Rabu, 24 September 2014

Terakhir

Seratus dua puluh enam hari setelah semuanya berakhir..

Kadangkala segala sesuatunya datang tak tepat waktu. Seperti keadaan ini, kau dan aku, kita, bertemu dan menjalin rasa yang salah di saat yang salah. Meski bukan kali pertama kutuliskan ungkapan-ungkapan perasaan kepadamu, tapi kali ini, di blog ini, mungkin jadi yang terakhir. Dan mungkin juga akan jadi tulisan penutup di blog ini. Ku dedikasikan untukmu. #DA

Selepas segala kenangan yang terukir, akan tiba saatnya segala sesuatu menepi. Dan ditinggalkan. Baru setelahnya diziarahi jika memori kembali berlesatan. Pun begitu blog ini, barangkali hanya akan kuziarahi pada sekali masa saja. Untuk mengingat betapa kau hadir dan menggurat kisah yang begitu dalam.

Tak jadi soal akan berapa kali ia hadir berlesatan dalam hari-hari yang kulalui, karena seperti aku percaya pada kata-kata bahwa sejarah cinta adalah sejarah luka, begitu jugalah apa yang telah kita lalui, penuh cinta, penuh luka. Kuhargai ia sebagai sebuah pengorbanan dua hati yang merela menahankan luka demi sesuatu yang lebih mulia.

Kelak, mungkin bukan pula di kehidupan yang ini, barangkali kita akan bertemu kembali. Kau sebagai kau dan aku sebagai aku. Kau panggil aku dengan sebutan Jol, pun begitu ku panggil kau dengan sebutan yang sama. Mungkin, ya mungkin saja kita pada saat itu bisa bersama. Tanpa persoalan yang sama yang memisahkan kita; agama.

Aku percaya bahwa kau akan mendapati satu hari yang bahagia nanti pada suatu ketika. Aku, barangkali saja, akan lesap jadi uap yang mengangkasa dan hilang dari kehidupanmu. Dan jika hari itu tiba, doakan saja aku turut berbahagia melihat senyum di bibir tipismu.

"Karena, yang tak pernah tua padaku adalah memori tentangmu"


Depok, 25 September 2014

Senin, 16 Juni 2014

#WorkshopCerpenKOMPAS 2014

Berita di Kompas (13/6/2014)


Sebelum membaca berita pengumumannya pada tanggal yang ditentukan ada semacam keragu-raguan saya akan disertakan sebagai salah satu peserta Workshop Cerpen Kompas 2014. Bagaimana tidak, menulis cerpen selama ini hanya untuk konsumsi pribadi, ceritanya pun seputar kehidupan pribadi. Sudah barang tentu lebih banyak pesimisme ketimbang keyakinannya.

Saya nekat mengirimkan tiga buah cerita pendek (Buku Harian, Sukmailang, dan Perempuan Labirin). Dua dari tiga tulisan itu hanyalah kisah kehidupan pribadi yang saya fiksikan. Hanya satu tulisan yang benar-benar saya gali ide ceritanya dari sebuah nama yang saya sendiri sampai hari ini tidak tahu apakah benar seperti itu.

Tapi pengalaman diloloskan oleh panitia Workshop Cerpen Kompas tahun ini cukup berarti buat saya pribadi. Betapa tidak, setelah mendapat berita tersebut dengan gegas saya telusuri satu per satu nama-nama peserta yang dinyatakan berhak untuk mengikuti kegiatan itu. Dan... 80 persen diantara nama-nama itu sudah malang melintang di dunia cerita pendek. Ada yang bahkan sudah memiliki buku atas namanya, ada juga yang ceritanya dimuat dalam antologi cerita pendek, ada juga yang sudah langganan masuk di kolom cerita pendek beberapa surat kabar di Indonesia.

Hal itu buat saya cukup menarik, membayangkan cerita saya hanyalah cerita kelas facebook akan bertemu dengan cerita-cerita mereka, orang-orang hebat itu. Semoga saja pengalaman ini nantinya menentukan arah pena saya.

