Minggu, 28 April 2013

Mati

DUA hari ini kabar duka cita datang dari rekan-rekan semasa kuliah. Keduanya dari adik tingkat di Fakultas Hukum. Maruli Tua Rajagukguk, aktivis LBH Jakarta ini ditinggalkan sang Ayah untuk selamanya. Hari ini, Jepri Manalu tiba-tiba saja mengirimkan pesan via BBM meminta dukungan doa karena Ibundanya dalam keadaan kritis. Dan hanya selang beberapa jam, seorang teman di BBM telah mengganti Personal Message dengan kabar duka cita dari Ibunda Jepri yang mesti memenuhi panggilan penciptanya.

Ah, kematian, siapakah yang bisa menebak kapan ia datang. Benarlah bahwa ia, kematian itu, datang bagai pencuri di malam hari.

Apakah yang direnggut kematian sebenarnya selain jiwa yang lepas dari raga? Apa yang membuat kita begitu sedih pada apa yang tak pernah sepenuhnya kita miliki. Pada apa yang sepenuhnya tak pernah jadi milik kita. Mungkin saja, sekali lagi ini hanya kemungkinan semata, pada pertemuan raga hadirlah rasa yang saling menautkan jiwa yang satu dan yang lain.

Rasa inilah kemudian yang menjadi jangkar, menambatkan jiwa di dalam dua raga atau lebih yang seolah-olah keduanya saling berkait. Berjalin pilin. Dan pada saat salah satu jiwa lepas dari raga, rasa yang seolah-olah bertaut inilah yang kemudian merasa kehilangan. Karena pada dasarnya kita tak pernah diberi hak atas jiwa itu. Ia adalah sesuatu yang dipinjamkan.

Dan segala tangis yang datang dari duka bermuasal dari segala kenang yang tercipta. Kepedihannya bermula dari situ. Ketika hilangnya kesempatan untuk mencipta bentuk-bentuk kenangan yang baru. Ah, betapa hidup hanyalah kesempatan menuju kematian.

2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar