Selasa, 31 Desember 2013

2013: Adios en Gracias

DUARIBU TIGABELAS terimakasih atas semuanya. Meski teramat sulit untuk mendeskripsikannya, namun apapun itu, adalah baik untuk tetap mensyukurinya. Terimakasih telah mengantarkan kami ke gerbang tahun yang baru lagi. Terimakasih dan selamat tinggal. Selamat tahun baru 2014.

Rabu, 18 Desember 2013

#Belitung: Sebuah Cerita

Pantai Tanjung Tinggi dan bebatuan Laskar Pelangi

Beruntunglah pulau ini melahirkan sosok Andrea Hirata. Ia seperti tangan yang menyelematkan orang yang menggapai-gapai karena akan tenggelam. Ya, Andrea Hirata telah menjadi tangan bagi pulau yang nyaris tenggelam ini. Melalui buku-bukunya, ia menuliskan kehidupan masa kecilnya di sebuah desa yang mungkin kalau buku itu tak pernah diterbitkan, kita juga tak akan pernah mendengarnya.

Indonesia, negeri seribu pulau ini, terlalu luas untuk dijelajahi, bahkan untuk seseorang yang memiliki akses luas seperti seorang Presiden sekalipun. Banyak yang luput dari pengamatannya. Termasuk juga pulau Belitung.

Dulu sekali, Belitung pernah jadi primadona, ketika timah meledak di pasaran dunia. Belitung adalah satu diantara pulau penghasil timah di Indonesia. Namun, setelah timah kehilangan pesonanya, Belitung bak pepatah yang habis manis sepah dibuah. Ia ditinggalkan. Belitung kesepian.

Posisinya yang terpisah dari pulau besar Sumatera, menjadikannya tak semenarik kota-kota di gugus Sumatera itu. Tapi Belitung bangkit, ia, melalui Andrea Hirata meminta sorot panggung yang selama ini 'Jawasentris'. Apa-apa Jawa. Seolah-olah keindonesiaan kita hanya seluas Jawa.


Sorot panggung itu tak diminta Andrea Hirata dengan mengemis. Ia memberi pembuktian, ada anak-anak dari sebuah pulau bernama Belitung, yang juga punya kegigihan seperti manusia-manusia di Jawa dan pulau lainnya yang berkilauan dengan perhatian dari pemerintah.

Dari sebuah desa bernama Manggar, ia tunjuk bahwa cita-citanya tak akan berbatas tepian laut cina selatan dan laut jawa. Ia bisa melampaui itu. Melalui buku-bukunya, yang kemudian mendapat perhatian sineas-sineas perfilman Indonesia, ia perkenalkan dengan hangat Belitung kepada masyarakat Indonesia.

Ia perkenalkan desa yang menjaga nyala api cita-citanya, ia perkenalkan pantai-pantai di Belitung yang mampu berkompetisi dengan pantai-pantai lainnya di Indonesia, selama diberi kesempatan yang sama. Semua itu ia lakukan dengan pena, dengan tulisan-tulisannya.

Tulisan ini tak bertujuan memuji secara berlebih seorang Andrea Hirata, tapi benarlah bukti bahwa sebuah pena lebih tajam dari sebuah pedang. Dan pena yang menuliskan buku-buku yang dituliskan Andrea Hirata bukan saja sebagai pembuktian kehebatan dirinya.

Tanpa ia sadari, mungkin, pena-nya telah menyelamatkan sebuah pulau yang kesepian, yang jauh dari hiruk pikuk keramaian dan hingar bingar masyarakat kota. Masyarakat Jakarta. Masyarakat Indonesia. Dari sebuah perbincangan dengan seorang warga Belitung, Mak Amin namanya, ia mengakui bahwa film Laskar Pelangi (judul film dari buku yang ditulis Andrea Hirata) telah memantik api semangat masyarakat Belitung.

Tugu Batu Satam di Pusat Kota Belitung

Di pengujung tahun 2013 ini saya yang berkesempatan mengunjungi kota ini, itu pun lantaran urusan pekerjaan, menyaksikan bahwa Belitung adalah satu daerah yang unik. Tak ada angkutan umum disini, karena memang perlu waktu lebih dari sejam jika kita hendak mengharapkan angkutan umum. Warga disini hampir sebagian besar beraktifitas menggunakan kendaraan roda dua. Jalanan disini berbanding terbalik dengan suasana jalanan Jakarta. Bahkan anjing pun bisa tidur di tengah jalan di sini. Kaget, tentu saja ini mengagetkan.

Tapi suasana yang sekarang ini, disebut warga Belitung telah jauh lebih hidup setelah buku dan film Laskar Pelangi meledak di Indonesia. Maka, tak bisa terbayangkan saya bagaimana sepinya kota ini sebelum Andrea Hirata berinisiatif menuliskan masa kecilnya ke dalam sebuah buku. Betapa tersia-siakannya potensi Belitung.


Setelah sempat berkeliling-keliling beberapa hari, saya terkejut karena ada nama jalan ZA Pagar Alam di Belitung. ZA Pagar Alam adalah tokoh Lampung, ia adalah Gubernur pertama provinsi Lampung. Anak ZA Pagar Alam, Sjachroedin ZP, saat ini juga menjadi Gubernur Lampung. Didorong rasa penasaran, karena saya lahir dan pernah mengenyam pendidikan di Lampung, saya ketikkan kata kunci "Zainal Abidin Pagar Alam, Belitung".

Dari kata kunci tersebut saya mendapati sebuah artikel seorang mantan menteri yaitu, Yusril Ihza Mahendra, setelah menyempatkan membaca artikelnya yang cukup panjang itu, baru saya ketahui bahwa ternyata sang menteri pun adalah putera Belitung. Dan saat itu baru saya tahu bahwa ayah sang menteri bersahabat dengan ZA Pagar Alam, yang ternyata adalah Bupati Belitung. Dari situ saya pahami bahwa karena hal itulah ada nama jalan ZA Pagar Alam di Belitung.

Romantisme sejarah terjadi bukan hanya antara Zainal Abidin Pagar Alam dan ayah sang menteri, Yusril Ihza Mahendra yang kemudian bersama dengan anak ZA Pagar Alam, Sjachroedin, menjadi tokoh yang memiliki nama di Indonesia. Tidak hanya itu, ayah sang menteri pun ternyata bersahabat dengan orang tua pembesar perusahaan Media Group, Surya Palloh. Ayah Surya Palloh sat itu sempat menjabat sebagai kepala polisi di Belitung.

Cerita soal tokoh-tokoh Belitung, Laskar-laskar Pelangi belum habis disitu. Ahok, anda mengenalnya??

Ah, Belitung.




Dari rumah Mak Amin
18 Desember 2013


Selasa, 17 Desember 2013

Tenggelam


Suasana kesibukan mencari orang tenggelam di Pantai Tj. Pandan, Belitung.
Kematian itu kalkulasi ketidakpastian yang jumlah dan rumusnya belum kita ketahui. Kemarin, aku menyaksikan kematian. Salah! Tepatnya kubiarkan seseorang mati. Dia tenggelam, aku hanya bisa melihat kepalanya yang seperti setitik bola dari bibir pantai timbul dan tenggelam. Timbul lalu tenggelam.

Seseorang kerabatnya berlari sambil berteriak, tapi tak ada yang mendengar, pengunjung pun seolah tak terlalu risau. Barangkali dalam pikiran mereka, kematian itu hanya soal waktu. Kalaupun selamat kali ini, esok siapa yang akan menyelematkannya lagi.

Tujuanku ke pantai itu untuk berburu matahari terbenam. Terbenam, bukankah ia pun hanya pemaknaan lain dari tenggelam? Kemana matahari itu tenggelam? Ke lautan? Barangkali si orang tenggelam tadi dan matahari sudah saling berjanji untuk bertemu di dasar lautan. Siapa yang tahu mengenai si orang tenggelam tadi selain dirinya sendiri? Aku?


Tak lama, seorang lainnya bergegas lari ke arah pantai, dengan tergesa-gesa ia mencari seseorang yang bisa diharapkan untuk sesegera mungkin menarik si orang tenggelam tadi sebelum orang itu benar-benar endap. Konon di balik lembut laut yang tak berombak itu ada pasir isap. "Ia mengisap apa saja," begitu kata pengunjung yang bercerita baru sebulan lalu seseorang juga mati di lokasi tenggelamnya orang yang baru tenggelam itu.

"Ia mengisap apa saja," ulangnya lagi.

"Apa saja?" kataku menegaskan.

"Iya, apa saja!" Katanya dengan agak ketus.

"Apa ia juga bisa mengisap tuhan?"

Matanya terbelalak, wajahnya makin galak. "Kau manusia atau anjing?" orang itu membentak. Aku diam, aku berpikir dimana letak kesalahan pertanyaanku. Kalau pasir itu mengisap apa saja, kenapa ia marah saat kutanya apa pasir itu bisa mengisap tuhan juga.

Perempuan disampingku lalu berseloroh, "Oo, disitu memang ada penunggunya. Setiap tahun selalu minta tumbal," katanya dengan yakin. Rasa penasaranku bertambah. "Siapa penunggunya?" kataku kembali mengajukan pertanyaan.

"Penguasa laut," katanya yakin.

"Penguasa laut?" kataku kembali bertanya.

"Iya, penguasa laut."

"Apa tuhan bisa jadi tumbal penguasa laut?" aku bertanya lagi.

"Hah? lah gilo kau ye?"

"Tuhan ya ndak katek lawan, seluruh alam semesta ini ya tunduk sama die. Laut ini ya punya die, tanah ini, udara, langit ya punya die!" kicau si perempuan.

Aku pergi meninggalkan keduanya.

Kudengar mereka bergunjing tentangku. Mereka bilang aku gila. Matahari sore itu kemerahan, orang-orang sibuk mencari si orang tenggelam. Padahal ia pun tak ingin ditemukan. Ia sudah bersama matahari. Mereka tenggelam.


Tanjung Pandan, Belitung 18 Desember 2013

Rabu, 04 Desember 2013

Tentang Perkawinan







: Nur Asiah Jamiel -Rizal

Di tepi kota Batavia, yang telah lama
ia berganti jadi betawi dan kini kita sebut
ia DKI, masih ada ritus budaya yang meski
tergerus ia tetap mempertahankan eksistensi.

Demi sebuah tanggungjawab kepada
ruh-ruh leluhur yang telah lampau
yang meski terkubur tak lantas
dia hancur jadi remah-remah; jadi arwah

ini berbeda, yang singgah tiap kali roti buaya dihantar
tanjidor beradu getar, bukan hanya sekadar
pesta agar tak sepi mimbar di altar

ini juga bukan semata pencar api mercon membagi berita
tentang hingar-bingar kabar sukacita; hari ini
telah tunai tugas ayah mengantar puteri ke pelukan belahan jiwa

disini, didalam pesta ini kita bersilaturahmi. berusaha memahami
bahwa hidup ini mesti saling memenuhi;
                                                         entah itu janji atau juga bakti.


09-11-2013

Perihal Perjalanan

baltyra.com 

jalan ini bukan menuju Roma
karena aku tahu kau tak disana
Angin ini, yang kesiurnya mengantar
percik aroma tubuhmu, kurasa berasal
dari sebuah luka yang kelewat amis.

kau adalah aku 
adalah debu-debu
yang kuhidu sepanjang raguku
menemuimu

tentang sebuah perjalanan
telah kukitabkan jadi petunjuk
serupa bintang bagi orang majus

tapi apalah arti lukaku
dihadapan airmatamu.

yang selalu kupelajari dari ibu:
                                             bahwa tangis adalah lembah tak berdasar
                                             liang yang tak lengkap meski sering kau tutup dan gali lubang.



Mei 2013

Selasa, 03 Desember 2013

Setelah Kejadian Itu

: Sitok Srengenge

Seberapa kelamkah
                              sisi gelapmu?