Satu hal lagi, selain bertemu dengan para penulis-penulis cerita pendek itu, momen itu juga akan menjadi pengalaman pertama bertatap mata serta menimba cerita dari mata air cerpen Indonesia. Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor. Ah, asyiknya. Di kala hati sedang gundah gulana ada saja cara IA memberi hiburan.

Sampai bertemu Cerpenis #WCK2014

Senin, 09 Juni 2014

Rabu, 04 Juni 2014

Ketika Berdoa Adalah Dosa (Di Indonesia)




Kelucuan-kelucuan di Indonesia, dari hari ke hari kian jadi. Ketika pemerintah masuk ke ruang-ruang pribadi seperti agama, maka akan banyak benturan-benturan yang pasti dan mau tidak mau tak dapat dihindarkan. Seperti hari ini misalnya, dalam sebuah berita berjudul: Kapolri: Rumah Jadi Tempat Ibadah Langgar Pidana (http://m.news.viva.co.id/news/read/509498-kapolri--rumah-jadi-tempat-ibadah-langgar-pidana?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook)

Kapolri yang terhormat itu dalam salah satu statemennya menyatakan bahwa rumah yang dijadikan sebagai tempat rohani rutin maka dikategorikan sebagai tindak pidana umum! Tindak pidana umum sebagaimana saya ketahui sejatinya adalah perbuatan jahat. Hal-hal yang dianggap bertentangan dengan prilaku umum di masyarakat. Lalu darimanakah gagasan ini bermula; gagasan yang menganggap ibadah atau kegiatan rohani atau apapun namanya dianggap sebagai sesuatu perbuatan jahat?

Semua bermula ketika seorang tokoh MUI, mengajukan usulan untuk pembatasan rumah-rumah ibadah. Tokoh MUI itu, mungkin merasa diri sebagai representasi umat islam (walaupun saya tidak pernah merasa demikian), merasa terancam dengan kehadiran rumah-rumah yang beralih fungsi menjadi rumah ibadah. Gayung bersambut, pemerintah menyetujui usulan itu dan mengesahkannya melalui PERATURAN KONYOL BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI.

Adalah pemikiran yang jahat dan picik, ketika kehadiran rumah-rumah ibadah dianggap sebagai ancaman, bukankah sejarah dunia selalu mencatat, sesuatu yang semakin dihambat ia akan semakin merambat. Hal ini berlaku untuk semua hal, termasuk agama. Ketika agama Islam dimusuhi maka oleh sebagian yang lain ia akan mendapat simpati, begitu juga ketika Kristen dimusuhi oleh yang lainnya ia akan dicintai. Lalu kenapa kita tak menerima saja toleransi beragama sebagaimana dulu ada.

Saya tak pernah diajarkan memusuhi siapapun karena agamanya, tapi saya diajarkan untuk melawan terhadap cara berpikir yang salah. Dan saya rasa hampir semua agama tak pernah mengajarkan cara berpikir yang salah, oleh karenanya ketika ada konsep yang salah, yang telah dilakukan pemerintah melalui pembentukan peraturan bersama menteri tentang pendirian rumah ibadah, maka sudah sebaiknya ia dilawan. 

Peraturan itu sejak awal kelahirannya sudah diskriminatif, coba ditelusuri saja bagaimana semua konflik yang terjadi di masyarakat akibat kelahiran peraturan ini merupakan konflik yang sistematis. Hampir sebagian besar pertentangan datang bukan dari masyarakat sekitar tempat yang akan dijadikan tempat ibadah!

Bukankah tiap kali ada fenomena yang melenceng di masyarakat selalu dikaitkan dengan kegagalan agama dan keluarga mengajarkan agama dengan baik? Lantas ketika rumah yang dijadikan tempat ibadah menjadi tindak pidana? Masih benarkah cara berpikir kita? Ketika peraturan konyol itu lebih sering menghadirkan konflik, apalagi alasan kita mempertahankan aturan seperti itu?

