Senin, 16 Juni 2014

#WorkshopCerpenKOMPAS 2014

Berita di Kompas (13/6/2014)


Sebelum membaca berita pengumumannya pada tanggal yang ditentukan ada semacam keragu-raguan saya akan disertakan sebagai salah satu peserta Workshop Cerpen Kompas 2014. Bagaimana tidak, menulis cerpen selama ini hanya untuk konsumsi pribadi, ceritanya pun seputar kehidupan pribadi. Sudah barang tentu lebih banyak pesimisme ketimbang keyakinannya.

Saya nekat mengirimkan tiga buah cerita pendek (Buku Harian, Sukmailang, dan Perempuan Labirin). Dua dari tiga tulisan itu hanyalah kisah kehidupan pribadi yang saya fiksikan. Hanya satu tulisan yang benar-benar saya gali ide ceritanya dari sebuah nama yang saya sendiri sampai hari ini tidak tahu apakah benar seperti itu.

Tapi pengalaman diloloskan oleh panitia Workshop Cerpen Kompas tahun ini cukup berarti buat saya pribadi. Betapa tidak, setelah mendapat berita tersebut dengan gegas saya telusuri satu per satu nama-nama peserta yang dinyatakan berhak untuk mengikuti kegiatan itu. Dan... 80 persen diantara nama-nama itu sudah malang melintang di dunia cerita pendek. Ada yang bahkan sudah memiliki buku atas namanya, ada juga yang ceritanya dimuat dalam antologi cerita pendek, ada juga yang sudah langganan masuk di kolom cerita pendek beberapa surat kabar di Indonesia.

Hal itu buat saya cukup menarik, membayangkan cerita saya hanyalah cerita kelas facebook akan bertemu dengan cerita-cerita mereka, orang-orang hebat itu. Semoga saja pengalaman ini nantinya menentukan arah pena saya.

Satu hal lagi, selain bertemu dengan para penulis-penulis cerita pendek itu, momen itu juga akan menjadi pengalaman pertama bertatap mata serta menimba cerita dari mata air cerpen Indonesia. Seno Gumira Ajidarma dan Agus Noor. Ah, asyiknya. Di kala hati sedang gundah gulana ada saja cara IA memberi hiburan.

Sampai bertemu Cerpenis #WCK2014

Senin, 09 Juni 2014

Rabu, 04 Juni 2014

Ketika Berdoa Adalah Dosa (Di Indonesia)




Kelucuan-kelucuan di Indonesia, dari hari ke hari kian jadi. Ketika pemerintah masuk ke ruang-ruang pribadi seperti agama, maka akan banyak benturan-benturan yang pasti dan mau tidak mau tak dapat dihindarkan. Seperti hari ini misalnya, dalam sebuah berita berjudul: Kapolri: Rumah Jadi Tempat Ibadah Langgar Pidana (http://m.news.viva.co.id/news/read/509498-kapolri--rumah-jadi-tempat-ibadah-langgar-pidana?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook)

Kapolri yang terhormat itu dalam salah satu statemennya menyatakan bahwa rumah yang dijadikan sebagai tempat rohani rutin maka dikategorikan sebagai tindak pidana umum! Tindak pidana umum sebagaimana saya ketahui sejatinya adalah perbuatan jahat. Hal-hal yang dianggap bertentangan dengan prilaku umum di masyarakat. Lalu darimanakah gagasan ini bermula; gagasan yang menganggap ibadah atau kegiatan rohani atau apapun namanya dianggap sebagai sesuatu perbuatan jahat?

Semua bermula ketika seorang tokoh MUI, mengajukan usulan untuk pembatasan rumah-rumah ibadah. Tokoh MUI itu, mungkin merasa diri sebagai representasi umat islam (walaupun saya tidak pernah merasa demikian), merasa terancam dengan kehadiran rumah-rumah yang beralih fungsi menjadi rumah ibadah. Gayung bersambut, pemerintah menyetujui usulan itu dan mengesahkannya melalui PERATURAN KONYOL BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI.

Adalah pemikiran yang jahat dan picik, ketika kehadiran rumah-rumah ibadah dianggap sebagai ancaman, bukankah sejarah dunia selalu mencatat, sesuatu yang semakin dihambat ia akan semakin merambat. Hal ini berlaku untuk semua hal, termasuk agama. Ketika agama Islam dimusuhi maka oleh sebagian yang lain ia akan mendapat simpati, begitu juga ketika Kristen dimusuhi oleh yang lainnya ia akan dicintai. Lalu kenapa kita tak menerima saja toleransi beragama sebagaimana dulu ada.

Saya tak pernah diajarkan memusuhi siapapun karena agamanya, tapi saya diajarkan untuk melawan terhadap cara berpikir yang salah. Dan saya rasa hampir semua agama tak pernah mengajarkan cara berpikir yang salah, oleh karenanya ketika ada konsep yang salah, yang telah dilakukan pemerintah melalui pembentukan peraturan bersama menteri tentang pendirian rumah ibadah, maka sudah sebaiknya ia dilawan. 

Peraturan itu sejak awal kelahirannya sudah diskriminatif, coba ditelusuri saja bagaimana semua konflik yang terjadi di masyarakat akibat kelahiran peraturan ini merupakan konflik yang sistematis. Hampir sebagian besar pertentangan datang bukan dari masyarakat sekitar tempat yang akan dijadikan tempat ibadah!

Bukankah tiap kali ada fenomena yang melenceng di masyarakat selalu dikaitkan dengan kegagalan agama dan keluarga mengajarkan agama dengan baik? Lantas ketika rumah yang dijadikan tempat ibadah menjadi tindak pidana? Masih benarkah cara berpikir kita? Ketika peraturan konyol itu lebih sering menghadirkan konflik, apalagi alasan kita mempertahankan aturan seperti itu?

Dan, ketika pengajian rutin dilarang, ketika kebaktian rutin dilarang, dan ketika mendapatkan izin mendirikan tempat ibadah susahnya setengah mati, apakah kita harus bersepakat untuk berhenti beragama?

Buat saya pilihannya hanya ada dua; HAPUSKAN PERATURAN KONYOL BERSAMA PARA MENTERI atau KITA BERHENTI BERAGAMA!

Kepada pemerintah yang baik sekaligus lalim di negeri ini, kami hanya mengingatkan; APAPUN AGAMA KAMI (Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik, Konghucu dll) KAMI JUGA ADALAH PEMILIK YANG SAH NEGERI INI! Jangan pisahkan kami dengan peraturan yang sesat! Jangan lahirkan pertikaian antara kami dengan cara-cara berpikir jahat!