sebaliknya orang batak membesarkan lapo. Sekali waktu, seorang teman saya yang aktivis berkesempatan mengunjungi Sumatera Utara karena ada kegiatan yang harus diikuti. Sepulang dari provinsi itu dia berbincang-bincang dengan saya tentang kekagumannya akan lapo.

Saya sempat bingung dengan kata-katanya saat itu. Namun setelah dia jabarkan saya hanya tersenyum. Saat itu dia menceritakan bagaimana budaya diskusi orang batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Tanah Karo, dan masih banyak lagi memang didominasi dengan sektor pertanian. Dan meminum tuak pun lantaran kondisi daerah-daerah tersebut yang dingin.

Di lapo, orang-orang akan mengambil kesibukannya masing-masing. Ada yang sebatas duduk-duduk sambil mengobrol (markombur), ada yang bermain catur, bernyanyi, dan ada juga yang hanya makan lalu pulang. Semua itu pemandangan yang biasa di lapo.

Kembali ke soal diskusi tadi, di lapo orang-orang yang mengobrol biasanya akan memperbincangkan berbagai macam hal. Dari yang remeh temeh sampai ke diskusi soal negara. Diskusi biasanya akan berlangsung mulai dari suasana yang datar sampai ke perdebatan yang alot. Dan hampir sebagian besar dari mereka berdiskusi dengan menawarkan teorinya masing-masing (karena mereka berdebat dengan latar pendidikan yang berbeda-beda).

Budaya diskusi, berdebat, hal itu sangat mudah ditemui di lapo-lapo. Dan juga sangat mudah ditemui ketika dua-tiga orang batak bertemu. Selalu ada hal untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Budaya tersebut tanpa disadari telah membentuk karakter. Jika menyebut orang batak kebanyakan akan dengan segera mengasosiasikannya dengan profesi-profesi tertentu semisal pengacara. Hal itu bukan tanpa alasan.

Selain budaya diskusi, catur dan bernyanyi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lapo dan orang batak. Melalui kebiasaan bermain catur di lapo-lapo, orang batak terasah untuk berpikir. Selain menyalurkan hobi, catur juga menambah daya ingat. Dan tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi karakter yang melekat pada orang batak.

Apapun profesinya, meninggalkan lapo sepertinya hal yang sulit dilakukan orang batak. Hal itu dibaca dengan jeli oleh pengusaha-pengusaha lapo. Lapo berkembang dari waktu ke waktu. Kini menemui lapo dengan berbagai tipe dan kelas sangat mudah. Di Jakarta misalnya, lapo-lapo tuak cukup beragam ditemui. Mulai dari yang sederhana, menengah  sampai kelas elit.

Pada akhirnya, lapo dan orang batak menjadi hal yang tak terpisahkan. Keduanya besar karena saling membesarkan. Horas!


(Tulisan ini saya ambil dari laman kompasiana saya yang telah dipublikasikan 6 Desember 2011)

Sabtu, 30 Maret 2013

Andreas Harsono: Hoakiao dari Jember

Andreas Harsono: Hoakiao dari Jember: Andreas Harsono Namanya Ong Tjie Liang (王 志 良). Dia satu Hoakiao dari Jember, sebuah kota tembakau di sebelah timur Pulau Jawa. November ...

Jumat, 29 Maret 2013

Bangku Taman


DAUN-DAUN GUGUR. Ada yang dibawa angin ke barat lalu jatuh di pinggir danau. Ada yang jatuh begitu saja tak kemana-mana. Tapi bergeser sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjauhi batang dan ranting yang melepasnya. Sementara yang terbawa angin ke selatan tak jauh dari batang pohon itu, ada yang jatuh ke sebuah ruang yang tersisa antara sepasang muda-mudi yang duduk di bangku taman. Mereka duduk tak begitu rapat.

Barangkali karena ini musim semi, mereka tak perlu duduk terlalu dekat. Tapi di ruang tempat daun itu jatuh sepasang tangan dan jari jemari saling menggamit. Mereka saling terikat. Tak banyak yang mereka bicarakan. Sesekali yang perempuan menengadah, wajahnya menatap ke langit senja. Ia tersenyum.

Sementara si perempuan tengah menikmati senjanya, si lelaki menatap ke sisi kirinya. Ia tersenyum. Perempuan itu adalah langit senjanya. Tak banyak yang mereka bicarakan. Angin berhembus. Satu lagi daun gugur menyusul, kali ini jatuh di pangkuan si perempuan.

Langit yang semula kuning keemasan telah jadi merah. Laki-laki dan perempuan itu meninggalkan taman. Ada setetes airmata yang tinggal di bangku taman itu.

Sore terakhir mereka dalam kenangan bangku taman.


2013

Kamis, 28 Maret 2013

Dari keping-keping ricik hujan


Dari keping-keping ricik hujan. Ada denting pental dingin
yang mengental. Terlempar ke sebuah teras, persis
ketika kamu sedang mendamaikan hatimu. Lamat ia
rambat. Jadi sesosok bayang. Jadi sebingkai diorama.
Tentang kesalahan masa lalu. Memintal kata yang dicegat
kerongkongan. Tak boleh diucapkan.

Dari keping-keping ricik hujan.

2012

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013) 

Commuter


DARI Bogor sampai ke ulu jakarta.
Merekalah seribu raga yang jadi satu rangkai.
Delapan gerbong. Di ujung-ujung, nona-nona
manis meronce.

Hak asasi disini tercerabut. Toleransi tak punya nyali.
Ibu-ibu berdiri. Laki-laki hahahihi. Duduk dikursi.
Tapi disini tak pernah sepi meski mereka acap kali jeri.

Tuan-puan sebentar lagi sepur kita tiba di Manggarai.
Sampai bertemu besok lagi. Pagi-pagi.


2012

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013)

Arca


ADA sekeping arca yang kuyup ditimpa hujan. Di depan
teras bermarmer lebar dan tiang beton yang lupa
betapa dirinya adalah raksasa di rumah itu. Tentang
arca itu, yang diluar dia menahan gigil, tak ada yang
pernah peduli.

Apalah arti sekeping batu yang dipahat? Bukankah
semua juga begitu. Bukankah dia memang diukir untuk
dipajang. Di rumah. Di halaman. Di depan teras
bermarmer lebar dan tiang penyangga yang raksasa.
Dari beton. Dan menggigil menahan dingin.

Tapi barangkali si empunya tak ingat. Bahwa batu karang
kikis dibasuh ombak. Batu cadas retak ditikam
hujan. Ada yang tak kekal dikolong langit. Ada yang tak
abadi selain kematian itu sendiri. Dan apakah arca?
Selain batu berukir yang menyiapkan kematiannya sendiri.

siapa yang peduli pada betapa sang artis telah
banjir peluhnya, legam kulitnya dan betapa kapal-kapal
ditangannya telah lebih keras dari batu itu sendiri. Betapa
tak perlu kita bermelankolik tentang sebuah arca. Dia hanya
dilihat karena rupa. Siapa peduli cerita dibaliknya.

Tapi arca tetaplah arca. Batu. Bukan prasasti. Dia hidup
sementara karena rupa lalu akan lekas mati. Di
halaman. Di depan teras bermarmer lebar yang tiangnya
raksasa-raksasa. Beton yang lupa diri.

Tapi bagiku ini semua tentangmu. Tentang cinta.


2012

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013)

Kota







:yang memusuhi penarik layang-layang



Di sebuah kota yang tanjung dan teluknya telah lama
memusuhi para pelaut itu, kini juga telah memusuhi
para penarik layang-layang.

Jangankan petak-petak tanah lapang, sawah kering pun hilang.
Tak ada lagi desis benang membelah udara mengantar lelayangan
mengangkasa.

"Kau bilang harus ku gantungkan
mimpiku diantara kejora gemintang, sementara
layang-layangku pun tak lagi bisa bersigantung menuju
lelangitan."

Di kota yang kini memusuhi para penarik layang-layang
itu, walikota sering bilang kalau ini kota ramah anak.
Dan di kota ini anak-anak sudah pensiun bermain
layang-layang. Di kota itu layang-layang terbang
dalam bayang-bayang.


(141012)

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Januari 2013)

Tentang Perempuan yang Merindu


WAJAHMU tenang kini. Tak ada lagi isak. Tak pula jerit. Seperti kebiasaan lamamu, kau mulai berdandan. Memilih baju, celana, sepatu serta oleh-oleh apa yang akan kau bawa. Sejak hari itu aku tahu bahwa ada rindu yang tak pernah pudar. Ada rindu yang tak berubah. Dia hanya berbeda. Kau tersenyum. Anggun. Memesona. Di tempat ini--entah tahun yang keberapa--aku menyaksikan kesetiaanmu jadi bentuk rindu yang paling rumit. Lalu kau bersihkan nisanku dari bunga-bunga yang gugur.