Dan, ketika pengajian rutin dilarang, ketika kebaktian rutin dilarang, dan ketika mendapatkan izin mendirikan tempat ibadah susahnya setengah mati, apakah kita harus bersepakat untuk berhenti beragama?

Buat saya pilihannya hanya ada dua; HAPUSKAN PERATURAN KONYOL BERSAMA PARA MENTERI atau KITA BERHENTI BERAGAMA!

Kepada pemerintah yang baik sekaligus lalim di negeri ini, kami hanya mengingatkan; APAPUN AGAMA KAMI (Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik, Konghucu dll) KAMI JUGA ADALAH PEMILIK YANG SAH NEGERI INI! Jangan pisahkan kami dengan peraturan yang sesat! Jangan lahirkan pertikaian antara kami dengan cara-cara berpikir jahat!



Kamis, 22 Mei 2014

Seribu Seratus Dua Puluh Lima Malam





Terimakasih, perempuanku. Tentang semua kenangan itu, aku akan mengingatnya begini; Suatu masa yang indah dulu pernah melintasi hidupku. Seorang perempuan bermata teduh, bersuara renyah, kepadanya aku pernah membagi seribu seratus dua puluh lima malamku. Berbagi petualangan dan perasaan yang tak terlupakan. Dan kepada perbedaan kami takluk. Di bulan pertama pada tahun ke tiga. Cinta menyerah.

Terimakasih.


Pilih(an)



Ketika tiba waktunya bagi kita untuk memilih. Pilihan yang macam manakah yang akan kita ambil? Demi apakah kita memilih? Sebab apa kita putuskan memilih hal itu? Dan kenapa kita mesti memilih? Tidakkah ada jalan damai untuk mempertemukan keduanya?

Tentang pilihan, begitulah kita menjalani hidup. Hari ke hari tugas kita hanya memilih. Pilih bangun pagi atau bangun siang. Kalau bangun pagi apa yang kita dapatkan, kalau bangun siang apa yang kita lewatkan. Sarapan atau tidak. Kalau sarapan apa yang kita abaikan, kalau tidak apa yang kita rasakan.

Berkendaraan umum atau berkendaraan pribadi. Berkendara umum apa yang kita lalui, berkendara pribadi apa yang kita nikmati. Kerja serius atau kerja bercana. Kerja serius apa tak bosan, kerja bercanda kapan selesai.

Kompleksitas pilihan-pilihan itu terus bertambah dan bobotnya berbanding lurus dengan waktu dan semakin dewasanya manusia. Sebut saja soal pilihan politik, pilihan religi, pilihan hati, pilihan ideologi dan pilihan-pilihan lainnya.

Seperti pilihan hati misalnya, kita harus memilih akankah meneruskan tradisi atau tidak. Kalau ikut tradisi kita pilih kekasih yang sesuai pilihan orang tua atau pilihan sendiri. Kalau pilihan sendiri sudah pasti diterima orang tua atau tidak. Ada kemungkinan diterima dan juga tidak, tergantung orangtua pilih menyukai atau tidak.

Itu baru tradisi, belum lagi soal ideologi, apakah kita pilih kekasih dengan latar pro marxis, liberalis atau komunis. Atau kita pilih yang tak berideologi yang penting manis. Belum lagi soal religi. Pilih Kristen tapi tak cinta atau pilih muslim yang dicinta tapi tak bisa, atau pilih hindu yang juga tak bisa, nanti soal cinta bisa ditata.

Semuanya dimungkinkan karena pilihan selalu datang berdua. Ia tak pernah sendiri dan kita tak bisa membantah. Dan apa sebab pilihan selalu ada dua, malah terkadang lebih. Kenapa, misalnya, kita tidak disodori dengan satu saja pilihan. Tapi kalau hanya satu bukankah ia tak lagi menjadi pilihan. Atau kenapa setiap pilihan tak bisa kita damaikan agar jawabnya tak selalu menyisihkan hal yang lainnya.

