Selasa, 17 Desember 2013

Tenggelam


Suasana kesibukan mencari orang tenggelam di Pantai Tj. Pandan, Belitung.
Kematian itu kalkulasi ketidakpastian yang jumlah dan rumusnya belum kita ketahui. Kemarin, aku menyaksikan kematian. Salah! Tepatnya kubiarkan seseorang mati. Dia tenggelam, aku hanya bisa melihat kepalanya yang seperti setitik bola dari bibir pantai timbul dan tenggelam. Timbul lalu tenggelam.

Seseorang kerabatnya berlari sambil berteriak, tapi tak ada yang mendengar, pengunjung pun seolah tak terlalu risau. Barangkali dalam pikiran mereka, kematian itu hanya soal waktu. Kalaupun selamat kali ini, esok siapa yang akan menyelematkannya lagi.

Tujuanku ke pantai itu untuk berburu matahari terbenam. Terbenam, bukankah ia pun hanya pemaknaan lain dari tenggelam? Kemana matahari itu tenggelam? Ke lautan? Barangkali si orang tenggelam tadi dan matahari sudah saling berjanji untuk bertemu di dasar lautan. Siapa yang tahu mengenai si orang tenggelam tadi selain dirinya sendiri? Aku?


Tak lama, seorang lainnya bergegas lari ke arah pantai, dengan tergesa-gesa ia mencari seseorang yang bisa diharapkan untuk sesegera mungkin menarik si orang tenggelam tadi sebelum orang itu benar-benar endap. Konon di balik lembut laut yang tak berombak itu ada pasir isap. "Ia mengisap apa saja," begitu kata pengunjung yang bercerita baru sebulan lalu seseorang juga mati di lokasi tenggelamnya orang yang baru tenggelam itu.

"Ia mengisap apa saja," ulangnya lagi.

"Apa saja?" kataku menegaskan.

"Iya, apa saja!" Katanya dengan agak ketus.

"Apa ia juga bisa mengisap tuhan?"

Matanya terbelalak, wajahnya makin galak. "Kau manusia atau anjing?" orang itu membentak. Aku diam, aku berpikir dimana letak kesalahan pertanyaanku. Kalau pasir itu mengisap apa saja, kenapa ia marah saat kutanya apa pasir itu bisa mengisap tuhan juga.

Perempuan disampingku lalu berseloroh, "Oo, disitu memang ada penunggunya. Setiap tahun selalu minta tumbal," katanya dengan yakin. Rasa penasaranku bertambah. "Siapa penunggunya?" kataku kembali mengajukan pertanyaan.

"Penguasa laut," katanya yakin.

"Penguasa laut?" kataku kembali bertanya.

"Iya, penguasa laut."

"Apa tuhan bisa jadi tumbal penguasa laut?" aku bertanya lagi.

"Hah? lah gilo kau ye?"

"Tuhan ya ndak katek lawan, seluruh alam semesta ini ya tunduk sama die. Laut ini ya punya die, tanah ini, udara, langit ya punya die!" kicau si perempuan.

Aku pergi meninggalkan keduanya.

Kudengar mereka bergunjing tentangku. Mereka bilang aku gila. Matahari sore itu kemerahan, orang-orang sibuk mencari si orang tenggelam. Padahal ia pun tak ingin ditemukan. Ia sudah bersama matahari. Mereka tenggelam.


Tanjung Pandan, Belitung 18 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar