Rabu, 24 September 2014

Terakhir

Seratus dua puluh enam hari setelah semuanya berakhir..

Kadangkala segala sesuatunya datang tak tepat waktu. Seperti keadaan ini, kau dan aku, kita, bertemu dan menjalin rasa yang salah di saat yang salah. Meski bukan kali pertama kutuliskan ungkapan-ungkapan perasaan kepadamu, tapi kali ini, di blog ini, mungkin jadi yang terakhir. Dan mungkin juga akan jadi tulisan penutup di blog ini. Ku dedikasikan untukmu. #DA

Selepas segala kenangan yang terukir, akan tiba saatnya segala sesuatu menepi. Dan ditinggalkan. Baru setelahnya diziarahi jika memori kembali berlesatan. Pun begitu blog ini, barangkali hanya akan kuziarahi pada sekali masa saja. Untuk mengingat betapa kau hadir dan menggurat kisah yang begitu dalam.

Tak jadi soal akan berapa kali ia hadir berlesatan dalam hari-hari yang kulalui, karena seperti aku percaya pada kata-kata bahwa sejarah cinta adalah sejarah luka, begitu jugalah apa yang telah kita lalui, penuh cinta, penuh luka. Kuhargai ia sebagai sebuah pengorbanan dua hati yang merela menahankan luka demi sesuatu yang lebih mulia.

Kelak, mungkin bukan pula di kehidupan yang ini, barangkali kita akan bertemu kembali. Kau sebagai kau dan aku sebagai aku. Kau panggil aku dengan sebutan Jol, pun begitu ku panggil kau dengan sebutan yang sama. Mungkin, ya mungkin saja kita pada saat itu bisa bersama. Tanpa persoalan yang sama yang memisahkan kita; agama.

Aku percaya bahwa kau akan mendapati satu hari yang bahagia nanti pada suatu ketika. Aku, barangkali saja, akan lesap jadi uap yang mengangkasa dan hilang dari kehidupanmu. Dan jika hari itu tiba, doakan saja aku turut berbahagia melihat senyum di bibir tipismu.

"Karena, yang tak pernah tua padaku adalah memori tentangmu"


Depok, 25 September 2014

Senin, 16 Juni 2014

#WorkshopCerpenKOMPAS 2014

Berita di Kompas (13/6/2014)


Sebelum membaca berita pengumumannya pada tanggal yang ditentukan ada semacam keragu-raguan saya akan disertakan sebagai salah satu peserta Workshop Cerpen Kompas 2014. Bagaimana tidak, menulis cerpen selama ini hanya untuk konsumsi pribadi, ceritanya pun seputar kehidupan pribadi. Sudah barang tentu lebih banyak pesimisme ketimbang keyakinannya.

Saya nekat mengirimkan tiga buah cerita pendek (Buku Harian, Sukmailang, dan Perempuan Labirin). Dua dari tiga tulisan itu hanyalah kisah kehidupan pribadi yang saya fiksikan. Hanya satu tulisan yang benar-benar saya gali ide ceritanya dari sebuah nama yang saya sendiri sampai hari ini tidak tahu apakah benar seperti itu.

Tapi pengalaman diloloskan oleh panitia Workshop Cerpen Kompas tahun ini cukup berarti buat saya pribadi. Betapa tidak, setelah mendapat berita tersebut dengan gegas saya telusuri satu per satu nama-nama peserta yang dinyatakan berhak untuk mengikuti kegiatan itu. Dan... 80 persen diantara nama-nama itu sudah malang melintang di dunia cerita pendek. Ada yang bahkan sudah memiliki buku atas namanya, ada juga yang ceritanya dimuat dalam antologi cerita pendek, ada juga yang sudah langganan masuk di kolom cerita pendek beberapa surat kabar di Indonesia.

Hal itu buat saya cukup menarik, membayangkan cerita saya hanyalah cerita kelas facebook akan bertemu dengan cerita-cerita mereka, orang-orang hebat itu. Semoga saja pengalaman ini nantinya menentukan arah pena saya.

Satu hal lagi, selain bertemu dengan para penulis-penulis cerita pendek itu, momen itu juga akan menjadi pengalaman pertama bertatap mata serta menimba cerita dari mata air cerpen Indonesia. Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor. Ah, asyiknya. Di kala hati sedang gundah gulana ada saja cara IA memberi hiburan.

Sampai bertemu Cerpenis #WCK2014

Senin, 09 Juni 2014

Rabu, 04 Juni 2014

Ketika Berdoa Adalah Dosa (Di Indonesia)




Kelucuan-kelucuan di Indonesia, dari hari ke hari kian jadi. Ketika pemerintah masuk ke ruang-ruang pribadi seperti agama, maka akan banyak benturan-benturan yang pasti dan mau tidak mau tak dapat dihindarkan. Seperti hari ini misalnya, dalam sebuah berita berjudul: Kapolri: Rumah Jadi Tempat Ibadah Langgar Pidana (http://m.news.viva.co.id/news/read/509498-kapolri--rumah-jadi-tempat-ibadah-langgar-pidana?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook)

Kapolri yang terhormat itu dalam salah satu statemennya menyatakan bahwa rumah yang dijadikan sebagai tempat rohani rutin maka dikategorikan sebagai tindak pidana umum! Tindak pidana umum sebagaimana saya ketahui sejatinya adalah perbuatan jahat. Hal-hal yang dianggap bertentangan dengan prilaku umum di masyarakat. Lalu darimanakah gagasan ini bermula; gagasan yang menganggap ibadah atau kegiatan rohani atau apapun namanya dianggap sebagai sesuatu perbuatan jahat?

Semua bermula ketika seorang tokoh MUI, mengajukan usulan untuk pembatasan rumah-rumah ibadah. Tokoh MUI itu, mungkin merasa diri sebagai representasi umat islam (walaupun saya tidak pernah merasa demikian), merasa terancam dengan kehadiran rumah-rumah yang beralih fungsi menjadi rumah ibadah. Gayung bersambut, pemerintah menyetujui usulan itu dan mengesahkannya melalui PERATURAN KONYOL BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI.

Adalah pemikiran yang jahat dan picik, ketika kehadiran rumah-rumah ibadah dianggap sebagai ancaman, bukankah sejarah dunia selalu mencatat, sesuatu yang semakin dihambat ia akan semakin merambat. Hal ini berlaku untuk semua hal, termasuk agama. Ketika agama Islam dimusuhi maka oleh sebagian yang lain ia akan mendapat simpati, begitu juga ketika Kristen dimusuhi oleh yang lainnya ia akan dicintai. Lalu kenapa kita tak menerima saja toleransi beragama sebagaimana dulu ada.

Saya tak pernah diajarkan memusuhi siapapun karena agamanya, tapi saya diajarkan untuk melawan terhadap cara berpikir yang salah. Dan saya rasa hampir semua agama tak pernah mengajarkan cara berpikir yang salah, oleh karenanya ketika ada konsep yang salah, yang telah dilakukan pemerintah melalui pembentukan peraturan bersama menteri tentang pendirian rumah ibadah, maka sudah sebaiknya ia dilawan. 

Peraturan itu sejak awal kelahirannya sudah diskriminatif, coba ditelusuri saja bagaimana semua konflik yang terjadi di masyarakat akibat kelahiran peraturan ini merupakan konflik yang sistematis. Hampir sebagian besar pertentangan datang bukan dari masyarakat sekitar tempat yang akan dijadikan tempat ibadah!

Bukankah tiap kali ada fenomena yang melenceng di masyarakat selalu dikaitkan dengan kegagalan agama dan keluarga mengajarkan agama dengan baik? Lantas ketika rumah yang dijadikan tempat ibadah menjadi tindak pidana? Masih benarkah cara berpikir kita? Ketika peraturan konyol itu lebih sering menghadirkan konflik, apalagi alasan kita mempertahankan aturan seperti itu?

Dan, ketika pengajian rutin dilarang, ketika kebaktian rutin dilarang, dan ketika mendapatkan izin mendirikan tempat ibadah susahnya setengah mati, apakah kita harus bersepakat untuk berhenti beragama?

Buat saya pilihannya hanya ada dua; HAPUSKAN PERATURAN KONYOL BERSAMA PARA MENTERI atau KITA BERHENTI BERAGAMA!

Kepada pemerintah yang baik sekaligus lalim di negeri ini, kami hanya mengingatkan; APAPUN AGAMA KAMI (Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik, Konghucu dll) KAMI JUGA ADALAH PEMILIK YANG SAH NEGERI INI! Jangan pisahkan kami dengan peraturan yang sesat! Jangan lahirkan pertikaian antara kami dengan cara-cara berpikir jahat!



Kamis, 22 Mei 2014

Seribu Seratus Dua Puluh Lima Malam





Terimakasih, perempuanku. Tentang semua kenangan itu, aku akan mengingatnya begini; Suatu masa yang indah dulu pernah melintasi hidupku. Seorang perempuan bermata teduh, bersuara renyah, kepadanya aku pernah membagi seribu seratus dua puluh lima malamku. Berbagi petualangan dan perasaan yang tak terlupakan. Dan kepada perbedaan kami takluk. Di bulan pertama pada tahun ke tiga. Cinta menyerah.

Terimakasih.


Pilih(an)



Ketika tiba waktunya bagi kita untuk memilih. Pilihan yang macam manakah yang akan kita ambil? Demi apakah kita memilih? Sebab apa kita putuskan memilih hal itu? Dan kenapa kita mesti memilih? Tidakkah ada jalan damai untuk mempertemukan keduanya?

Tentang pilihan, begitulah kita menjalani hidup. Hari ke hari tugas kita hanya memilih. Pilih bangun pagi atau bangun siang. Kalau bangun pagi apa yang kita dapatkan, kalau bangun siang apa yang kita lewatkan. Sarapan atau tidak. Kalau sarapan apa yang kita abaikan, kalau tidak apa yang kita rasakan.

Berkendaraan umum atau berkendaraan pribadi. Berkendara umum apa yang kita lalui, berkendara pribadi apa yang kita nikmati. Kerja serius atau kerja bercana. Kerja serius apa tak bosan, kerja bercanda kapan selesai.

Kompleksitas pilihan-pilihan itu terus bertambah dan bobotnya berbanding lurus dengan waktu dan semakin dewasanya manusia. Sebut saja soal pilihan politik, pilihan religi, pilihan hati, pilihan ideologi dan pilihan-pilihan lainnya.

Seperti pilihan hati misalnya, kita harus memilih akankah meneruskan tradisi atau tidak. Kalau ikut tradisi kita pilih kekasih yang sesuai pilihan orang tua atau pilihan sendiri. Kalau pilihan sendiri sudah pasti diterima orang tua atau tidak. Ada kemungkinan diterima dan juga tidak, tergantung orangtua pilih menyukai atau tidak.

Itu baru tradisi, belum lagi soal ideologi, apakah kita pilih kekasih dengan latar pro marxis, liberalis atau komunis. Atau kita pilih yang tak berideologi yang penting manis. Belum lagi soal religi. Pilih Kristen tapi tak cinta atau pilih muslim yang dicinta tapi tak bisa, atau pilih hindu yang juga tak bisa, nanti soal cinta bisa ditata.

Semuanya dimungkinkan karena pilihan selalu datang berdua. Ia tak pernah sendiri dan kita tak bisa membantah. Dan apa sebab pilihan selalu ada dua, malah terkadang lebih. Kenapa, misalnya, kita tidak disodori dengan satu saja pilihan. Tapi kalau hanya satu bukankah ia tak lagi menjadi pilihan. Atau kenapa setiap pilihan tak bisa kita damaikan agar jawabnya tak selalu menyisihkan hal yang lainnya.

Contoh sederhananya Pemilu (Pemilihan Umum) misalnya, kenapa rakyat tak diberi kesempatan untuk memilih kedua calon yang menjadi pilihan untuk dilebur dan bekerjasama. Toh semuanya mengaku mencalonkan diri demi kepentingan rakyat banyak. Bukankah pengabdian tertinggi dan termulia adalah pengabdian kepada rakyat dan semesta. Kenapa mereka harus diadu padahal dua-duanya bisa saja punya kompetensi yang saling melengkapi.

Kenapa lantas rakyat hanya diberi ketentuan untuk memilih salah satunya.  Kenapa rakyat tak diberi hak memilih untuk tidak memilih dari pilihan yang ada dan membuat pilihan alternatif. Pilihan baru dari kemungkinan pilihan yang ada.

Rumit.

Begitulah, saya sendiri tak mengerti kenapa memilih untuk menuliskan tentang pilihan-pilihan ini. Apa yang telah saya lewati dan apa yang saya dapatkan?

Entahlah. Selamat memilih.



22/05/14

Selasa, 13 Mei 2014

Tak lagi ia, tak.

sumber gambar: emailboom.blogspot.com


Sesuatu yang dulu berhasil menghadirkan senyummu
kini tak lagi ia, tak.
Sesuatu yang dulu membuatmu rindu padaku
kini tak lagi ia, tak.
Sesuatu yang dulu padaku adalah gairah padamu
kini tak lagi ia, tak.

Segala sesuatu memiliki masa. Tak ada yang kekal, ia tak.


13/05/14