Rabu, 03 April 2013

GMKI Bandar Lampung

Jl. Kijang No. 92, Kedaton, Bandar Lampung





Pada satu bagian perjalanan hidup, saya pernah menjalani masa-masa kuliah. Di sebuah universitas negeri, di ujung bawah pulau Sumatera, Universitas Lampung dikenal dengan nama Unila. Unila ya bukan Unilam! Unilam for Universitas Lambung Mangkurat.

Untuk beberapa hal memang saya punya energi lebih, seperti halnya masa-masa di SMA yang selalu saya habiskan untuk olahraga, entah itu olahraga apa saja, hingga tak jarang saya pulang ke rumah larut malam.

Energi itu semasa kuliah saya carikan penyalurannya, karena biasanya jam-jam kuliah tak tentu maka olahraga yang biasa saya lakukan; basket dan sepakbola, lambat laun mulai tak memiliki kesempatan. Selain nongkrong di kampus dan kantin bersama geng tentunya.

Baik, bersahaja, batak.
Di kampus pada masa itu, tongkrongan saya memang termasuk eksklusif, saya lebih sering berkumpul dengan geng se-suku. Entah kenapa, tapi se-perasaan saya, begitulah cara di kampus itu membangun koloninya. Walaupun saya tidak membatasi pergaulan dengan kelompok dan agama apapun, tapi pola yang terbangun saat itu adalah, bahwa ada ranah-ranah yang dimiliki oleh kelompok dan komunitas tertentu.

Dan sebagai manusia yang zoon politicon, sudah barang tentu secara naluriah kita akan mencari upaya agar tidak berjalan sendirian. Saya memahami bahwa tanpa sadar kita membangun kotak-kotak dari cairnya kondisi saat itu.

Sehingga pola pertemanan yang terbangun pun demikian. Saya mencatat bahwa pola pertemanan yang dilakukan semasa SMA dulu dengan semasa kuliah jauh berbeda. Di SMA kita bisa menembus batas pertemanan tanpa pretensi dan tendensi apapun. Berteman ya berteman, titik. Sementara di kampus, ada kalahnya kita berteman karena ini, ada saatnya kita berteman karena itu. Atau mungkin hanya saya saja yang berpendapat seperti ini.

Selanjutnya, selain nongkrong di komunitas tadi, saya merasa bahwa saya masih memiliki energi yang lebih yang belum disalurkan. Dalam pada itu, setelah mengamat-amati beberapa saat, saya pikir ada tempat menyalurkan yang menarik minat saya.

Saat itu di pengujung semester empat, kalau saya tidak salah, saya mendaftar ke sebuah organisasi. GMKI namanya, singkatan dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Organisasi kepemudaan dengan basis keagamaan.  Organisasi yang cukup tua dan besar, lekat dengan sejarah kemerdekaan Indonesia. Pengurus pusatnya berkantor di Salemba Raya, Jakarta. Di Lampung, sekretariat cabangnya saat itu ada di Jalan Kijang No. 92, Kedaton. Dekat dengan gereja katolik St. Yohanes.

Saat itu saya tertarik bergabung karena memang sudah ada beberapa rekan-rekan di fakultas yang sudah lebih dulu masuk. Setelah mereka bergabung di awal-awal masa kuliah, saya justru baru masuk setahun kemudian. Saya di Maper (Masa Perkenalan), begitu mereka menamai proses perekrutan anggota baru saat itu, pada tahun 2005.

BPC 2004-2006
Ketua cabang GMKI Bandar Lampung saat itu adalah Richardo Sitompul, seorang mahasiswa FT Unila, sekretarisnya Riris Simamora dari FP Unila. Sejak itu, saya mulai banyak mengikuti berbagai macam kegiatan yang mereka lakukan.

Saat itu, bersama dengan Alfra, seorang teman se-Maper, saya sering mengunjungi sekretariat GMKI. Biasanya sehabis kuliah. Baik itu sedang ada kegiatan atau hanya untuk sebatas nongkrong (lagi) dan berdiskusi.