Contoh sederhananya Pemilu (Pemilihan Umum) misalnya, kenapa rakyat tak diberi kesempatan untuk memilih kedua calon yang menjadi pilihan untuk dilebur dan bekerjasama. Toh semuanya mengaku mencalonkan diri demi kepentingan rakyat banyak. Bukankah pengabdian tertinggi dan termulia adalah pengabdian kepada rakyat dan semesta. Kenapa mereka harus diadu padahal dua-duanya bisa saja punya kompetensi yang saling melengkapi.

Kenapa lantas rakyat hanya diberi ketentuan untuk memilih salah satunya.  Kenapa rakyat tak diberi hak memilih untuk tidak memilih dari pilihan yang ada dan membuat pilihan alternatif. Pilihan baru dari kemungkinan pilihan yang ada.

Rumit.

Begitulah, saya sendiri tak mengerti kenapa memilih untuk menuliskan tentang pilihan-pilihan ini. Apa yang telah saya lewati dan apa yang saya dapatkan?

Entahlah. Selamat memilih.



22/05/14

Selasa, 13 Mei 2014

Tak lagi ia, tak.

sumber gambar: emailboom.blogspot.com


Sesuatu yang dulu berhasil menghadirkan senyummu
kini tak lagi ia, tak.
Sesuatu yang dulu membuatmu rindu padaku
kini tak lagi ia, tak.
Sesuatu yang dulu padaku adalah gairah padamu
kini tak lagi ia, tak.

Segala sesuatu memiliki masa. Tak ada yang kekal, ia tak.


13/05/14

Kamis, 01 Mei 2014

Pohon

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.Kecuali yang ditanam di tepian sungai."

:untuk bapak.

Aku adalah buah
dari pohon yang ditanam
di tepian semenanjung
yang menghadap ke lautan luas.

Pohonku menentang angin yang datang
menerjang badai yang menyapu dari samudera

tak lepas akarnya
tak rekah tanahnya

batangnya selentur bambu
akarnya menjulur jauh
ke dalam bumi

aku adalah buah
yang jatuh ke lautan luas
terbawa angin ke tepian pantai
dibawa seorang anak laki-laki
ke sebuah bukit
ditanam di puncaknya

aku adalah buah
yang melanglang buana
mendapati senjakala
ketika hujan berganti
bianglala
dan malam menjadi paripurna

aku adalah buah 
dari pohon yang menantang angin
yang menolak rebah karenanya

---

Rabu, 30 April 2014

Tentang Sebuah Esensi

"Tapi, mungkin ini yang dibilang bahwa sesuatu itu ada masanya,
perubahan-perubahan yang ada memang harus ada"
Pentagon, 19 Mei 2006



Apakah kita berubah?
Apakah keadaan yang berubah?
Apakah esensi memiliki?
Apakah esensi kehilangan?
Apakah penilaian-penilaian kita berubah?
Apakah kita dilahirkan untuk memberi kenangan?

Dan apakah pada masanya kita akan saling berubah?
Ataukah kita sudah berubah?
Apakah esensi memilikiku, kalau aku telah kehilangan nilai-nilai

ataukah kita hanya bertemu untuk saling memberi kenangan.


Selasa, 29 April 2014

Rabu, 23 April 2014

Untuk Perempuanku



Lalu perasaan itu mekar seperti yang sama-sama kita inginkan. Perjalanan kali itu setidaknya menyadarkan kita bahwa ada perasaan yang kita coba tutup-tutupi selama ini. Perasaan yang memang tak muncul saat pertemuan pertama kita. Di hari itu, katamu, bahkan kau menertawai tingkahku ketika ibuku memarahi. Ya, ibuku memang kerap marah dengan sikapku yang 'selengean'.

