Senin, 29 April 2013

Travelogue

"Menurut kalian siapakah manusia yang paling beruntung? Atau diganti saja pertanyaannya, manusia yang beruntung itu seperti apa atau yang bagaimana?"

Jika pertanyaan itu dialamatkan kepada saya, sudah barang tentu akan saya jawab seperti ini; Manusia yang beruntung itu adalah yang semasa hidupnya pernah menjejakkan kakinya di lima benua, mendaki tujuh puncak gunung tertinggi di dunia, merasakan gigil di antartika, mati di tanah kelahirannya dan dimakamkan disamping orang yang dikasihinya. Sempurna bukan?

Tapi sudah barang tentu hidup tak semudah dan tak sesederhana kata-kata yang saya tuliskan tadi. Ada bahkan orang-orang yang lahir, besar, dan mati di satu tempat tanpa pernah merasakan atau melihat dunia luar. Satu-satunya yang dia ketahui soal dunia luar hanyalah melalui layar televisi.

Orangtua saya pernah bercerita bahwa pada usia 10 bulan saya sudah bisa berjalan, lebih cepat dibanding anak-anak sebaya yang lain. Barangkali ini jugalah yang membuat saya betapa mengagumi perjalanan, tepatnya petualangan.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa luasnya dunia ini hanyalah sejauh langkah kaki kita. Dan saya sependapat. Konyol rasanya kalau mati di Indonesia tanpa tahu dimana dan bagaimana itu Kalimantan, Sulawesi, Flores, Papua dan pulau-pulau besar kecil lainnya.

Dan buat saya, kalaupun tak bisa menjejakkan kaki di lima benua, paling tidak di lima pulau besar nusantara. Kalaupun tak bisa mendaki tujuh puncak gunung tertinggi di dunia, paling tidak tujuh puncak gunung tertinggi di Indonesia. Kalaupun tak bisa merasakan gigil di antartika, paling tidak menikmati hangat matahari di kota Khatulistiwa.

Karena disini semua ada. Karena ini Indonesia, Bung!

Gunung Betung di Lampung


Bersama Danny di Gn. Betung
Gunung Rajabasa di Lampung Selatan
Pemandangan di jalur pendakian Gunung Pesagi

Pemandangan dari shelter di Gunung Pesagi
Berlatarbelakang puncak Gunung Semeru
Siluet di Ranu Kumbolo, Semeru
Seperjuangan 
Salam hangat buat penikmat petualangan dimanapun berada.

Minggu, 28 April 2013

Mati

DUA hari ini kabar duka cita datang dari rekan-rekan semasa kuliah. Keduanya dari adik tingkat di Fakultas Hukum. Maruli Tua Rajagukguk, aktivis LBH Jakarta ini ditinggalkan sang Ayah untuk selamanya. Hari ini, Jepri Manalu tiba-tiba saja mengirimkan pesan via BBM meminta dukungan doa karena Ibundanya dalam keadaan kritis. Dan hanya selang beberapa jam, seorang teman di BBM telah mengganti Personal Message dengan kabar duka cita dari Ibunda Jepri yang mesti memenuhi panggilan penciptanya.

Ah, kematian, siapakah yang bisa menebak kapan ia datang. Benarlah bahwa ia, kematian itu, datang bagai pencuri di malam hari.

Apakah yang direnggut kematian sebenarnya selain jiwa yang lepas dari raga? Apa yang membuat kita begitu sedih pada apa yang tak pernah sepenuhnya kita miliki. Pada apa yang sepenuhnya tak pernah jadi milik kita. Mungkin saja, sekali lagi ini hanya kemungkinan semata, pada pertemuan raga hadirlah rasa yang saling menautkan jiwa yang satu dan yang lain.

Rasa inilah kemudian yang menjadi jangkar, menambatkan jiwa di dalam dua raga atau lebih yang seolah-olah keduanya saling berkait. Berjalin pilin. Dan pada saat salah satu jiwa lepas dari raga, rasa yang seolah-olah bertaut inilah yang kemudian merasa kehilangan. Karena pada dasarnya kita tak pernah diberi hak atas jiwa itu. Ia adalah sesuatu yang dipinjamkan.

Dan segala tangis yang datang dari duka bermuasal dari segala kenang yang tercipta. Kepedihannya bermula dari situ. Ketika hilangnya kesempatan untuk mencipta bentuk-bentuk kenangan yang baru. Ah, betapa hidup hanyalah kesempatan menuju kematian.

2013


Kamu yang Didalam Diriku





Binatang yang didalam diriku adalah Singa.
bukan kerbau, babi, apalagi anjing.

Singa yang didalam diriku adalah penyendiri.
tapi tak jeri ditikam sepi. Apalagi mati.

Penyendiri yang didalam diriku adalah puisi.
syair dan larik yang lahir di malam tengik.

