Rabu, 30 April 2014

Tentang Sebuah Esensi

"Tapi, mungkin ini yang dibilang bahwa sesuatu itu ada masanya,
perubahan-perubahan yang ada memang harus ada"
Pentagon, 19 Mei 2006



Apakah kita berubah?
Apakah keadaan yang berubah?
Apakah esensi memiliki?
Apakah esensi kehilangan?
Apakah penilaian-penilaian kita berubah?
Apakah kita dilahirkan untuk memberi kenangan?

Dan apakah pada masanya kita akan saling berubah?
Ataukah kita sudah berubah?
Apakah esensi memilikiku, kalau aku telah kehilangan nilai-nilai

ataukah kita hanya bertemu untuk saling memberi kenangan.


Selasa, 29 April 2014

Rabu, 23 April 2014

Untuk Perempuanku



Lalu perasaan itu mekar seperti yang sama-sama kita inginkan. Perjalanan kali itu setidaknya menyadarkan kita bahwa ada perasaan yang kita coba tutup-tutupi selama ini. Perasaan yang memang tak muncul saat pertemuan pertama kita. Di hari itu, katamu, bahkan kau menertawai tingkahku ketika ibuku memarahi. Ya, ibuku memang kerap marah dengan sikapku yang 'selengean'.

Dan pada pertemuan pertama itu memang aku tak menaruh hati kepadamu. Kau, gadis bertubuh mungil yang sama-sama meninggalkan ibukota sepertiku, tak pernah benar-benar mencuri perhatianku. Ada banyak faktor mungkin, pengaruh bahwa kita 'berbeda', suatu kenyataan yang tak akan bisa kita ingkari hingga kadangkala alam bawah sadar kita memaksa untuk membunuh perasaan yang baru hendak belajar tumbuh. Dan denganmu, barangkali seperti itulah alam bawah sadarku menuntun jalan berpikirku.

Tapi barangkali, kita adalah dua garis yang memang 'dikehendaki' untuk saling bersinggungan, garis yang saling melintasi satu sama lain. Dan setiap garis yang saling melintasi pastilah akan bertemu di satu titik. Kurasa seperti itulah cara menggambarkan pertemuan-pertemuan kita.

Jika pertemuan pertama bukanlah pertemuan 'by design' kita, maka kali kedua setelah kita menyelesaikan tugas-tugas kita sebagai mahasiswa barangkali juga bukan by design kita. Kau yang tak pernah melintas dalam benak dan pikirku, tiba-tiba saja melintasi sebuah garis yang kulalui di alam tak nyata. Di dunia maya.

Sebagai sebuah kata-kata kau hadir di depanku. Kata-kata yang lambat laun membentuk pola dan tanda. Tanda yang kubaca itu barangkali telah sama-sama menautkan kita, menggiring ke arah yang awalnya sama-sama kita ragukan. Tapi seperti yang terjadi padamu, apa yang terjadi padaku pun tak bisa terus kuabaikan. Kata-kata dan kalimat yang menyusun tanda-tanda itu terus saling mengait. 

Keraguan-keraguan yang semula hadir lamat-lamat menghilang seperti suara riuh di kejauhan yang kita tinggalkan. Hingga akhirnya kita tiba di percabangan jalan, lalu dengan berani kita putuskan untuk melintasi jalan yang sepi. Di jalan itu riwayat luka dilukiskan di sepanjang  jalurnya.

Kebahagiaan-kebahagiaan di jalan yang sepi itu barangkali hanya bisa kita nikmati berdua saja. kadangkala aku berharap lonjakan-lonjakan  keceriaan dan luapan-luapan haru itu menjadi sesuatu yang banal dan kita tersedak karenanya. Di jalan yang sepi itu, jika kita tersedak tak akan ada yang menolong kita. Konsekuensi dari sebuah pillihan. Dan bukankah begitu lebih baik dibanding kita harus saling melepas? 

Dan bukankah kita sudah terbiasa bersama. Menikmati luka. Hingga kita lupa caranya saling melepas.

Setelah tahun ketiga, semoga kita masih tetap ingin bersama. 



-untuk perempuanku-
             D.A

Senin, 07 April 2014

Ayat-ayat Pemilu



Kau tuan pemilik jari
di jarimu hidup masa seribu
limaratus hari. lima tahun lamanya
mereka akan mengabdi.
Di celup jarimu pada tinta yang berharga
seribu juta, semoga saja pilihanmu
tak berdusta.

Kau Tuan pemilik poster dan iklan-iklan di televisi
kami bukanlah kerbau dan tuan bukan dewa
Tuan kami persilakan menduduki kursi di istana
Lalu nanti berikanlah bukti segala janji.
Jangan sekalikali ingkar janji, kami doakan
tuan tetap punya hati.



08/04/14