Dan pada pertemuan pertama itu memang aku tak menaruh hati kepadamu. Kau, gadis bertubuh mungil yang sama-sama meninggalkan ibukota sepertiku, tak pernah benar-benar mencuri perhatianku. Ada banyak faktor mungkin, pengaruh bahwa kita 'berbeda', suatu kenyataan yang tak akan bisa kita ingkari hingga kadangkala alam bawah sadar kita memaksa untuk membunuh perasaan yang baru hendak belajar tumbuh. Dan denganmu, barangkali seperti itulah alam bawah sadarku menuntun jalan berpikirku.

Tapi barangkali, kita adalah dua garis yang memang 'dikehendaki' untuk saling bersinggungan, garis yang saling melintasi satu sama lain. Dan setiap garis yang saling melintasi pastilah akan bertemu di satu titik. Kurasa seperti itulah cara menggambarkan pertemuan-pertemuan kita.

Jika pertemuan pertama bukanlah pertemuan 'by design' kita, maka kali kedua setelah kita menyelesaikan tugas-tugas kita sebagai mahasiswa barangkali juga bukan by design kita. Kau yang tak pernah melintas dalam benak dan pikirku, tiba-tiba saja melintasi sebuah garis yang kulalui di alam tak nyata. Di dunia maya.

Sebagai sebuah kata-kata kau hadir di depanku. Kata-kata yang lambat laun membentuk pola dan tanda. Tanda yang kubaca itu barangkali telah sama-sama menautkan kita, menggiring ke arah yang awalnya sama-sama kita ragukan. Tapi seperti yang terjadi padamu, apa yang terjadi padaku pun tak bisa terus kuabaikan. Kata-kata dan kalimat yang menyusun tanda-tanda itu terus saling mengait. 

Keraguan-keraguan yang semula hadir lamat-lamat menghilang seperti suara riuh di kejauhan yang kita tinggalkan. Hingga akhirnya kita tiba di percabangan jalan, lalu dengan berani kita putuskan untuk melintasi jalan yang sepi. Di jalan itu riwayat luka dilukiskan di sepanjang  jalurnya.

Kebahagiaan-kebahagiaan di jalan yang sepi itu barangkali hanya bisa kita nikmati berdua saja. kadangkala aku berharap lonjakan-lonjakan  keceriaan dan luapan-luapan haru itu menjadi sesuatu yang banal dan kita tersedak karenanya. Di jalan yang sepi itu, jika kita tersedak tak akan ada yang menolong kita. Konsekuensi dari sebuah pillihan. Dan bukankah begitu lebih baik dibanding kita harus saling melepas? 

Dan bukankah kita sudah terbiasa bersama. Menikmati luka. Hingga kita lupa caranya saling melepas.

Setelah tahun ketiga, semoga kita masih tetap ingin bersama. 



-untuk perempuanku-
             D.A

Senin, 07 April 2014

Ayat-ayat Pemilu



Kau tuan pemilik jari
di jarimu hidup masa seribu
limaratus hari. lima tahun lamanya
mereka akan mengabdi.
Di celup jarimu pada tinta yang berharga
seribu juta, semoga saja pilihanmu
tak berdusta.

Kau Tuan pemilik poster dan iklan-iklan di televisi
kami bukanlah kerbau dan tuan bukan dewa
Tuan kami persilakan menduduki kursi di istana
Lalu nanti berikanlah bukti segala janji.
Jangan sekalikali ingkar janji, kami doakan
tuan tetap punya hati.



08/04/14

Minggu, 30 Maret 2014

#Fadli


Dia laki-laki saksi pergolakan sebuah negeri

Dia pasti tak lupa bahwa dia juga saksi
sahabat-sahabatnya yang disandera dan kini
entah dimana.

Fadli, laki-laki ini kini bersanding dengan tuan penyandera.
Dia tuliskan sebuah puisi tentang laki-laki bernama Jokowi,
hanya karena ia takut sang tuan berkompetisi dengan Jokowi.