Puisi yang didalam diriku adalah kamu.
genang airmata dari cinta yang ditentang.

Kamu yang didalam diriku adalah aku.
iga yang dibawa lari seekor singa.

2013

Senin, 08 April 2013

Di Taman Ismail Marzuki

Taman Ismail Marzuki

Di tempat itu aku akan selalu mengenangnya seperti ini; adalah dirimu dengan sebuah senyum anak anjing yang menggemaskan. Berdiri di siang yang teduh di Taman Ismail Marzuki. Di pengujung tahun yang padanya kita tak sama-sama menyaksikan kembang api di Jakarta, di dekat Tugu Tani. Karena saat itu kita adalah teman lama yang saling menyapa.

Entah angin musim mana yang membawa kita melaju di arah mata angin yang sama. Tapi kita tahu itu bukan angin yang biasa-biasa saja. Ia semakin kencang dari waktu ke waktu, memaksa kita yang bersisi-sisian bersidekap. Agar senantiasa hangat terpelihara.

Setiap perjalanan mestilah memiliki tujuannya. Dan perjalananku adalah menujumu, yang berdiri dan menanti di pulau ini. Karena perjumpaan itu telah berkawin dengan sesuatu yang belum kita namai. Namun ia melahirkan sesuatu yang kuberi nama; rindu. Kepadamulah ia selalu tertuju.

Inilah perasaan yang lahir dan dibesarkan dalam sebuah masa. Jarak menambahkan bobotnya sementara waktu mengujinya. Dan pada rentang masa yang sama-sama tak mungkin lagi kita pura-pura abai akannya, kita menyepakati menamainya; Cinta.

---

Adalah api pada malam yang dingin, begitulah engkau buatku. Dekap pelukmu adalah sumbu api yang abadi. Adalah kabut selepas hujan. Adalah embun yang mencumbu daun, begitulah kau menuntaskan dahaga.  Kecup manismu adalah rinai hujan dan kita bersua di bianglala.

Nanti di suatu masa, katamu, kita harus lahir kembali sebagai rama-rama. Di sebuah hutan yang sepinya menyemarak, di dekat anak sungai, di sebuah ranting yang terhindar dari angin, kau akan menungguku sebagai kepompong. Cinta, katamu, tuhan yang ciptakan, tapi disini agama memisahkan.

Gulung gemulung tawa dan airmata disapukan pada bibir pantai kita. Ada yang selepas gerimis, ada juga yang sebelum senja. Membawa pasir dan buih-buih kebahagiaan dari pantai ini. Tapi tak perlu engkau risau, apa yang dibawanya pergi akan dikembalikannya lagi. Begitulah aku memercayainya. Dan sesederhana itulah aku memercayai apapun yang kelak membawamu pergi akan mengembalikannya lagi padaku.

Gadisku, yang pipinya berkilau dipulas cahaya matahari, adalah kepingan waktu yang padanya pernah kutitipkan rindu seribu subuh. Dan masih akan kutunggu sekuat tubuh memanggul windu dari subuh ke subuh. Hingga sublim segala peluh.

Randu yang berdiri di pematang itu penanda bagi siapa saja yang datang. Rindu yang kerap kali datang ini adalah tanda betapa kau begitu kusayang.

Adalah sajak ini yang sengaja kusiarkan. Tentang seseorang yang kelak padanya kami akan saling meninggalkan. Tentang perjumpaan yang sebetulnya juga adalah sebuah perpisahan. Tentang cinta yang saling menggenggam tapi mesti melepas. Karena kami hanyalah satu dari sebagian.

Engkau pasti tahu cinta itu hanyalah batu yang dilemparkan anak-anak ke arah sungai, ia bisa saja tenggelam dan berhenti pada dasar sungai yang menjadi jodohnya atau ia akan terbawa arus ke hilir dan bersemayam di muara. Bisa juga ia dikembalikan ke tepian. Seperti itulah kugambarkan tuhan melemparkan cinta. Serampangan.Yang beruntung sudah barang tentu yang dilemparkan dan tenggelam, karena ia tak mesti terseret arus dan terantuk bebatuan lain.

Nikmatilah kekasih waktu yang tak lebih panjang dari malam ke pagi ini.

Inilah sajak untukmu. Kurangkai dari keindahan namamu.


Maret, 2013

Rabu, 03 April 2013

GMKI Bandar Lampung

Jl. Kijang No. 92, Kedaton, Bandar Lampung





Pada satu bagian perjalanan hidup, saya pernah menjalani masa-masa kuliah. Di sebuah universitas negeri, di ujung bawah pulau Sumatera, Universitas Lampung dikenal dengan nama Unila. Unila ya bukan Unilam! Unilam for Universitas Lambung Mangkurat.

Untuk beberapa hal memang saya punya energi lebih, seperti halnya masa-masa di SMA yang selalu saya habiskan untuk olahraga, entah itu olahraga apa saja, hingga tak jarang saya pulang ke rumah larut malam.

Energi itu semasa kuliah saya carikan penyalurannya, karena biasanya jam-jam kuliah tak tentu maka olahraga yang biasa saya lakukan; basket dan sepakbola, lambat laun mulai tak memiliki kesempatan. Selain nongkrong di kampus dan kantin bersama geng tentunya.

Baik, bersahaja, batak.
Di kampus pada masa itu, tongkrongan saya memang termasuk eksklusif, saya lebih sering berkumpul dengan geng se-suku. Entah kenapa, tapi se-perasaan saya, begitulah cara di kampus itu membangun koloninya. Walaupun saya tidak membatasi pergaulan dengan kelompok dan agama apapun, tapi pola yang terbangun saat itu adalah, bahwa ada ranah-ranah yang dimiliki oleh kelompok dan komunitas tertentu.

Dan sebagai manusia yang zoon politicon, sudah barang tentu secara naluriah kita akan mencari upaya agar tidak berjalan sendirian. Saya memahami bahwa tanpa sadar kita membangun kotak-kotak dari cairnya kondisi saat itu.

Sehingga pola pertemanan yang terbangun pun demikian. Saya mencatat bahwa pola pertemanan yang dilakukan semasa SMA dulu dengan semasa kuliah jauh berbeda. Di SMA kita bisa menembus batas pertemanan tanpa pretensi dan tendensi apapun. Berteman ya berteman, titik. Sementara di kampus, ada kalahnya kita berteman karena ini, ada saatnya kita berteman karena itu. Atau mungkin hanya saya saja yang berpendapat seperti ini.

Selanjutnya, selain nongkrong di komunitas tadi, saya merasa bahwa saya masih memiliki energi yang lebih yang belum disalurkan. Dalam pada itu, setelah mengamat-amati beberapa saat, saya pikir ada tempat menyalurkan yang menarik minat saya.

Saat itu di pengujung semester empat, kalau saya tidak salah, saya mendaftar ke sebuah organisasi. GMKI namanya, singkatan dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Organisasi kepemudaan dengan basis keagamaan.  Organisasi yang cukup tua dan besar, lekat dengan sejarah kemerdekaan Indonesia. Pengurus pusatnya berkantor di Salemba Raya, Jakarta. Di Lampung, sekretariat cabangnya saat itu ada di Jalan Kijang No. 92, Kedaton. Dekat dengan gereja katolik St. Yohanes.

Saat itu saya tertarik bergabung karena memang sudah ada beberapa rekan-rekan di fakultas yang sudah lebih dulu masuk. Setelah mereka bergabung di awal-awal masa kuliah, saya justru baru masuk setahun kemudian. Saya di Maper (Masa Perkenalan), begitu mereka menamai proses perekrutan anggota baru saat itu, pada tahun 2005.

BPC 2004-2006
Ketua cabang GMKI Bandar Lampung saat itu adalah Richardo Sitompul, seorang mahasiswa FT Unila, sekretarisnya Riris Simamora dari FP Unila. Sejak itu, saya mulai banyak mengikuti berbagai macam kegiatan yang mereka lakukan.

Saat itu, bersama dengan Alfra, seorang teman se-Maper, saya sering mengunjungi sekretariat GMKI. Biasanya sehabis kuliah. Baik itu sedang ada kegiatan atau hanya untuk sebatas nongkrong (lagi) dan berdiskusi.

Seringnya berkumpul dan berdiskusi membuat saya semakin tertarik dengan GMKI. Termasuk juga bobot diskusi yang biasanya dilakukan, baik itu interen GMKI ataupun dengan organisasi lain, membuat saya kagum dengan aktivis-aktivis organisasi pada saat itu.

Hal itu, menjadi semacam titik balik buat saya. Dulu untuk membaca sebuah buku rasanya tangan dan mata berat sekali rasanya. Terlebih itu buku-buku pelajaran. Namun momen diskusi itu menyadarkan dan ada semacam kesadaran pribadi yang timbul karenanya. "Kalau mereka bisa beradu argumentasi sedemikian asyiknya, kenapa saya tidak," kira-kira begitu pikiran yang timbul dalam benak saya. Sejak itu, membeli dan membaca buku jadi semacam keasyikan tersendiri.

Catatan Harian Soe Hok Gie
Sekali waktu, saya berkesempatan membaca buku Catatan Seorang Demonstran, saya merasa ditampar-tampar oleh sosok si penulis catatan harian itu. Soe Hok Gie. Betapa tidak, sejak di bangku sekolah dasar Gie sudah memiliki minat yang teramat dalam untuk membaca buku. Bacaannya beragam, mulai dari karya sastra, tokoh dalam dan luar negeri, pemikir-pemikir, dan banyak lagi lainnya. Gie, jadi sosok yang hadir dan memandu saya untuk mulai belajar menulis.

Sebagai seorang aktivis organisasi saya pikir tidak akan hebat tanpa kemampuan menulis, baik itu ide dan gagasan ataupun sebatas agenda rutin harian. Ada satu kutipan yang saya lupa sumbernya menuliskan begini; Tulis apa yang akan kamu kerjakan. Kerjakan apa yang kamu tulis. Dan, tulis apa yang telah kamu kerjakan. Sebetulnya hanya itu poin penting berorganisasi. Fungsi manajemen sederhana; merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi.

Namun, ada hal yang saya juga catat bahwa saat itu, kepengurusan yang diketuai Richardo (saya biasa memanggilnya dengan bang kardo), ternyata berjalan penuh dinamika. Begitu banyak pertentangan dan konflik internal di kepengurusan (BPC) sehingga fungsi dan kerja-kerja organisasi tidak berjalan maksimal.

Saya berpandangan bahwa mungkin karena pada masa itu anggota GMKI yang 99,9 persen di dominasi dari mahasiswa Unila mengakibatkan permasalahan sendiri. Seperti halnya besi yang berdekatan pasti menghadirkan gesekan dalam geraknya. Selain kondisi pengurus yang terlalu penuh dinamika, kondisi sekretariat saat itu juga memprihatinkan.

Konfercab XI; Jan Hot dan saya
Dan, pada satu titik, saya kemudian berinisiatif bahwa potensi organisasi yang demikian hebat ini akan sangat sia-sia jika terus dibiarkan seperti ini. Saya memutuskan untuk ikut mengajukan diri sebagai ketua pada Konferensi Cabang ke XI. Di Konfercab saya kalah oleh Jan Hot Girsang dengan selisih 4 suara.

Saya kembali mencalonkan diri sebagai sekretaris, hal yang menurut peserta konfercab jarang terjadi. Karena pada dasarnya saya bukan bersaing untuk merebut kekuasaan ketua semata, maka buat saya itu biasa saja. Ada misi yang lebih dari sekadar ketua cabang.

Berdasarkan hasil Konfercab itu, tim formateur berhasil menyusun kepengurusan dengan nama-nama berikut; Jan Hot Girsang (Ketua) PAW dan diganti Raslen Sidauruk, Rico M P (Sekretaris), Raslen Sidauruk digantikan Doran F Sinaga (Ketua Bidang I), Alfra T Girsang (Ketua Bidang II), Subatrio Saragih (Ketua Bidang III), Hema M Manurung (Bendahara).

2006-2008 
Lucy Sihaloho (Wasek) PAW dan digantikan Laura Ginting, Doran Sinaga digantikan Mashot J Purba (Departemen Litbang), Danny W Purba (Departemen Usaha Dana), Rosa V Sirait (Dept. Komkesra), Andhy Rustam Sitinjak (Dept. Pendidikan Kader), Malinton Purba (Dept. Kerohanian), Maruli Rajagukguk PAW digantikan Erika Purba (Dept. Kemasyarakatan), Mitha Sinaga (Dept. Keesaan Gereja), dan Koni W Simatupang PAW digantikan Laikmen Sipayung (Dept. Perguruan Tinggi).

Dalam dua tahun kepengurusan banyak dinamika juga yang terjadi, namun kepengurusan saat itu stabil. Beberapa pergantian antar waktu yang cukup krusial terjadi. Seperti posisi ketua cabang yang saat itu diduduki oleh Jan Hot mesti ditinggalkan karena yang bersangkutan memilih untuk pergi ke Kalimantan setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan.

Sejarah organisasi GMKI Bandar Lampung mencatan bahwa hal ini baru kali pertama terjadi. Setelah berkonsultasi dengan Pengurus Pusat maka posisi itu akhirnya diisi oleh Ketua Bidang I (Organisasi ). Dan pergeseran pun dilakukan untuk menutupi lubang yang kosong.

Selain itu beberapa PAW di posisi Wasek dan Departemen terjadi karena alasan sakit dan perbedaan pandangan dalam konteks organisasi yang tidak mungkin lagi dipertemukan. Namun secara keseluruhan proses yang terjadi berjalan dengan baik tanpa menciderai satu pun perasaan masing-masing individu. Pertemanan tetap terbina  dengan baik.

Pada beberapa kesempatan kami juga menghadiri undangan-undangan kegiatan yang dilakukan GMKI cabang-cabang di wilayah II (Bengkulu, Jambi, Palembang). Dalam kepengurusan saat itu, proses delegasi dilakukan seadil dan setransparan mungkin. Karena saya mencatat bahwa minat yang besar dari anggota untuk ikut andil dalam kegiatan lintas cabang ini cukup tinggi dan tidak jarang menghadirkan kecemburuan.

Upaya-upaya perbaikan dan penataan organisasi walau kecil terus diupayakan. Satu prestasi yang dicatat oleh BPC periode 2006-2008 kami saat itu adalah hadirnya komisariat sebagai perpanjangan tangan organisasi. Meski pemahaman mengenai komisariat saat itu masih terbatas, namun dengan bantuan seorang senior GMKI Pekanbaru yang bekerja di Lampung, Nico, kami berhasil meretas lahirnya dua komisariat baru. Komisariat Heksospol dan komisariat Kompeten.

Ki-ka: Rio, Alfra, Andhy, Laikmen
Selain diskusi dan penataan organisasi, kami tentu juga menyoroti berbagai macam hal yang terjadi di pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Sesekali kami juga demonstrasi kalau kami rasa sudah waktunya harus turun ke jalan. Mengutip kata-kata Gie; sesekali kita hantam pemerintah! *Piss*

Pesagi: Mendaki sampai mati... hahaha..
Kejenuhan berorganisasi sudah barang tentu hadir dalam masa dua tahun kepengurusan. Namun kami punya strategi menyiasatinya; mendaki gunung! Mendaki gunung, saat itu bagi kami jadi semacam agenda tak terpisahkan. Dan lama kelamaan minat anggota yang ikut mendaki makin bertambah jumlahnya. Walaupun pertamanya banyak yang mengeluh kelelahan namun setelah turun biasanya sebagian besar malah jadi kecanduan.

Dan begitulah GMKI hadir di hidup saya sebagaimana saya hadir bagi GMKI. GMKI memberikan banyak hal buat saya dan saya belum mengembalikan yang bahkan sepuluh persen dari itu.

Ut Omnes Unum Sint.

SMU N 109 Jakarta: Gue Anak Gardoe


SATU DASAWARSA SUDAH. Sepuluh tahun yang lalu, pada tahun 2003 tepatnya, saya bersama ratusan teman-teman seangkatan lulus dari sebuah SMU sekarang berganti lagi menjadi SMA. Sekolah kami terletak di pinggiran kota Jakarta yang berbatasan dengan Depok.

Gardoe atau CIX, yang mulai di populerkan diawal tahun 2000-an, begitulah kami menyebut sekolah kebanggaan kami itu. Gardoe, karena sekolah kami beralamat di Jalan Gardu, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Atau CIX, angka romawi dari 109. Ya, sekolah kami SMU N 109 Jakarta!

Entah kenapa, kenangan sepuluh tahun silam itu tadi pagi tiba-tiba hadir, memang setelah menyelesaikan studi di Gardoe, bisa dibilang saya cukup jarang menginjakkan kaki di sekolah yang berhadapan dengan Sungai Ciliwung itu. Beberapa kali reuni atau kegiatan buka puasa bersama saya tak pernah bisa hadir.

Selamat Datang!
Tadi, sengaja saya browsing menggunakan kata kunci SMA 109, dan yang muncul pada urutan pertama adalah laman wikipedia, dan di urutan ke lima atau ke enam ada video Youtube yang saya tampilkan di atas. Sebuah rekaman Flashmob Gangnam Style adik-adik tingkat kami. Ah, masa-masa SMA...

Buat saya, masa SMA adalah masa-masa yang paling absurd. Banyak yang bilang kalau masa-masa SMA adalah masa-masa pencarian jati diri. Proses transisi dari masa remaja ke masa yang lebih matang lagi. Tapi buat saya, masa SMA adalah masa semau gua! Hahaa..

Ini dia Ibu Wali Kelas
Pertama kali memasuki sekolah itu ada banyak pengalaman yang mengesankan.  Saat itu saya diterima di kelas 1-2 dan sialnya saya lupa siapa nama wali kelas pertama saya itu, yang saya ingat adalah dia ibu pengajar Biologi. Kalau tidak salah Ibu Kung, Maafkan saya, bu..

Nona-nona manis peronce tangga
Tentu saja saya punya nama panggilan sebagaimana anak-anak SMA di seluruh Indonesia punya nama panggilan. Panggilan saya ketika itu adalah; BOIM! Tentu mudah menebak apa sebab nama panggilan saya itu, ya karena saya HITAM!

Orang yang berjasa telah membaptis saya dengan nama baru itu adalah rekan sekelas saat itu. Ageng Putranto a.k.a B-Genk. Awal mulanya hanya karena saya mem-bully dia dengan nama latin Anj*ing (Canis Lupus). Saya panggil dia dengan lupus dan teman lupus adalah Boim! Dan begitulah kenyataannya, kami menjadi paket yang tidak terpisahkan sejak duduk di kelas 1 sampai di kelas 3! Kelas 1-2, Kelas 2-6 (Social Texas Majority) dan Kelas 3 IPS 4 (Social Strong) Damn! Hahaha..

Hal-hal nakal, sudah barang tentu banyak yang kami jalani. Dan semuanya tidak patut ditiru! Hahaaa...Berikut ini adalah beberapa contohnya; Loncat dari jendela saat pak Agus (Guru Kimia, kalau saya tidak salah) sedang mengajar. Ini pelakunya seorang Veronandes Munthe. Berpindah-pindah kelas, ini pelakunya seorang Rex Andhika. Bermain judi piritan, ini kami masih memperdebatkan apakah termasuk judi atau tidak, karena sebetulnya kami hanya mengaplikasikan teori peluang dari matematika.. Hahaaa...

Selain itu masih ada Judi Threepoint Shoot  bola basket, tawuran antar kelas 2-6 dengan kelas 2-7. Dua kelas ini dipanggil ke ruang BP dan masuk daftar buku hitam semua! Hahahaa...Kejadiannya hanya sepele, di lantai atas, kelas kami yang menghadap ke arah Gedung Bahasa, saat itu sedang jam istirahat. Anak-anak kelas 2-6 sedang bersantai dan duduk-duduk di depan kelas kami, begitu pun anak kelas 2-7.

Entah siapa yang memulai, ada yang dengan iseng melemparkan tutup sampah dari kelas kami ke arah kelas 2-7. Bukan melempar sebetulnya hanya diseluncurkan di lantai. Dibalas anak-anak kelas 2-7. Mulai dari yang semula hanya tutup kaleng sampah, benda yang dilempar dengan tiba-tiba berubah menjadi buku, tas, pulpen, celana olahraga, kursi dan terakhir meja! Hahahaa... Dan kami saling melempar dengan penuh tawa!! Betapa kurang ajarnya kami saat itu!

Tak lama, karena benda-benda yang kami lemparkan berjatuhan ke lantai bawah, guru pun melihat. Ada seorang guru yang saat itu, saya tak ingat siapa, naik ke atas. Dan begitu melihat dia sudah di dekat kelas, kami pun dengan gegas masuk ke dalam kelas, kami mencari kursi dan meja yang bentuknya sudah melingkar, sebagian bahkan ada yang di luar kelas.

Begitu guru masuk, kami sudah duduk dengan rapi! Ada yang menghadap dinding belakang, ada yang menghadap papan tulis, ada yang duduk di dekat pintu, ada yang duduk berpangku-pangkuan, dan juga ada yang berdiri dengan polosnya menatap sang guru! Hahaaa... Begitulah, akhirnya dua kelas itu dipanggil menghadap ke ruang BP dan nama kami semua terdaftar di buku hitam. Kami dihukum membersihkan lapangan basket belakang yang saat itu baru diguyur hujan. Daaaannn...tak lama setelah guru meninggalkan kami, perang pun berlanjut.. Hahahaaa...

Kelas 2-6 kami saat itu memang cukup dikenal (karena tingkah lakunya). Dan kami saat itu memang mewarisi nama besar kelas dari senior-senior kami. Kelas kami saat itu diisi dengan mayoritas anak laki-laki dan dengan bangga kami menyandang nama besar kelas Social Texas Majority disingkat STM.

Oia, di kelas ini saya punya seorang ketua kelas-- entah kenapa saya bisa duduk sebangku dengannya-- yang sangat absurd! Affan a.k.a Apay, Ipay. Ketua kelas kami ini sangat unik, punya hobi yang tak biasa, yaitu ngeletekin kulit meja menggunakan pulpen, penggaris atau apa saja yang ada ditangannya. Dan seiring dengan berakhirnya setahun masa pendidikan di kelas 2, meja yang digunakannya pun tak lagi bertriplek! Hahaaa..

Karena semasa kelas 2 saya belajar semau gue maka nilai yang saya terima pun "semau gue," begitu mungkin batin wali kelas saya yang mengajar Sosiologi, kalau tak salah namanya Ibu Nurmalia (Kalau salah mohon dikoreksi, bu) saat itu. Saya hampir tidak naik ke kelas 3. Tapi karena mukjizat yang maha kuasa, satu nilai agama saya yang ditahan ibu Agustin karena saya tak pernah masuk kelas agama, dikeluarkan setelah orangtua saya menghadap. Kalau saja nilai yang diberikan 5 maka dipastikan saya akan mengulang, tapi Ibu Agustin sangat baik hati, dia memberi saya nilai yang sangat besar. Enam.

Saya dinyatakan naik dengan bantuan tuhan. Dan saat pemilihan kelas, saya sempat dimasukkan di kelas Bahasa. Tapi setelah ditimbang-timbang, saat itu anak laki-laki dikelas Bahasa hanya ada 3 orang, yang artinya untuk membuat sebuah tim futsal pun kami tak bisa, saya putuskan untuk pindah ke kelas IPS.

Sostrong! 
Saat itu saya masuk daftar tunggu, karena sesuai rencana sekolah, kelas IPS hanya akan dibuka 3 kelas. Ternyata permintaan tinggi dan sekolah pun membuka kelas IPS buangan. IPS 4. Di kelas itu, kami saudara-saudara dari Bronx dikumpulkan jadi satu. Dan kelas kami jadi kelas paling hitam.

Kelas paling kuat karena kami (Erwan a.k.a Ochay, Rex, B-Genk, Tobagus Teguh a.k.a Toba, Ronald Tomasoa a.k.a Brando, Gunawan Stevanus a.k.a Oechild adalah Negro bersaudara; Negro Brothers. Dan karena itu, kami memberi sebuah nama yang manis buat kelas kami. Social Strong a.k.a Sostrong!

Ibu Lulu
Nyatanya, digabungkan dalam satu kelas buangan tidak membuat kami terbuang. Bersama dengan wali kelas kami yang sangat hangat; Ibu Lulu, kami buktikan bahwa kami kelas IPS yang patut juga diperhitungkan. Dan terbukti bahwa kelas kami saat itu sebagai kelas IPS ke dua dengan nilai terbaik.

Di kelas itu kami sudah bisa mengatur waktu lebih baik, kapan waktunya belajar, kapan waktu bermain, kapan waktunya berjudi dan kapan waktunya bolos! Hahaaa... Dan saat itu untuk pertama kalinya saya mendapat peringkat di kelas setelah tiga tahun sekolah di Gardoe! Horeey..

Semasa sekolah saya juga bergabung dengan tim basket SMU N 109, CIX. Bersama dengan teman seangkatan Stef Wiliam a.k.a Etep a.k.a Bongky, M.F Harsanto a.k.a Santo, Alamsyah a.k.a Deray, Andhika a.k.a (siape ye), Derry a.k.a Deroy dan tim wanita : Esti, Ratna a.k.a Nana, Dilla, Dewi dan adik-adik tingkat: Doger, Lano, Febri, Winny, Icha, Putri dan lain-lain.

Begitulah, masih teramat banyak kenangan yang tak tertuliskan di Gardoe kami. Sebuah memoar yang manis dari SMU N 109 Jakarta!

Tertanda


Rico 'Boim' Mangiring Purba



Tribute to: Alumni kelas 1-2, 2-6, 3 IPS 4, Ijoel, Sujiwo Theo, Seno, Vallent, AA, Yopie, Kemoy, Kiki, Dhapon, Neon, Fauzan, Sophian, Ape, Hestu, Mia, Wiwin, Lisa, Sarel, Aceh, Basis Depok, Pasar Minggu, Tukang Numpang Kopaja 606 dll.

Selasa, 02 April 2013

Buku

KAMU
Diberi kata pengantar oleh ayah dan ibumu.
Daftar isimu terlalu dalam dan mengguratkan banyak luka.

Halaman pertama, bercerita tentang semua duka kelam yang terbawa malam dan mengendap dalam pualam. Sesak dalam riak. Ini tentangmu yang membawa banyak luka. Latar belakangnya apalagi kalau bukan nestapa yang hadir dalam tapa. Cerita ini tak bertujuan karena bukan ditujukan kepada tuan. Ini tentang perempuan, tentang kegalauan.

Bismillah, katamu. Disinilah ada kisah rebah. Bukan dongeng, apalagi cerita rakyat yang bikin sesat. Ini tulus karena niat. Niat menyadarkan perempuan yang ditawan karena perawan milik Tuhan. Kulanjutkan isi halaman pertama dengan perumpamaan yang menceritakan kisah anak yang di tanak. Sungguh ini Dosa kakek dan nenek.

Halaman dua, ini halaman ku kisahkan tentang tuhan. Ini halaman tak perlu di ceritakan, karena sudah ditawan.

Halaman tiga, aku selalu senang dengan tiga. Disini ada jelaga raga tak berharga. Menjemput bangga yang ada di rongga-rongga. Kuceritakan disini tentangmu yang hinggap dalam rona matahari jingga. Berkelebatan sayap-sayapmu menggapai bunga-bunga di taman surga. Di salah satu sudut taman itu ku melukis lekak-lekukmu yang seirama dengan nada yang dinyanyikan dedaunan bersama angin tak berharga.

Halaman empat, sudah kulipat semua halaman empat. Karena disini ada cerita tentang orang yang wafat. Ku tak suka dengan halaman empat, maka biarkan saja dia lewat, tak usah kau berkelebat untuk membabat, percuma.