Seringnya berkumpul dan berdiskusi membuat saya semakin tertarik dengan GMKI. Termasuk juga bobot diskusi yang biasanya dilakukan, baik itu interen GMKI ataupun dengan organisasi lain, membuat saya kagum dengan aktivis-aktivis organisasi pada saat itu.

Hal itu, menjadi semacam titik balik buat saya. Dulu untuk membaca sebuah buku rasanya tangan dan mata berat sekali rasanya. Terlebih itu buku-buku pelajaran. Namun momen diskusi itu menyadarkan dan ada semacam kesadaran pribadi yang timbul karenanya. "Kalau mereka bisa beradu argumentasi sedemikian asyiknya, kenapa saya tidak," kira-kira begitu pikiran yang timbul dalam benak saya. Sejak itu, membeli dan membaca buku jadi semacam keasyikan tersendiri.

Catatan Harian Soe Hok Gie
Sekali waktu, saya berkesempatan membaca buku Catatan Seorang Demonstran, saya merasa ditampar-tampar oleh sosok si penulis catatan harian itu. Soe Hok Gie. Betapa tidak, sejak di bangku sekolah dasar Gie sudah memiliki minat yang teramat dalam untuk membaca buku. Bacaannya beragam, mulai dari karya sastra, tokoh dalam dan luar negeri, pemikir-pemikir, dan banyak lagi lainnya. Gie, jadi sosok yang hadir dan memandu saya untuk mulai belajar menulis.

Sebagai seorang aktivis organisasi saya pikir tidak akan hebat tanpa kemampuan menulis, baik itu ide dan gagasan ataupun sebatas agenda rutin harian. Ada satu kutipan yang saya lupa sumbernya menuliskan begini; Tulis apa yang akan kamu kerjakan. Kerjakan apa yang kamu tulis. Dan, tulis apa yang telah kamu kerjakan. Sebetulnya hanya itu poin penting berorganisasi. Fungsi manajemen sederhana; merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi.

Namun, ada hal yang saya juga catat bahwa saat itu, kepengurusan yang diketuai Richardo (saya biasa memanggilnya dengan bang kardo), ternyata berjalan penuh dinamika. Begitu banyak pertentangan dan konflik internal di kepengurusan (BPC) sehingga fungsi dan kerja-kerja organisasi tidak berjalan maksimal.

Saya berpandangan bahwa mungkin karena pada masa itu anggota GMKI yang 99,9 persen di dominasi dari mahasiswa Unila mengakibatkan permasalahan sendiri. Seperti halnya besi yang berdekatan pasti menghadirkan gesekan dalam geraknya. Selain kondisi pengurus yang terlalu penuh dinamika, kondisi sekretariat saat itu juga memprihatinkan.

Konfercab XI; Jan Hot dan saya
Dan, pada satu titik, saya kemudian berinisiatif bahwa potensi organisasi yang demikian hebat ini akan sangat sia-sia jika terus dibiarkan seperti ini. Saya memutuskan untuk ikut mengajukan diri sebagai ketua pada Konferensi Cabang ke XI. Di Konfercab saya kalah oleh Jan Hot Girsang dengan selisih 4 suara.

Saya kembali mencalonkan diri sebagai sekretaris, hal yang menurut peserta konfercab jarang terjadi. Karena pada dasarnya saya bukan bersaing untuk merebut kekuasaan ketua semata, maka buat saya itu biasa saja. Ada misi yang lebih dari sekadar ketua cabang.

Berdasarkan hasil Konfercab itu, tim formateur berhasil menyusun kepengurusan dengan nama-nama berikut; Jan Hot Girsang (Ketua) PAW dan diganti Raslen Sidauruk, Rico M P (Sekretaris), Raslen Sidauruk digantikan Doran F Sinaga (Ketua Bidang I), Alfra T Girsang (Ketua Bidang II), Subatrio Saragih (Ketua Bidang III), Hema M Manurung (Bendahara).