Meski ia tak tulis dengan rinci
tapi kami tahu itu puisi tentang Jokowi
seorang lakilaki yang didamba jadi oase
di tengah negeri ironi.

Ia tulis dalam puisinya, Jokowi bersandiwara pada Tuhan
tentang sumpahnya akan bekerja untuk Ibukota.
Tapi Fadli lupa, bekerja untuk Indonesia juga berarti kerja
untuk Jakarta.

O Fadli, puisimu penuh benci.



31 Maret 2014

Kamis, 27 Februari 2014

Sebuah Cerita tentang Rindu (lagi)


Sayangnya kota tempat dimana rindu itu mesti dipertemukan telah jauh ia tinggalkan. Sebuah kota yang dingin dan senyap kini. Disana, di kota itu, terlalu banyak kenangan. Pertemuan-pertemuan yang semestinya terjadi itu, hanya akan menambah kenangan baru. Sedang hatinya masih penuh dengan potongan-potongan puzzle, sebuah luka yang pecah dan tak bersusun.

Ia, laki-laki itu, barangkali memang sangat ingin menemuinya. Sekedar bertukar senyum, atau juga bertukar kecup, atau barangkali berbagi buncah gairah malam bersama-sama. Ia sangat ingin hal itu. Tapi dimana ia akan letakkan semua kenangan baru itu nantinya?

Di hari sebelum ia benar-benar pergi, hati dan kepalanya saling berkelahi. Lalu, pelan-pelan ia letakkan ponsel di tangannya, sebuah pesan mengajak bertemu batal ia kirimkan. Pesan itu tak dihapusnya, ia masih tersimpan sebagai draft dalam ponsel tua itu.

Pesan yang barangkali suatu saat akan ia kirimkan kembali. Karena ia masih bisa menahan rindunya. Rindu yang padamu ia tertuju.


270214

Selasa, 18 Februari 2014

Menghalau Gila di Simpang Unila



;-jangan gila

Ada yang gelisah membuka celana
dia pikir urat malunya masih disana
bersemayam tanpa tabur bunga
berduka tanpa air mata

Ternyata yang tinggal hanya kemaluan
penis yang mengeja kelamin
mengeluh karena sering digunakan
jadi kata-kata untuk mencerca

Awalnya hanya penis saja
lamalama vagina ikut juga
akhirnya yang tertinggal dicelana hanya sepi
berselimut bulu

Alkisah, ini negeri pertapa gila
yang tak bekerja jadi pujangga
purapura membaca sastra
membolak-balik kamus mencari arti
kosakata yang punah di balik serapah

Akhir cerita, Presiden, menteri dan rakyat jadi gila
menganggap semua hanya fatamorgana
termasuk rumah ibadah yang sepi pengunjung,
bukan negeri gila kalau habis ide di kepala
ada pendeta pakai rok mini umbar aurat
agar khotbah jadi seksi

Aih, gila!


soemantribrodjonegoro
28.01.10

100 Hari SBY

*repost dari catatan facebook 28-01-10

Kamis, 13 Februari 2014

Untuk Tuan Sapardi



Tuan Sapardi,
tahukah kau
bahwa aku
tak pernah 
benar-benar berdarah 
tiap kali ia teriris.
Tapi aku, biar kau tahu,
selalu terbakar
tiap kali cintanya
hendak padam!


140214

Rabu, 05 Februari 2014

Perempuan Labirin

Dia telah sedemikian tersesat dalam lingkaran imajinasinya. Batas-batasnya sudah tak mampu lagi untuk dikenali. Ia kerap kali bercerita tentang ini dan itu, itu dan ini. Ia mampu mereka-reka sebuah cerita dari mini, pendek, panjang hingga menjadi novel jika ia dituliskan. Tapi sayangnya ia telah begitu tersesat dalam cerita yang bahkan semuanya tak pernah terjadi dalam kenyataan.