Halaman lima, aku menjemputmu dari lembaran-lembaran buku usang. Aku tahu tak akan mendapati wajahmu di halaman pertama, sekali tarik jemariku membawa serta dua tiga lembar yang mungkin ada kisah lain, yang kuharap bukan tentangmu. Ada lembaran yang terlalu berdebu, ada juga yang sudah lapuk. pelan ku lepaskan bagian-bagian yang saling melekat, ku takut merusak bayangmu yang mungkin saja menempel di salah satu lembarannya.

Hanya decak sesekali ku desahkan pertanda kekagumanku. Ada kamu dalam buku usang tak beruang dan bimbang.

Aku menunggumu di halaman enam, karena kita disini terbenam bersama surya temaram. Seperti halaman-halaman sebelumnya yang lengkap dengan cerita jahanam, ku persilahkan kau berbagi tentang kisah di malam nan kelam. Ini Kisah cinta yang sadis, membabat habis semangatku dengan sporadis.

Cukup sudah, jangan ada lagi halaman tujuh karena kita tak bersetubuh dan kita sudah setuju. Begitupun halaman delapan, karena saat sarapan tak ada harapan.

Maaf karena tak sampai daftar pustaka, karena pusaka sudah terbuka. Siapa yang kuasa? Aku hanya bisa puasa.

Maaf juga karena tak ada lampiran. Disini aku sudah dimakan sindiran. Cacian jadi teman dan nyanyian para pahlawan. Sudahlah. Kututup buku ini.

Buku tentang KAMU.


Depok, 07 Oktober 2009

Jobseeker: Emak Belum Marah


AKU ingin pintar itu soal ekonomi. Saat bicara inflasi, bercerita aku panjang lebar kenapa inflasi membuat bangsa menderita, anak-anak banyak berhalusinasi. Saat emak memanggil untuk makan nasi, yang ditanak emak ternyata hanya besi, panci. Inflasi, kata emak, bikin duit ini sebentar lagi degradasi.

Aku mau itu pintar soal ekonomi. Saat bicara moneter, berkisah aku sedalam-dalamnya kenapa itu kebijakan moneter harus bikin Indonesia tercecer. Pernah emak cerita tentang bapak yang mati untuk negara, tapi kini emak sedih karena negara sekarang nurut itu sama kebijakan moneter. Ku simpulkan, moneter itu monster. Bisa dia merubah Kebijakan publik karena negara keder. Mau itu aku pintar, supaya Sri Mulyani, memberikanku satu pekerjaan. Satu saja.

Kalau Sri Mulyani tidak mau, aku mau itu pintar soal hukum. Berbicara panjang lebar kenapa itu hukum bisa buat kita berhenti tersenyum. Emak cerita soal Prita, katanya dulu Prita pandai bercerita, tapi akhirnya masuk berita karena salah bercerita dan akhirnya dihukum. Mau itu aku pintar soal pidana. Kenapa jatuh cinta bisa di pidana.

Aku mau itu pintar soal hukum. Menjelaskan pada emak, apa itu ius constituendum atau ius constitutum. Karena emak hanya mengerti soal hukum yang ‘maklum’. Ini negara penuh kemakluman. Ada orang yang mencuri ayam dihukum dan ada orang yang korupsi diberi maklum. Ah, mau aku mengerti soal itu, supaya Widodo AS mau menunjukkan satu kursi di Kemenkopolhukam, satu saja.

Kalau Sri Mulyani dan Widodo AS tak bersedia, mau itu aku pintar soal politik. Emak bilang, politik itu peol dan litik, mungkin ini bahasa Yunani. Artinya, mungkin bengkok dan menggelitik. Di televisi, emak selalu tertawa saat nonton acara politik, lucu katanya. Mau itu aku mengerti soal demokrasi, yang kata emak artinya, setiap ada demo di kerasi.

Mau itu aku bicara panjang lebar seperti Arya Bima, yang laku keras saat Pemilu. Bicara soal teori-teori kepartaian, atau tentang ideologi-ideologi yang membabi. Kata emak, ada ideologi yang tak boleh diikuti, katanya dulu dilarang Soeharto. Emak belum tahu Soeharto itu mati. Mau itu aku bicara di Tv, mungkin Aburizal Bakri, mau kasih satu posisi.

Kata emak, aku jobseeker karena kondisi. Inflasi dan moneter bikin negeri ini ngeri. Sementara hukum yang penuh maklum bikin kita vakum. Kalau saja emak tahu Soeharto sudah mati, mungkin aku dibolehkan itu belajar ideologi. Karena kalau boleh, mungkin aku sudah ada di PDI atau mungkin juga di bui. Hmmm, lebih baik begini, yang penting emak belum marah aku terus begini. Cari bini? Ah, aku masih jobseeker.


-Depok, 091009-