***

INI TERLARANG. "Tapi aku tak bisa berhenti," katamu sendu. Begitu pun aku, yang hanya kuucap dalam hatiku. Air mukamu berubah setiap kali kita berbincang akan hal ini. Ketakutanmu adalah ketakutanku. Rindumu itu juga adalah rinduku. Menolak kehadiranmu berarti membunuh separo akal dan hatiku. Tapi sungguh, pertemuan ini--kalau bisa--tidak kita lanjutkan. "Kau adalah ibu dari keponakan-keponakan manisku, sayang."


(040811)

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Oktober 2012)

Sajak Buat Puan (2)



Rinduku ini telah lama amuk pada setiap umbar waktu.
Dipasak sesak, dihujam rajam. Rinduku riuh.
Menggemuruh jadi sesuatu yang rikuh. Kita bersipeluk
Pada sajak-sajak yang takluk.

Di kelangkelang mega, di lengkung gradasi warna
Bianglala, doa kita acap jadi gurau ketimbang di hirau.
Kerap kali jatuh tapi tak sampai aduh. Kerap kali jatuh
Tapi tak pernah rapuh. Karena cinta tak sampai hati
Sepuh.

Puanku, kaulah rinai, kaukah andai.


(180912)

(Sajak dimuat kompas.com 12 Oktober 2012)

Rabu, 27 Maret 2013

Sajak Buat Puan





JAUHMU kurengkuh lewat sebuah kayuh, pikirku;
Mestilah berlabuh sesuatu yang kelewat sepuh. Ada
Sajen yang dilarung tanpa tandan. Banyak Raden yang
Bertarung karena cinta yang berkelindan.

Kalau kau seumpama sajak, maka akulah abjad yang
Tak berjejak. Dihidu oleh rindu yang paling tabu. Jadi
Konsonan ke konsonan. Teman segala vokal. Pelengkap
Syair mesti kerap kali tak kekal.

Di batas aspal, di deru kapal, rindu tebalku mengekal.
Menujumu, bagiku, adalah lagi-lagi perjalanan yang
Mahabakal. Tak sandar kapal jika tak melaju.

Puanku, puanku, lamasabachtani..


(180912)

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 Oktober 2012)

Di Bawah Lampu Jalan



Kuning. Lemah. Sendu.

Di bawah lampu jalan; kau adalah bayangbayang dedaun mangga yang tercerabut.
Hempas. Melayang. Turun ditarik gravitasi. Rebah di aspal yang pasi.
Pucat. Dilindas.
Ditindas.

Dibawah lampu jalan; puisiku dijajah bangsa sendiri. Proklamasi.
Reformasi. Jadi poster-poster sesudah demonstrasi. "Kita belum
merdeka. Kita belum..."

Di bawah lampu jalan; sebuah doa gegas nuju pelataran surga. Ayatnya
beradu cepat dengan ruhnya. Tapi sungguh pun ruhnya tak tahu hendak
kemana. Semasa hidup perbuatan mulianya hanya demonstrasi.

Di bawah lampu jalan; selembar koran tak mampu lagi bicara kejujuran,
wartawan kerap bertarung sendirian. Melawan Pemred dan slip gaji
bulanan. Banyak yang lebih dulu mati di pertengahan bulan.

Di bawah lampu jalan. Semoga yang benderang senantiasa terang.


Di bawah lampu jalan Rajabasa, 100912

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 September 2012)

Cikini Hampir Jam 12


; D. Anggraeni

SUARA serak kereta tua yang berulang-ulang kali dipaksa puber
lamatlamat menderu.
Parau suaranya memanggil orang-orang dari arah Gondangdia,
                                                                                             "lekas-lekas, berbarislah."
dikenyotnya besi-besi karat yang menjulur dari stasiun Kota hingga Bogor raya.
Rel-rel besi yang tak bergizi.
Mata tuanya, yang lama sudah rabun jauh, masih dipaksa menjelalat
hingga tengah malam kian dekat.

Di stasiun Cikini aku menanti.
Berdiri seorang diri setelah mengencani kekasih dua bulan sekali.
Ritual ini mestinya abadi.
Jadi sesuatu yang lebih purba dari prasasti.
Sesuatu yang pasti bukan sekedar imajinasi;
ku khayalkan masa tua, kau terawang hari senja, kita bersama melewatinya.

Cikini, hampir jam 12. Cepat atau lambat kita mesti bergegas.

Rawajitu, 250712

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 September 2012)

Purnama




DI RUMAH ITU, raganya tak pernah istirahat.
Kepada ibu dia selalu bilang bahwa dirinya
adalah kumbang. Berhenti adalah pada
bibir-bibir kembang.

Padahal selagi dia masih tenggelam
di ketuban, ibu sudah memilih nama
yang baik untuknya; Purnama.
Tapi apatah arti sebuah nama.
Ibu lupa bahwa anaknya adalah campuran
sel telur dan sperma. Karena kuat ia bertahan.

Purnama hanya kembali sebulan sekali.
"Habis ganti baju langsung pergi," kata Ibu sambil
memecah-mecahkan matahari di piringnya. Membelah-belah
matahati kesayangannya.

Pulang, bagi Ibu, adalah ketika Purnama menambah
hiasan di lemari jati. Sekali waktu dia bawa Toa, lain hari
dia bawa luka. Tapi, yang membunuh ibu adalah ketika
hiasan terakhir tiba lewat sebuah berita duka.
Purnama mati membela petani desa.

Lampung, 4 September 12

(Sajak ini dimuat kompas.com 12 September 2012)

Kumpulan Sajak Kasmaran



1. PEDEKATE 
 ;- echie

Lewat debar yang poliponik
Aku bergetar coba mendekat
"Lagi apa," kataku menjelma kalimat.

(Bumi Dipasena, 160911)

2. TENTANG PACAR

Ibu tak tahu kalau aku sudah berutang pelangi kepada seseorang
Padahal sudah tiga bulan hujan tak mau singgah.

(Bumi Dipasena, 290911)

3. SEMBUNYI-SEMBUNYI 

Mimpi-mimpi itu aku mulai tak bisa membedakannya.
Entah dengan apa harus kupisah-pisahkan.
Gambarmu, sketsa jari jemari kita yang bersidekap,
siluet punggungmu, arsir halus rambutmu.
Masihkah itu nyata, Adinda?
Lalu dengan pena yang mana kutebalkan
bagian-bagian halus yang mestinya tegas itu.

(Bumi Dipasena, 091111)

4. PACARAN JARAK JAUH

Di Jakartamu,
Di stasiun Cikini,
Di Pertigaan Kramat Sentiong,
Di rumah induk semang yang tak pernah ku ingat berapa nomornya,
Enam puluh hari sekali.
Aku bergegas dari Bumi Dipasena.

(Bumi Dipasena, 091111)


(Sajak-sajak ini dimuat kompas.com 15 November 2011)

Tentang Tiga Hal




IBU
Ditanaknya mimpi-mimpi yang dijumpainya subuh tadi.
Sambil berdoa diberikannya padaku sepotong mimpi yang paling besar
kata ibu, aku anak tertua, jadi harus terima porsi itu.
Maka sebelum aku dewasa kuterima amarah dua kali lebih banyak
kuterima cambuk lebih panas dari memar kena pijar
kata ibu aku harus larung jadi debu setinggi bintang.

AYAH
Bukanlah prajurit yang raganya mesti mati di medan laga
karena untuk jadi pusara itu mudah saja.
Tapi bapak telah jadi yang luhur karena kesetiaannya
pada hening yang kadang tak dimengerti ibu.
Bapak telah lama menikmati perselingkuhannya
dengan yang senyap jauh sebelum raganya menikah dengan ibu.
Lalu suatu masa dari doa bapa lahir bunga-bungaan,
yang mekar karena bapak telah lama jadi Oak,
menantang puyuh demi kami.

AGAMAKU; DUKA
Dengan nyalang kau bilang mereka binatang!
Pada rahim-rahim yang tak punya hak pilih
kau lahir jadi benih yang mendidih,
"harusnya kupadamkan kau pakai kemih," sentak Ibu pada perutnya.


(Bumi Dipasena, 29/9/2011)

(Sajak ini dimuat kompas.com 15 November 2011)