Entah sudah berapa kali kami bertengkar, semula aku pikir semua yang ia ceritakan itu telah dan benar-benar terjadi. Nyata. Namun, pada akhirnya aku tersadar. Setiap kali ia ulangi cerita yang telah ia ceritakan itu kepada orang yang lain lagi, selalu ada penambahan bagian-bagian yang sebelumnya tak ia ceritakan kepadaku.

Secara keseluruhan memang cerita itu utuh, tak berkurang memang, tapi ia bertambah. Jika hari ini ia cerita kepadaku A, B, D, E, F maka kepada yang lain lagi ia akan membentuk komposisinya menjadi A, B, C, D, E, F lalu jika ia ceritakan lagi kepada seorang yang lain, komposisinya akan bertambah lagi menjadi A, B, C, D, E, F, G, dan entah kenapa penggalan-penggalan yang ia ceritakan itu terlalu 'hollywood' untuk sebuah cerita yang nyata terjadi. Atau terlalu 'FTV'. Happy Ending. Walaupun ada juga yang versi K-Movie sesekali, Sad Ending.

Cerita-cerita yang meluncur dari mulutnya telah menjadi sesuatu yang palsu dan nyata disaat yang bersamaan. Palsu karena hampir bisa dipastikan kejadian-kejadian itu tak pernah ada tapi ia mampu meyakinkan sesiapa saja bahwa itu nyata. Ada yang percaya tapi aku tidak.

Sudah 10 tahun lebih kami bersama, sejak pertama kali mengenalnya di bangku kuliah hingga kini kerja sekantor dengannya. Bahkan kami telah tinggal di kamar kos yang sama juga sebelum semua itu menjadi teramat palsu. Entah kenapa baru belakangan ini semuanya terasa menjadi terang benderang.

Mungkinkah kota besar ini atau mungkin luka-luka dimasa lalunya yang membuat ia seperti itu. Selain cerita-ceritanya, ia pun kini telah menjadi begitu palsu. Menjadi seseorang atau mungkin sesuatu yang tak lagi dikenali. Atau mungkin ia yang memang tak ingin dikenali. Ia telah seutuhnya baru.

Ia semula adalah perempuan biasa, mahasiswa dengan segudang kegiatan. Aktifis. Memasuki dunia itu ia seperti telah menemukan bentuk, semula kupikir begitu. Cara bicaranya berubah, pilihan-pilihan katanya teramat baik untuk seukuran mahasiswa lainnya.

Kupikir hanya itu saja metamorfosa yang terjadi padanya. Sampai akhirnya masa-masa mahasiswa terlewati, dan ia telah pergi lebih dulu mendatangi Ibukota. Aku, yang memang berasal dari sana, belum begitu tertarik untuk segera menyelesaikan masa-masa tinggal di perantauan.

Setahun tak bertemu, kudapat kabar ia telah berhasil menaklukkan ibukota.

Kemudian setahun lagi berlalu dan pertemuan berikutnya ia mengajakku untuk turut serta kerja di kantor yang sama dengannya.

Setelah setahun bekerja bersama dengannya, kudapati ia bukan kepompong yang jadi kupu-kupu. Ia kepompong yang jadi kupu-kupu berwatak lebah. Atau apa sajalah yang pasti ia bukan kupu-kupu. Dalam waktu tiga tahun ia telah berubah. Mungkin ia merubah.

Niat untuk meluruskan keadaan pun ia pahami berlebihan. Ia seperti gunung yang marah. Kata-katanya seperti magma keluar dari moncong dan meleleh di tepian bibirnya. Apinya membakar apa saja. Bibirnya terbakar. Kamar kami terbakar. Aku mengungsi.

Sejak bibirnya terbakar, ia tak lagi menyapaku dan aku tak juga ingin menyapanya. Kini ia telah sesepi malam di lembah-lembah. Ia telah jadi labirin. Menyesatkan.


05-02-2014