Kamis, 27 Februari 2014

Sebuah Cerita tentang Rindu (lagi)


Sayangnya kota tempat dimana rindu itu mesti dipertemukan telah jauh ia tinggalkan. Sebuah kota yang dingin dan senyap kini. Disana, di kota itu, terlalu banyak kenangan. Pertemuan-pertemuan yang semestinya terjadi itu, hanya akan menambah kenangan baru. Sedang hatinya masih penuh dengan potongan-potongan puzzle, sebuah luka yang pecah dan tak bersusun.

Ia, laki-laki itu, barangkali memang sangat ingin menemuinya. Sekedar bertukar senyum, atau juga bertukar kecup, atau barangkali berbagi buncah gairah malam bersama-sama. Ia sangat ingin hal itu. Tapi dimana ia akan letakkan semua kenangan baru itu nantinya?

Di hari sebelum ia benar-benar pergi, hati dan kepalanya saling berkelahi. Lalu, pelan-pelan ia letakkan ponsel di tangannya, sebuah pesan mengajak bertemu batal ia kirimkan. Pesan itu tak dihapusnya, ia masih tersimpan sebagai draft dalam ponsel tua itu.

Pesan yang barangkali suatu saat akan ia kirimkan kembali. Karena ia masih bisa menahan rindunya. Rindu yang padamu ia tertuju.


270214

Selasa, 18 Februari 2014

Menghalau Gila di Simpang Unila



;-jangan gila

Ada yang gelisah membuka celana
dia pikir urat malunya masih disana
bersemayam tanpa tabur bunga
berduka tanpa air mata

Ternyata yang tinggal hanya kemaluan
penis yang mengeja kelamin
mengeluh karena sering digunakan
jadi kata-kata untuk mencerca

Awalnya hanya penis saja
lamalama vagina ikut juga
akhirnya yang tertinggal dicelana hanya sepi
berselimut bulu

Alkisah, ini negeri pertapa gila
yang tak bekerja jadi pujangga
purapura membaca sastra
membolak-balik kamus mencari arti
kosakata yang punah di balik serapah

Akhir cerita, Presiden, menteri dan rakyat jadi gila
menganggap semua hanya fatamorgana
termasuk rumah ibadah yang sepi pengunjung,
bukan negeri gila kalau habis ide di kepala
ada pendeta pakai rok mini umbar aurat
agar khotbah jadi seksi

Aih, gila!


soemantribrodjonegoro
28.01.10

100 Hari SBY

*repost dari catatan facebook 28-01-10

Kamis, 13 Februari 2014

Untuk Tuan Sapardi



Tuan Sapardi,
tahukah kau
bahwa aku
tak pernah 
benar-benar berdarah 
tiap kali ia teriris.
Tapi aku, biar kau tahu,
selalu terbakar
tiap kali cintanya
hendak padam!


140214

Rabu, 05 Februari 2014

Perempuan Labirin

Dia telah sedemikian tersesat dalam lingkaran imajinasinya. Batas-batasnya sudah tak mampu lagi untuk dikenali. Ia kerap kali bercerita tentang ini dan itu, itu dan ini. Ia mampu mereka-reka sebuah cerita dari mini, pendek, panjang hingga menjadi novel jika ia dituliskan. Tapi sayangnya ia telah begitu tersesat dalam cerita yang bahkan semuanya tak pernah terjadi dalam kenyataan.

Entah sudah berapa kali kami bertengkar, semula aku pikir semua yang ia ceritakan itu telah dan benar-benar terjadi. Nyata. Namun, pada akhirnya aku tersadar. Setiap kali ia ulangi cerita yang telah ia ceritakan itu kepada orang yang lain lagi, selalu ada penambahan bagian-bagian yang sebelumnya tak ia ceritakan kepadaku.

Secara keseluruhan memang cerita itu utuh, tak berkurang memang, tapi ia bertambah. Jika hari ini ia cerita kepadaku A, B, D, E, F maka kepada yang lain lagi ia akan membentuk komposisinya menjadi A, B, C, D, E, F lalu jika ia ceritakan lagi kepada seorang yang lain, komposisinya akan bertambah lagi menjadi A, B, C, D, E, F, G, dan entah kenapa penggalan-penggalan yang ia ceritakan itu terlalu 'hollywood' untuk sebuah cerita yang nyata terjadi. Atau terlalu 'FTV'. Happy Ending. Walaupun ada juga yang versi K-Movie sesekali, Sad Ending.

Cerita-cerita yang meluncur dari mulutnya telah menjadi sesuatu yang palsu dan nyata disaat yang bersamaan. Palsu karena hampir bisa dipastikan kejadian-kejadian itu tak pernah ada tapi ia mampu meyakinkan sesiapa saja bahwa itu nyata. Ada yang percaya tapi aku tidak.

Sudah 10 tahun lebih kami bersama, sejak pertama kali mengenalnya di bangku kuliah hingga kini kerja sekantor dengannya. Bahkan kami telah tinggal di kamar kos yang sama juga sebelum semua itu menjadi teramat palsu. Entah kenapa baru belakangan ini semuanya terasa menjadi terang benderang.

Mungkinkah kota besar ini atau mungkin luka-luka dimasa lalunya yang membuat ia seperti itu. Selain cerita-ceritanya, ia pun kini telah menjadi begitu palsu. Menjadi seseorang atau mungkin sesuatu yang tak lagi dikenali. Atau mungkin ia yang memang tak ingin dikenali. Ia telah seutuhnya baru.

Ia semula adalah perempuan biasa, mahasiswa dengan segudang kegiatan. Aktifis. Memasuki dunia itu ia seperti telah menemukan bentuk, semula kupikir begitu. Cara bicaranya berubah, pilihan-pilihan katanya teramat baik untuk seukuran mahasiswa lainnya.

Kupikir hanya itu saja metamorfosa yang terjadi padanya. Sampai akhirnya masa-masa mahasiswa terlewati, dan ia telah pergi lebih dulu mendatangi Ibukota. Aku, yang memang berasal dari sana, belum begitu tertarik untuk segera menyelesaikan masa-masa tinggal di perantauan.

Setahun tak bertemu, kudapat kabar ia telah berhasil menaklukkan ibukota.

Kemudian setahun lagi berlalu dan pertemuan berikutnya ia mengajakku untuk turut serta kerja di kantor yang sama dengannya.

Setelah setahun bekerja bersama dengannya, kudapati ia bukan kepompong yang jadi kupu-kupu. Ia kepompong yang jadi kupu-kupu berwatak lebah. Atau apa sajalah yang pasti ia bukan kupu-kupu. Dalam waktu tiga tahun ia telah berubah. Mungkin ia merubah.

Niat untuk meluruskan keadaan pun ia pahami berlebihan. Ia seperti gunung yang marah. Kata-katanya seperti magma keluar dari moncong dan meleleh di tepian bibirnya. Apinya membakar apa saja. Bibirnya terbakar. Kamar kami terbakar. Aku mengungsi.

Sejak bibirnya terbakar, ia tak lagi menyapaku dan aku tak juga ingin menyapanya. Kini ia telah sesepi malam di lembah-lembah. Ia telah jadi labirin. Menyesatkan.


05-02-2014