2006-2008 
Lucy Sihaloho (Wasek) PAW dan digantikan Laura Ginting, Doran Sinaga digantikan Mashot J Purba (Departemen Litbang), Danny W Purba (Departemen Usaha Dana), Rosa V Sirait (Dept. Komkesra), Andhy Rustam Sitinjak (Dept. Pendidikan Kader), Malinton Purba (Dept. Kerohanian), Maruli Rajagukguk PAW digantikan Erika Purba (Dept. Kemasyarakatan), Mitha Sinaga (Dept. Keesaan Gereja), dan Koni W Simatupang PAW digantikan Laikmen Sipayung (Dept. Perguruan Tinggi).

Dalam dua tahun kepengurusan banyak dinamika juga yang terjadi, namun kepengurusan saat itu stabil. Beberapa pergantian antar waktu yang cukup krusial terjadi. Seperti posisi ketua cabang yang saat itu diduduki oleh Jan Hot mesti ditinggalkan karena yang bersangkutan memilih untuk pergi ke Kalimantan setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan.

Sejarah organisasi GMKI Bandar Lampung mencatan bahwa hal ini baru kali pertama terjadi. Setelah berkonsultasi dengan Pengurus Pusat maka posisi itu akhirnya diisi oleh Ketua Bidang I (Organisasi ). Dan pergeseran pun dilakukan untuk menutupi lubang yang kosong.

Selain itu beberapa PAW di posisi Wasek dan Departemen terjadi karena alasan sakit dan perbedaan pandangan dalam konteks organisasi yang tidak mungkin lagi dipertemukan. Namun secara keseluruhan proses yang terjadi berjalan dengan baik tanpa menciderai satu pun perasaan masing-masing individu. Pertemanan tetap terbina  dengan baik.

Pada beberapa kesempatan kami juga menghadiri undangan-undangan kegiatan yang dilakukan GMKI cabang-cabang di wilayah II (Bengkulu, Jambi, Palembang). Dalam kepengurusan saat itu, proses delegasi dilakukan seadil dan setransparan mungkin. Karena saya mencatat bahwa minat yang besar dari anggota untuk ikut andil dalam kegiatan lintas cabang ini cukup tinggi dan tidak jarang menghadirkan kecemburuan.

Upaya-upaya perbaikan dan penataan organisasi walau kecil terus diupayakan. Satu prestasi yang dicatat oleh BPC periode 2006-2008 kami saat itu adalah hadirnya komisariat sebagai perpanjangan tangan organisasi. Meski pemahaman mengenai komisariat saat itu masih terbatas, namun dengan bantuan seorang senior GMKI Pekanbaru yang bekerja di Lampung, Nico, kami berhasil meretas lahirnya dua komisariat baru. Komisariat Heksospol dan komisariat Kompeten.

Ki-ka: Rio, Alfra, Andhy, Laikmen
Selain diskusi dan penataan organisasi, kami tentu juga menyoroti berbagai macam hal yang terjadi di pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Sesekali kami juga demonstrasi kalau kami rasa sudah waktunya harus turun ke jalan. Mengutip kata-kata Gie; sesekali kita hantam pemerintah! *Piss*

Pesagi: Mendaki sampai mati... hahaha..
Kejenuhan berorganisasi sudah barang tentu hadir dalam masa dua tahun kepengurusan. Namun kami punya strategi menyiasatinya; mendaki gunung! Mendaki gunung, saat itu bagi kami jadi semacam agenda tak terpisahkan. Dan lama kelamaan minat anggota yang ikut mendaki makin bertambah jumlahnya. Walaupun pertamanya banyak yang mengeluh kelelahan namun setelah turun biasanya sebagian besar malah jadi kecanduan.

Dan begitulah GMKI hadir di hidup saya sebagaimana saya hadir bagi GMKI. GMKI memberikan banyak hal buat saya dan saya belum mengembalikan yang bahkan sepuluh persen dari itu.

Ut Omnes Unum Sint.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar