Kamis, 22 Mei 2014

Seribu Seratus Dua Puluh Lima Malam





Terimakasih, perempuanku. Tentang semua kenangan itu, aku akan mengingatnya begini; Suatu masa yang indah dulu pernah melintasi hidupku. Seorang perempuan bermata teduh, bersuara renyah, kepadanya aku pernah membagi seribu seratus dua puluh lima malamku. Berbagi petualangan dan perasaan yang tak terlupakan. Dan kepada perbedaan kami takluk. Di bulan pertama pada tahun ke tiga. Cinta menyerah.

Terimakasih.


Pilih(an)



Ketika tiba waktunya bagi kita untuk memilih. Pilihan yang macam manakah yang akan kita ambil? Demi apakah kita memilih? Sebab apa kita putuskan memilih hal itu? Dan kenapa kita mesti memilih? Tidakkah ada jalan damai untuk mempertemukan keduanya?

Tentang pilihan, begitulah kita menjalani hidup. Hari ke hari tugas kita hanya memilih. Pilih bangun pagi atau bangun siang. Kalau bangun pagi apa yang kita dapatkan, kalau bangun siang apa yang kita lewatkan. Sarapan atau tidak. Kalau sarapan apa yang kita abaikan, kalau tidak apa yang kita rasakan.

Berkendaraan umum atau berkendaraan pribadi. Berkendara umum apa yang kita lalui, berkendara pribadi apa yang kita nikmati. Kerja serius atau kerja bercana. Kerja serius apa tak bosan, kerja bercanda kapan selesai.

Kompleksitas pilihan-pilihan itu terus bertambah dan bobotnya berbanding lurus dengan waktu dan semakin dewasanya manusia. Sebut saja soal pilihan politik, pilihan religi, pilihan hati, pilihan ideologi dan pilihan-pilihan lainnya.

Seperti pilihan hati misalnya, kita harus memilih akankah meneruskan tradisi atau tidak. Kalau ikut tradisi kita pilih kekasih yang sesuai pilihan orang tua atau pilihan sendiri. Kalau pilihan sendiri sudah pasti diterima orang tua atau tidak. Ada kemungkinan diterima dan juga tidak, tergantung orangtua pilih menyukai atau tidak.

Itu baru tradisi, belum lagi soal ideologi, apakah kita pilih kekasih dengan latar pro marxis, liberalis atau komunis. Atau kita pilih yang tak berideologi yang penting manis. Belum lagi soal religi. Pilih Kristen tapi tak cinta atau pilih muslim yang dicinta tapi tak bisa, atau pilih hindu yang juga tak bisa, nanti soal cinta bisa ditata.

Semuanya dimungkinkan karena pilihan selalu datang berdua. Ia tak pernah sendiri dan kita tak bisa membantah. Dan apa sebab pilihan selalu ada dua, malah terkadang lebih. Kenapa, misalnya, kita tidak disodori dengan satu saja pilihan. Tapi kalau hanya satu bukankah ia tak lagi menjadi pilihan. Atau kenapa setiap pilihan tak bisa kita damaikan agar jawabnya tak selalu menyisihkan hal yang lainnya.

Contoh sederhananya Pemilu (Pemilihan Umum) misalnya, kenapa rakyat tak diberi kesempatan untuk memilih kedua calon yang menjadi pilihan untuk dilebur dan bekerjasama. Toh semuanya mengaku mencalonkan diri demi kepentingan rakyat banyak. Bukankah pengabdian tertinggi dan termulia adalah pengabdian kepada rakyat dan semesta. Kenapa mereka harus diadu padahal dua-duanya bisa saja punya kompetensi yang saling melengkapi.

Kenapa lantas rakyat hanya diberi ketentuan untuk memilih salah satunya.  Kenapa rakyat tak diberi hak memilih untuk tidak memilih dari pilihan yang ada dan membuat pilihan alternatif. Pilihan baru dari kemungkinan pilihan yang ada.

Rumit.

Begitulah, saya sendiri tak mengerti kenapa memilih untuk menuliskan tentang pilihan-pilihan ini. Apa yang telah saya lewati dan apa yang saya dapatkan?

Entahlah. Selamat memilih.



22/05/14

Selasa, 13 Mei 2014

Tak lagi ia, tak.

sumber gambar: emailboom.blogspot.com


Sesuatu yang dulu berhasil menghadirkan senyummu
kini tak lagi ia, tak.
Sesuatu yang dulu membuatmu rindu padaku
kini tak lagi ia, tak.
Sesuatu yang dulu padaku adalah gairah padamu
kini tak lagi ia, tak.

Segala sesuatu memiliki masa. Tak ada yang kekal, ia tak.


13/05/14

Kamis, 01 Mei 2014

Pohon

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.Kecuali yang ditanam di tepian sungai."

:untuk bapak.

Aku adalah buah
dari pohon yang ditanam
di tepian semenanjung
yang menghadap ke lautan luas.

Pohonku menentang angin yang datang
menerjang badai yang menyapu dari samudera

tak lepas akarnya
tak rekah tanahnya

batangnya selentur bambu
akarnya menjulur jauh
ke dalam bumi

aku adalah buah
yang jatuh ke lautan luas
terbawa angin ke tepian pantai
dibawa seorang anak laki-laki
ke sebuah bukit
ditanam di puncaknya

aku adalah buah
yang melanglang buana
mendapati senjakala
ketika hujan berganti
bianglala
dan malam menjadi paripurna

aku adalah buah 
dari pohon yang menantang angin
yang menolak rebah karenanya

---